Libur Pertama
Libur pertama, kau masih berkunjung ke rumahku
tak banyak lagi yang dapat kau ceritakan
—tak serupa dahulu,
ruang persegi ini tergenang obrolan
Kau kini kurus dan kemarau
tapi hatimu telah menjadi fitrah
dengan siapapun kau kembara nanti,
selalu ada pundak tempatmu 'tuk berserah.
Jika kau tak beranjak,
tak ada satu detik pun
akan terikat pada lenganmu
nan legam
jika kau—aku beranjak,
dunia setelah ini
akankah kau datang ke rumahku
mencuri tubuhku
memberikannya kepada tubuh malam
yang pusara sejak kau tiada.
Kata-kata Adalah Hantu
kata-kata adalah hantu,
ia akan gentayang dalam pikiran
kata-kata akan membawa kita
berjalan ke arah tiada
kelak, kata-kata akan tergelak
saat kita telah sampai di sana
karib dengan kesepian
seperti selama hayat—selama ini.
Kematian Penjahit
aku akan menjadi penjahit yang baik
jika tak kau terbang-jatuhkan tubuh
aku dalam kematian
diliburkan dalam hidup
orang-orang berjalan
dengan berbagai macam langkah
langkahku kura-kura
aku akan menjadi penjahit dalam kepalamu
jika hatimu selembut salju
aku telah menemukan kedamaian
di sini—di dalam liang.
pemberhentian bagi lelah berbulan-bulan
siulan angin dan begitu banyak cacian
di jalanan, hewan-hewan dalam kandang berlepasan
patung macan tempatmu swafoto dahulu,
kini keramat adanya
kutemukan rupa-rupa dupa
di bawah kakinya
tujuh rupa kembang
dan koin recehan bertebaran
wahai, sangkala
di manakah kolam renang
tempatku dahulu melayangkan badan.
Monolog Petani
secangkir kopi
di dalam cafe
disalami dengan esem barista
didalamnya pekat laiknya
kata-kata sebelum berhutang
diantar dengan lagu,
melepas senja berpulang
bersama karib atau kasih
secangkir kopi
di dalam cafe
akan kuceritakan kisahku
begitu banyak yang terbunuh
; semut dan anak-anak mereka,
bahkan sebelum lahir ke dunia
setiap malam, berkemul insomnia
mata kerap jaga,
saat tubuh mengamuk—meminta
rebah di pembaringan
saat luka ini berangsur pergi,
kami bertandang
memacari pematang
kebun maupun ladang
tempat pohon-pohon kopi menjulang
menetapkan diri, membunuh
menitipkan duri pada tubuh
secangkir kopi
di dalam cafe, kini
semustinya engkau
tempatkan kami pula di puncak-puncak
tak hanya ketika kopi dirias,
diberi busa di atas
dihangus—bakarkan.
Ingatan Masa Kecil
Hujan sore itu
serupa invasi dari Tuhan
agar anak-anak, agar aku
tak labuh di lapak mainan
dan puluhan macam jajanan
Baju koko setengah basah, sisa kehujanan
menuju serambi
Telinga dipaksa mendengar petuah
bapak kiai yang benderang
di altar mesigit
Dia hanya ingin anak-anak
menjalankan salat lima waktu
dan menjadi hafiz-hafizah
rikala dewasa kelak.
Tamsil Ibu
Saat hujan jatuh
ibu menantang langit
di bawah mata petir
ia pasang wajah aku
di mata hatinya
agar gigil tak rubuhkan tubuhnya
yang beku kala itu
Saat malam kembali
keramaian menepi
anak-suami telah menjadi
budak-budak mimpi
Ibu dan pendiangan
dikuburnya lelah seharian
dengan nyala bara
tak dibiarkan olehnya
kenelangsaan di tubuh
menjadi kentara.
Yang Kedua
wajahmu ayu
lazuardi akan nyalang saat bersua
kutemukan kau, kekasih
di antara potongan kayu
dan kasih sayang orang tua
kepada para pencoba
tetapi akankah kita (tetap)
dalam laguna cinta
cinta pertama kita
penari ulung
wanita yang menari di atas hatimu.
Erosi Pohon
burung-burung akan udara
saat tangan-tangan yang buas
menebang-jatuhkan sarang
burung-burung akan kembali ke langit
tapi mendung akan melumatnya
hingga yang tersisa hanyalah ketiadaan
dalam terbang
gerimis akan jatuh.
Aris Setiyanto
lahir 12 Juni 1996, tinggal di Temanggung.
Karyanya termuat di koran Merapi, Kedaulatan Rakyat dll.
Komentar
Posting Komentar