PEREMPUAN
BERGAUN PUTIH
Cerpen
Sawali Tuhusetya
Bulan sepotong semangka menggantung di bibir langit yang berkabut. Temaram. Angin malam berkesiur lembut, menaburkan hawa busuk kematian. Seisi kampung seperti tenggelam di bawah jubah gaib Malaikat Maut. Sesekali terdengar samar lolong serigala di hutan jati yang jauh seperti memanggil-manggil arwah para penghuni lembah kematian.
―Sampeyan masih melihat
sosok perempuan bergaun
putih itu?
―Ya! Perempuan itu masih setia menunggui
rembulan setiap malam di bukit itu.
―Siapa
dia sebenarnya?
―Tak
seorang pun yang tahu. Dia hanya dikenali sebagai
perempuan bergaun putih.
―Sejak kapan dia suka menunggui rembulan?
―Sejak gadis kecil berkepang dua
meninggal.
―Siangnya?
―Tak seorang pun yang tahu. Dia akan hilang ketika embun pertama jatuh di
pucuk- pucuk ilalang.
―Hemmm …. Malamnya dia datang lagi di bukit itu?
―Ya, setiap malam.
―Meskipun
rembulan tanggal tua?
―Ya.
―Masih setiakah ia menunggui rembulan yang dipujanya ketika hujan tiba?
―Ya.
―Adakah hubungan
perempuan pemuja rembulan itu dengan lembah kematian?
―Tidak
tahu.
Ya! Sudah hampir tiga purnama
ini, para penduduk
kampung dikejutkan oleh kehadiran sosok perempuan misterius
bergaun putih. Tak seorang pun penduduk yang tahu, siapa sesungguhnya perempuan
bergaun putih itu. Setiap rembulan
menggantung di langit,
dia selalu setia menunggui
bukit di bibir lembah kematian. Dari
mulutnya sesekali mendesis senandung pemujaan rembulan
yang perih.
…. Rembulanku,
Aku ingin bertemu
Bidadari yang memangku kucing
Yang
selalu mendongeng tentang dewa-dewi
Yang berkisah
dengan batin dan jiwa
Rembulanku,
Di sini aku kesepian
Tersekap di tengah labirin
cinta dan kerinduan
Kapan aku bisa bertemu
Dengan bidadari yang memangku
kucing
….
Senandung pemujaan rembulan
yang perih itu seringkali menghanyutkan mimpi para penduduk
kampung ketika malam mencapai puncak
kematangan
yang sempurna.
Oleh angin yang bertiup dari lembah kematian,
suara senandung yang perih itu seperti diterbangkan menuju ke pintu langit hingga membahana ke seluruh penjuru kampung dengan nada yang lembut, tetapi menyayat-nyayat rongga telinga.
Menurut
penuturan beberapa penduduk, perempuan itu berwajah rata dengan rambut tergerai memanjang
hingga menyentuh lututnya. Wajah perempuan
bergaun putih itu selalu menengadah ke langit, menatap rembulan yang dipujanya.
―Apakah perempuan itu juga yang menggerakkan burung-burung gagak itu?
―Tidak
tahu.
―Hantukah dia?
―Tidak
tahu.
―Apakah dia membawa tongkat?
―Tidak!
―Pernahkah Sampeyan mendekatinya?
―Pernah!
―Kapan?
….
Percakapan dua penduduk kampung di tengah kesunyian dan kesiur angin yang mencekam
itu tiba-tiba terhenti
ketika serombongan burung gagak berkaok-kaok, berkelebat di atas bubungan atap-atap rumah, menaburkan hawa busuk ke seluruh penjuru kampung. Konon, burung-burung gagak itu diyakini
sebagai jelmaan arwah para penghuni
lembah kematian. Para penduduk juga meyakininya
sebagai pertanda
buruk. Sebuah bencana
akan melanda perkampungan di bibir hutan
jati itu.
***
Azan Subuh menggema
dari corong surau satu-satunya di perkampungan sunyi itu. Gemanya
memantul dan menampar-nampar dinding bukit. Para penduduk tergeragap. Seperti digerakkan oleh
sesuatu yang gaib, para penduduk
menghapus sisa- sisa mimpi. Lantas,
menggeliat, bergerak membuka
pintu-pintu rumah yang dingin
berkabut. Dalam sekapan dingin yang menggigit, telinga para penduduk
tiba-tiba saja menangkap
raungan tangis dari sudut perkampungan.
―Siapa yang meninggal, Kang?
―Tidak
tahu.
Siapa yang menginggal, Yu?
―Tidak
tahu.
Seperti mendapatkan isyarat gaib, para penduduk bergegas menuju ke arah raungan tangis itu. Sesekali terdengar suara batuk
tua, tangis bocah, kokok ayam, dan lenguh kerbau. Para penduduk datang berduyun- duyun bagaikan rombongan
masyarakat purba menuju
ke sebuah altar pemujaan.
―Kenapa kamu Nduk? Kenapa? teriak histeris seorang perempuan
separo baya ditingkah raungan tangis yang membahana, memecah kesunyian pagi.
―Ayo, Nduk, bangun!
teriak seorang lelaki separo baya dengan suara tangis tertahan.
Rombongan penduduk yang baru saja datang bersidesak mengerumuni seorang gadis kecil yang sudah tak
berdaya. Bola mata mereka nanar, gagal membendung kawah air mata yang jebol di bendungan
pelupuk mata. Tangis histeris bersambung- sambungan. Mereka menyaksikan gadis kecil yang biasa berdandan
dengan rambut dikepang
dua itu sudah tak bernyawa.
Tubuhnya terbujur kaku.
Tak seorang pun penduduk yang bisa memahami, kenapa gadis kecil
berkepang dua yang suka
memburu capung dan kupu- kupu ketika senja jatuh itu tiba-tiba
harus meninggalkan kampung
kelahirannya untuk selama-lamanya. Padahal,
senja tadi, gadis kecil
itu masih bermain-main dengan capung dan
kupu-kupu. Rambut kepangnya bergulir ke
kiri dan ke kanan setiap kali dia berlari. Bahkan, dia sempat minta minum kepada seorang
penduduk ketika rasa haus mencekik kerongkongannya. Gadis kecil itu anak perempuan Kang Badrun dan Yu Darmi satu-satunya. Empat anaknya yang lain laki-laki
yang sulit diharapkan masa depannya. Gadis kecil
berkepang
dua itulah yang didambakan Kang Badrun dan Yu Darmi dapat mengangkat martabat keluarganya. Mengikuti jejak gadis tetangganya merantau ke negeri orang. Mengumpulkan bekal hidup dan sepetak tanah sebagai kado yang wajib dipersembahkan kepada orang tuanya sebelum disunting
seorang lelaki. Kang Badrun dan Yu
Darmi
sangat menyayanginya. Namun, agaknya Tuhan berkehendak
lain. Harapan Kang Badrun dan Yu Darmi terkubur sudah bersama jasat anaknya yang telah terbujur
kaku. Tak berdaya.
Seperti biasanya, para penduduk bergegas
menyiapkan upacara pemakaman. Hampir tak ada seorang pun penduduk yang berangkat ke ladang atau berjualan
kayu rencek ke pasar. Mereka
suntuk meringankan beban duka yang tengah menjerat Kang Badrun dan Yu Darmi. Hanya anak-anak
penggembala dengan cambuk di tangan yang rutin menggiring hewan-hewan piaraan menuju ke sebuah lembah.
Ketika matahari sepenggalah, para penduduk segera
memberangkatkan jenazah gadis kecil berkepang dua itu menuju lembah
kematian. Di tengah kemiskinan yang melilit,
kematian gadis kecil berkepang dua itu merupakan
malapetaka bagi Kang
Badrun dan Yu Darmi. Sempurnalah penderitaan hidup
mereka setelah sekian tahun lamanya terbenam
dalam lumpur kemiskinan bersama anak-anak
mereka yang tidak jelas dan pasti masa
depannya. Mereka hanya mengandalkan
hidup dengan berjualan kayu rencek ke sebuah pasar yang jauh.
***
Penderitaan hidup Kang
Badrun dan Yu Darmi makin sempurna ketika salah satu anak lelakinya tertangkap basah mencuri uang milik kepala dusun. Sudah jatuh tertimpa tangga,
digigit anjing pula. Kang Badrun dan Yu Darmi pun terpaksa diusir dari
kampung kelahiran yang mereka cintai sesuai
dengan adat yang telah disepakati oleh para tetua kampung. Tidak pandang bulu. Siapa pun yang melakukan
pencurian, keluarganya harus meninggalkan kampung.
Tak jelas, ke mana keluarga
yang bernasib kurang
beruntung itu pergi. Yang pasti, semenjak
kematian gadis berkepang dua dan kepergian keluarga
Kang Badrun, kampung
bagaikan dipayungi jubah Malaikat
Maut yang singup. Hawa busuk kematian tercium di setiap sudut dan pintu-pintu rumah penduduk.
Sejak saat itu pula, para penduduk sering
terusik oleh kehadiran
gerombolan burung gagak yang berkaok-kaok di atas bubungan
atap-atap rumah. Yang membuat pori-pori mereka makin merinding, hampir setiap malam
mereka menyaksikan seorang perempuan bergaun
putih yang suka menunggui rembulan
di bibir lembah kematian.
―Apakah perempuan bergaun putih itu jelmaan gadis berkepang dua yang arwahnya penasaran?
―Tidak tahu. Tapi kalau dilihat
potongan rambutnya sangat berbeda dengan gadis kecil berkepang
dua. Perempuan pemuja rembulan itu berambut panjang
hingga menyentuh lututnya.
―Tapi kenapa munculnya
kok sejak gadis berkepang dua itu meninggal?
―Tidak tahu.
―Kalau memang perempuan
bergaun putih itu bukan
jelmaan si gadis, kenapa dan dari
mana dia bisa begitu datang secara tiba- tiba?
―Tidak tahu.
….
Percakapan dua penduduk kampung di tengah kesunyian dan kesiur angin yang mencekam
itu tiba-tiba terhenti
ketika serombongan burung gagak berkaok-kaok, berkelebat di atas bubungan atap-atap rumah, menaburkan hawa busuk ke
seluruh penjuru kampung.
Konon, burung-burung gagak itu diyakini
sebagai jelmaan arwah para penghuni
lembah kematian. Para penduduk juga meyakininya
sebagai pertanda
buruk. Sebuah bencana
akan melanda perkampungan di bibir hutan
jati itu.
Para penduduk tersentak
ketika mendengar kabar bahwa
jumlah perempuan bergaun putih yang
setia menunggui bukit di bibir lembah
kematian itu makin bertambah setiap malam. Potongan tubuh, wajah, dan rambutnya sangat mirip. Para perempuan bergaun
putih yang selalu menengadah ke langit
menatap rembulan yang dipujanya itu terlihat
samar-samar di bawah siraman sinar rembulan
sepotong semangka yang temaram. Terdengar senandung
koor yang pedih,
menggema dari pinggang
bukit lembah kematian.
…. Rembulanku,
Aku ingin bertemu
Bidadari yang memangku kucing
Yang selalu mendongeng tentang
dewa-dewi
Yang berkisah dengan batin dan jiwa
Rembulanku,
Di sini aku kesepian
Tersekap di tengah labirin
cinta dan kerinduan
Kapan aku bisa bertemu
Dengan bidadari yang memangku
kucing
….
Senandung pemujaan rembulan
yang perih itu benar-benar
menghanyutkan mimpi para penduduk
kampung ketika malam mencapai puncak kematangan
yang sempurna.
Oleh angin yang bertiup dari lembah kematian,
suara senandung yang perih itu seperti diterbangkan menuju ke pintu langit hingga membahana ke seluruh penjuru kampung dengan nada yang lembut, tetapi menyayat-nyayat rongga telinga. Senandung koor pemujaan rembulan
yang perih itu pun seperti
hendak menjebol dinding
batin dan jiwa para penduduk.
Setiap malam, jumlah perempuan bergaun
putih yang menengadahkan wajahnya ke langit itu makin
bertambah. Para penduduk makin
tersentak ketika pada malam berikutnya ribuan burung gagak bertengger di atas bubungan
atap dengan meninggalkan kotoran busuk yang menusuk hidung. Setiap malam, jumlah burung gagak itu kian bertambah
hingga membuat beberapa rumah penduduk tak sanggup lagi menampung
beban. Sudah belasan
rumah penduduk yang roboh; rata dengan tanah.
Atas kesepakatan dengan tetua kampung,
para penduduk mengungsi
ke tempat lain. Mereka tak sanggup melawan
ribuan burung gagak yang datang dan pergi secara tak terduga pada setiap malam. Tidak jelas, ke mana mereka harus tinggal.
Hampir setiap hari, terlihat rombongan
penduduk membawa barang-barang
dan ternak piaraan melintasi jalan-jalan kampung yang sunyi, dingin, dan berkabut. Entah sampai kapan.
*** Kendal, 11 Januari 2008
Keterangan:
Cerpen
diambil dari kumcer TOPENG karya Sawali Tuhusetya.
Penerbit PSK, Pelataran Sastra Kaliwungu (Maret 2020), ISBN 978-623-91625-3-5
Komentar
Posting Komentar