puisi | aris setiyanto

Libur Pertama

Libur pertama, kau masih berkunjung ke rumahku

tak banyak lagi yang dapat kau ceritakan

—tak serupa dahulu,

ruang persegi ini tergenang obrolan

 

Kau kini kurus dan kemarau

tapi hatimu telah menjadi fitrah

dengan siapapun kau kembara nanti,

selalu ada pundak tempatmu 'tuk berserah.

 

 Arloji

Jika kau tak beranjak,

tak ada satu detik pun

akan terikat pada lenganmu

nan legam

jika kau—aku beranjak,

dunia setelah ini

akankah kau datang ke rumahku

mencuri tubuhku

memberikannya kepada tubuh malam

yang pusara sejak kau tiada.

 

Kata-kata Adalah Hantu

kata-kata adalah hantu,

ia akan gentayang dalam pikiran

kata-kata akan membawa kita

berjalan ke arah tiada

 

kelak, kata-kata akan tergelak

saat kita telah sampai di sana

karib dengan kesepian

seperti selama hayat—selama ini.

 

Kematian Penjahit

aku akan menjadi penjahit yang baik

jika tak kau terbang-jatuhkan tubuh

aku dalam kematian

diliburkan dalam hidup

 

orang-orang berjalan

dengan berbagai macam langkah

langkahku kura-kura

 

aku akan menjadi penjahit dalam kepalamu

jika hatimu selembut salju

aku telah menemukan kedamaian

di sini—di dalam liang.

 

Kolam Renang

pemberhentian bagi lelah berbulan-bulan

siulan angin dan begitu banyak cacian

di jalanan, hewan-hewan dalam kandang berlepasan

patung macan tempatmu swafoto dahulu,

kini keramat adanya

kutemukan rupa-rupa dupa

di bawah kakinya

tujuh rupa kembang

dan koin recehan bertebaran

 

wahai, sangkala

di manakah kolam renang

tempatku dahulu melayangkan badan.

 

Monolog Petani

secangkir kopi

di dalam cafe

disalami dengan esem barista

didalamnya pekat laiknya

kata-kata sebelum berhutang

diantar dengan lagu,

melepas senja berpulang

bersama karib atau kasih

 

secangkir kopi

di dalam cafe

akan kuceritakan kisahku

 

begitu banyak yang terbunuh

; semut dan anak-anak mereka,

bahkan sebelum lahir ke dunia

setiap malam, berkemul insomnia

mata kerap jaga,

saat tubuh mengamuk—meminta

rebah di pembaringan

saat luka ini berangsur pergi,

kami bertandang

memacari pematang

kebun maupun ladang

tempat pohon-pohon kopi menjulang

menetapkan diri, membunuh

menitipkan duri pada tubuh

 

secangkir kopi

di dalam cafe, kini

semustinya engkau

tempatkan kami pula di puncak-puncak

tak hanya ketika kopi dirias,

diberi busa di atas

dihangus—bakarkan.

 

Ingatan Masa Kecil

Hujan sore itu

serupa invasi dari Tuhan

agar anak-anak, agar aku

tak labuh di lapak mainan

dan puluhan macam jajanan

 

Baju koko setengah basah, sisa kehujanan

menuju serambi

Telinga dipaksa mendengar petuah

bapak kiai yang benderang

di altar mesigit

Dia hanya ingin anak-anak

menjalankan salat lima waktu

dan menjadi hafiz-hafizah

rikala dewasa kelak.

 

Tamsil Ibu

Saat hujan jatuh

ibu menantang langit

di bawah mata petir

ia pasang wajah aku

di mata hatinya

agar gigil tak rubuhkan tubuhnya

yang beku kala itu

 

Saat malam kembali

keramaian menepi

anak-suami telah menjadi

budak-budak mimpi

Ibu dan pendiangan

dikuburnya lelah seharian

dengan nyala bara

tak dibiarkan olehnya

kenelangsaan di tubuh

menjadi kentara.

 

Yang Kedua

wajahmu ayu

lazuardi akan nyalang saat bersua

kutemukan kau, kekasih

di antara potongan kayu

dan kasih sayang orang tua

kepada para pencoba

tetapi akankah kita (tetap)

dalam laguna cinta

cinta pertama kita

penari ulung

wanita yang menari di atas hatimu.

 

Erosi Pohon

burung-burung akan udara

saat tangan-tangan yang buas

menebang-jatuhkan sarang

burung-burung akan kembali ke langit

tapi mendung akan melumatnya

hingga yang tersisa hanyalah ketiadaan

dalam terbang

gerimis akan jatuh.

 

Aris Setiyanto 

lahir 12 Juni 1996, tinggal di Temanggung. 

Karyanya termuat di koran Merapi, Kedaulatan Rakyat dll.

Komentar