PERIHAL BUKU, KEBERAGAMAN, DAN 32 BHANTE DI WELERI

Sekjen PSK (M. Lukluk Atsmara Anjaina) bersama Camat Weleri (Bapak Dwi Cahyono Suryo)
menyerahkan buku terbitan PSK kepada Bhante Wawan (Sabtu, 28 Mei 2023)


Masyarakat Indonesia belakangan sedang dibuat penasaran dengan ramainya pemberitaan media massa mengenai Ritual Thudong yang dilakukan oleh para Bhante dari Provinsi Nakhon Si Thammarat, Thailand menuju Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah Indonesia sebagai pusat ibadah sekaligus pusat sejarah Budhha terbesar di Indonesia. Laku ritual yang dilaksanakan oleh para Bhante ini melewati 4 negara, yakni Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.


Keunikan dan keistimewaan laku ritual ini membuat sebagian besar masyarakat Indonesia dibuat penasaran. Hampir setiap daerah di Indonesia yang dilewati oleh Rombongan Bhante selalu menarik perhatian dan kehadiran masyarakat, baik tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, ormas, maupun masyarakat biasa. Mereka ada yang sebatas ingin melihat, menyaksikan dan memberi semangat maupun memberikan penghormatan atas laku spiritual yang telah dijalani oleh para Bhante.


Ritual Thudong sebagai ritual pengembaraan menjadi semacam perwujudan hubungan antara manusia dan Tuhan, bagaimana seharusnya manusia menjalani kesederhanaan dan amarah duniawi (kesabaran). Ritual tersebut juga harus dilakukan oleh para Bhante yang telah terbiasa menempa diri dengan berbagai persiapan fisik: meditasi dan pengendalian diri dari lapar dan amarah. Perjalanan religinnya bukan merupakan perjalanan biasa, melainkan membawa misi yang sangat mulia: memupuk persaudaraan dan perdamaian umat manusia di dunia.

 

Beragam respon diberikan oleh masyarakat Indonesia berkaitan dengan hadirnya Ritual Thudong di Kabupaten/Kota di Indonesia. Beragam respon tersebut, nampaknya menjadi pengalaman dan aktivitas luar biasa yang mencerminkan begitu toleransinya masyarakat Indonesia, yang selama ini sudah ada dan sempat memudar, begitulah tutur Prabu Diaz, Penanggung Jawab Rombongan saat singgah di Pendopo Kecamatan Weleri.


Para Bhante juga menunjukkan sikap yang dapat diteladani oleh masyarakat, yakni mengambil secukupnya dan seperlunya dari yang disediakan oleh masyarakat. Meskipun masyarakat memberikan banyak makanan dan minuman, para Bhante tidak mungkin tamak, selain karena bawaannya yang harus dibatasi, barangkali sebagai salah satu sikap kewiraiannya. Satu hal yang menarik juga, ketika para Bhante diberi barang di jalan, seperti bunga misalnya, ia akan menerimanya meskipun di jalan selanjutnya akan diberikan kepada masyarakat yang menyemangatinya. Tentu, ini adalah cara yang diambil supaya pemberi merasa dihargai.

 

Laku spiritual yang dilakukan sejak 25 Maret 2023 berhasil mengumpulkan masyarakat lintas iman dan lintas etnis untuk sama-sama memaknai perbedaan maupun memberikan penghormatan atas pengembaraan yang dilakukan. Wajah toleransi dan keberagaman masyarakat Indonesia hadir secara organik di jalan-jalan yang ditempuh di Indonesia, begitu teduh dan meneduhkan, begitu kiranya Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, M.A – Guru Besar Antropologi, mengibaratkan.  Wacananya mengenai keberagamaan hari ini dapat dilihat dengan mata telanjang di hadapan kita.

 

Sembari beristirahat di Pendopo Kecamatan Weleri (Sabtu, 27 Mei 2023) dengan penyambutan yang luar biasa oleh Camat Weleri, Dwi Cahyono Suryo, Para Bhante terlihat berinteraksi dengan masyarakat, berbagi cerita dan keceriaan, sebagai salah satu wasilah pengobat lelah. Salah satu yang menarik dalam interaksi antara Bhante dengan masyarakat tatkala seorang suami yang mengusulkan istrinya kepada Bhante untuk menerjemahkan apa yang hendak disampaikan oleh salah satu Bhante.

 

Meskipun istrinya sempat menolak, pada akhirnya dengan malu-malu sempat menerjemahkan satu kalimat cukup panjang mengenai kegaguman Bhante terhadap penyambutan dan penerimaan yang luar biasa dari masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Weleri Kabupaten Kendal. Toleransi yang ditunjukkan masyarakat Indonesia menunjukkan kedewasaan beragama dalam masing-masing Individu.

 

Sekretaris Jenderal Pelataran Sastra Kaliwungu, M. Lukluk Atsmara Anjaina yang turut-serta bersama masyarakat menyambut kedatangan 32 Bhiksu mendapatkan kesempatan dari Camat Weleri untuk menyerahkan kenang-kenangan 2 buku terbitan Pelataran Sastra Kaliwungu: buku pertama, Paradoks Keberagamaan karya Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, M.A. dan buku kedua, Antologi Puisi Gus Punk karya teman-teman Pelataran Sastra Kaliwungu.

 

Salah satu Bhante dari Cirebon, Indonesia, Bhante Kanthadammo atau masyhur dipanggil Bhante Wawan yang menjalani Ritual Thudong menyampaikan terima kasih atas kenang-kenangan yang diberikan berkaitan dengan keberagaman dan Gus Dur. Baginya, Gus Dur merupakan salah satu tokoh yang ia kagumi dan hormati. Menggunakan pakaian Kasaya (Jubah Biksu-Biksuni Buddha), Bhante Wawan berjanji akan mencoba menyelesaikan membaca buku tersebut,

 

“Saya akan coba sempat baca, ini karena salah satu favorit saya, Bapak Gus Dur. Sebenarnya saya orang males baca, saya males baca, taunya ke temen suruh baca, ceritain dong. Tapi karena memang buku-buku dari Gus Dur sangat bagus, saya sendiri penggemar beliau, salah satunya penggemar beliau. Mudah-mudahan ini salah satu momentum buat saya lebih semangat lagi.

 

Setelah singgah di Pendopo Kecamatan Weleri, Para Bhante yang akan melanjutkan perjalanan melewati Kabupaten Kendal, Kota Semarang dan akan sampai Magelang diperkirakan tanggal 2 Juni 2023 dan akan mengikuti Perayaan Hari Raya Waisak 2023 atau 25667 BE yang dipusatkan di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Pengembaraan yang dilakukan para Bhante diperkirakan sejauh 2.600 KM dan menempuh perjalanan selama kurang lebih dua bulan. (red.)

Komentar