|
Masyarakat Indonesia belakangan sedang dibuat penasaran dengan ramainya pemberitaan media massa mengenai Ritual Thudong yang dilakukan oleh para Bhante dari Provinsi Nakhon Si Thammarat, Thailand menuju Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah Indonesia sebagai pusat ibadah sekaligus pusat sejarah Budhha terbesar di Indonesia. Laku ritual yang dilaksanakan oleh para Bhante ini melewati 4 negara, yakni Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Keunikan dan keistimewaan laku ritual ini membuat sebagian besar masyarakat Indonesia dibuat penasaran. Hampir setiap daerah di Indonesia yang dilewati oleh Rombongan Bhante selalu menarik perhatian dan kehadiran masyarakat, baik tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, ormas, maupun masyarakat biasa. Mereka ada yang sebatas ingin melihat, menyaksikan dan memberi semangat maupun memberikan penghormatan atas laku spiritual yang telah dijalani oleh para Bhante.
Ritual
Thudong sebagai ritual pengembaraan menjadi semacam perwujudan hubungan antara
manusia dan Tuhan, bagaimana seharusnya manusia menjalani kesederhanaan dan amarah
duniawi (kesabaran). Ritual tersebut juga harus dilakukan oleh para Bhante yang
telah terbiasa menempa diri dengan berbagai persiapan fisik: meditasi dan
pengendalian diri dari lapar dan amarah. Perjalanan religinnya bukan merupakan
perjalanan biasa, melainkan membawa misi yang sangat mulia: memupuk
persaudaraan dan perdamaian umat manusia di dunia.
Beragam respon
diberikan oleh masyarakat Indonesia berkaitan dengan hadirnya Ritual Thudong di
Kabupaten/Kota di Indonesia. Beragam respon tersebut, nampaknya menjadi
pengalaman dan aktivitas luar biasa yang mencerminkan begitu toleransinya
masyarakat Indonesia, yang selama ini sudah ada dan sempat memudar, begitulah tutur
Prabu Diaz, Penanggung Jawab Rombongan saat singgah di Pendopo Kecamatan
Weleri.
Para Bhante juga menunjukkan sikap yang dapat diteladani oleh masyarakat, yakni mengambil secukupnya dan seperlunya dari yang disediakan oleh masyarakat. Meskipun masyarakat memberikan banyak makanan dan minuman, para Bhante tidak mungkin tamak, selain karena bawaannya yang harus dibatasi, barangkali sebagai salah satu sikap kewiraiannya. Satu hal yang menarik juga, ketika para Bhante diberi barang di jalan, seperti bunga misalnya, ia akan menerimanya meskipun di jalan selanjutnya akan diberikan kepada masyarakat yang menyemangatinya. Tentu, ini adalah cara yang diambil supaya pemberi merasa dihargai.
Laku spiritual
yang dilakukan sejak 25 Maret 2023 berhasil mengumpulkan masyarakat lintas iman
dan lintas etnis untuk sama-sama memaknai perbedaan maupun memberikan
penghormatan atas pengembaraan yang dilakukan. Wajah toleransi dan keberagaman masyarakat
Indonesia hadir secara organik di jalan-jalan yang ditempuh di Indonesia,
begitu teduh dan meneduhkan, begitu kiranya Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, M.A – Guru
Besar Antropologi, mengibaratkan. Wacananya
mengenai keberagamaan hari ini dapat dilihat dengan mata telanjang di hadapan
kita.
Sembari
beristirahat di Pendopo Kecamatan Weleri (Sabtu, 27 Mei 2023) dengan
penyambutan yang luar biasa oleh Camat Weleri, Dwi Cahyono Suryo, Para Bhante
terlihat berinteraksi dengan masyarakat, berbagi cerita dan keceriaan, sebagai
salah satu wasilah pengobat lelah. Salah satu yang menarik dalam interaksi
antara Bhante dengan masyarakat tatkala seorang suami yang mengusulkan istrinya
kepada Bhante untuk menerjemahkan apa yang hendak disampaikan oleh salah satu Bhante.
Meskipun
istrinya sempat menolak, pada akhirnya dengan malu-malu sempat menerjemahkan
satu kalimat cukup panjang mengenai kegaguman Bhante terhadap penyambutan dan
penerimaan yang luar biasa dari masyarakat Indonesia, terutama masyarakat
Weleri Kabupaten Kendal. Toleransi yang ditunjukkan masyarakat Indonesia
menunjukkan kedewasaan beragama dalam masing-masing Individu.
Sekretaris
Jenderal Pelataran Sastra Kaliwungu, M. Lukluk Atsmara Anjaina yang turut-serta
bersama masyarakat menyambut kedatangan 32 Bhiksu mendapatkan kesempatan dari
Camat Weleri untuk menyerahkan kenang-kenangan 2 buku terbitan Pelataran Sastra
Kaliwungu: buku pertama, Paradoks Keberagamaan karya Prof. Dr.
Mudjahirin Thohir, M.A. dan buku kedua, Antologi Puisi Gus Punk karya
teman-teman Pelataran Sastra Kaliwungu.
Salah satu
Bhante dari Cirebon, Indonesia, Bhante Kanthadammo atau masyhur dipanggil
Bhante Wawan yang menjalani Ritual Thudong menyampaikan terima kasih atas
kenang-kenangan yang diberikan berkaitan dengan keberagaman dan Gus Dur.
Baginya, Gus Dur merupakan salah satu tokoh yang ia kagumi dan hormati. Menggunakan
pakaian Kasaya (Jubah Biksu-Biksuni Buddha), Bhante Wawan berjanji akan mencoba
menyelesaikan membaca buku tersebut,
“Saya akan
coba sempat baca, ini karena salah satu favorit saya, Bapak Gus Dur. Sebenarnya
saya orang males baca, saya males baca, taunya ke temen suruh
baca, ceritain dong. Tapi karena memang buku-buku dari Gus Dur sangat
bagus, saya sendiri penggemar beliau, salah satunya penggemar beliau.
Mudah-mudahan ini salah satu momentum buat saya lebih semangat lagi.
Setelah singgah
di Pendopo Kecamatan Weleri, Para Bhante yang akan melanjutkan perjalanan
melewati Kabupaten Kendal, Kota Semarang dan akan sampai Magelang diperkirakan tanggal
2 Juni 2023 dan akan mengikuti Perayaan Hari Raya Waisak 2023 atau 25667 BE yang
dipusatkan di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Pengembaraan yang
dilakukan para Bhante diperkirakan sejauh 2.600 KM dan menempuh perjalanan selama
kurang lebih dua bulan. (red.)
Komentar
Posting Komentar