CATATAN BUDAYA SEPUTAR NOVEL (AWARD)

Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, M.A.
memberikan arahan dan pengumuman nomine lomba KNA 2022


CATATAN BUDAYA SEPUTAR NOVEL (AWARD)

Oleh Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, M.A. (Juri Kendal Novel Award 2022)


1.      Iftitah

Karya sastra, dalam hal ini novel, adalah karya seni bermedium bahasa. Bahasa yang digunakan, diacu dan mengacu pada hakikat seni itu sendiri yang indah dan mengindahkan kehidupan. Karena itu,  pengarang novel memiliki kebebasan bagaimana bertutur dan menuturkan gagasan, imajinasi, dan edukasi tentang kehidupan manusia dan  lingkungan dalam wujud tuturan bahasa yang khas. Keindahan dan kegunaan yang mencirikhasi karya sastra, demikian, dikenal dengan istilah dulce et utile. Menyenangkan dan berguna.

Bermula dari dulce et utile tadi, lantas menghadirkan variabel bahkan teori pendekatan sebagai alat ukurnya. Abram misalnya, ia  menuturkan adanya empat pendekatan, yaitu (1) objektif, (2) ekspresif, (3) mimetik, dan (4) pragmatik.


Dalam pendekatan objektif, karya (novel) yang berhasil dilihat dari kepaduan antara tema ceritera dengan struktur bangunannya. Bagaimana tema yang biasanya berupa kronik di balik keragaman kehidupan manusia, dibangun berdasarkan unsur-unsur struktur pembentuk novel seperti: alur dan pengaluran, tokoh dan penokohan, latar dan pelataran, point of view – apakah terjalin rapi atau tidak. Tetapi istilah “rapi” itu sendiri, landasannya kembali kepada teori estetika seni yang tidak tunggal, seperti: romantik, realis, atau surealis, dst. Penekanan pada estetika seni ini pula yang menjadi acuan dominan ketika kita menilai keberhasilaan suatu karya seni (novel).

Pendekatan ekspresif lebih menonjolkan kepada originalitas karya seninya seperti keunikan, kekhasan dilihat dari cita rasa (estetika) seni, bukan oleh dunia di luarnya. Senada dengan pendekatan objektif, keberhasil karya seni (novel) menurut pendekatan ekspresif, dilihat dalam kacamata karya itu sendiri sebagai karya beraliran romantik, realis, surealis, modern atau postmodern dan seterusnya.



Pendekatan mimetik, mengasumsikan bahwa kehidupan tokoh (dalam novel) adalah representasi kenyataan. Dengan begitu, sehingga tema dan peristiwa yang dituturkan dalam karya seni (novel) itu adalah tiruan kenyataan yang telah dikonstruksi secara kreatif dan imajinatif oleh pengarangnya. Tentu “tiruan” dalam koridor seni berbeda dengan tiruan dalam tuturan bahasa ilmu pengetahuan.

Sementara teori pragmatik, lebih menempatkan fungsi utama atau kegunaan novel tersebut bagi para pembacanya. Dengan kata lain, nilai kemanfaatannya. Novel lantas difungsikan dan berfungsi mengajarkan peradaban umat manusia.

Bagaimana dengan novel-novel yang telah dikirimkan oleh masing-masing pengarangnya untuk dinilai guna mendapatkan penilaian untuk kepentingan novel award ini?


2. Sastra dan Peradaban

 Peradaban (high culture) ditandai oleh setidaknya tiga parameter di mana warga masyarakat berperilaku dalam kehidupan kesehariannya. Ketiga parameter itu berjalan secara bertingkat yaitu adanya pengetahuan budaya (cultural knowledge) warga atas kebudayaan diri termasuk kebudayaan masyarakat lain yang bersinggungan dengannya. Dari pengetahuan budaya itu lantas yang bersangkutan memiliki atau tumbuh kesadaran budaya (cultural aware), dalam arti bahwa dalam setiap masyarakat memiliki acuan pedoman yang khas sebagai identitas sebagaimana ditunjukkan oleh budaya suku bangsa. Masing-masing suku bangsa memiliki ciri-ciri khas yang membedakan dengan suku-suku bangsa lain. Perbedaan atau keragaman budaya itu tadi lantas menjadi khazanah, di mana masing-masing orang belajar sekaligus memahami dan menghormati. Lewat pengetahuan dan kesadaran budaya inilah menghadirkan kepada mereka sensitivitas budaya (cultural sensitivity) yang ditandai, bukan saja menghormati tetapi juga memberi ruang pada setiap orang untuk menjalankan kehidupannya sesuai dengan acuan budayanya. Lewat sensitivitas budaya inilah ciri peradaban, yakni berkesantunan dalam berkehidupan bersama.


Karya sastra pada intinya mengenalkan, mempertemukan, dan menyadarkan akan perilaku budaya sebagaimana diperankan oleh tokoh-tokoh yang dituturkan oleh pengarangnya. Lewat ketegangan bahkan konflik antar tokoh, yakni tokoh protagonis versus antagonis, pembaca belajar kehidupan yang dianggap baik versus jelek.

Dari sudut inilah pengarang secara tidak langsung menunjukkan kehalusan budi dan kejujuran tanpa menggurui atau menghakimi. Namun sayang sekali, dunia kesusastraan bagi banyak orang masih diabaikan sehingga wajar kalau perilaku keseharian yang nampak dan ditampakkan sering vulgar, berorientasi material, dan kasar. Agama dan ilmu pengetahuan mengajarkan kebenaran menurut versinya sendiri-sendiri, sementara sastra mengajarkan kehalusan budi.

 

3. Pengarang-pengarang novel

Ada kesadaran yang kemudian diolah secara intens oleh para pengarang novel bagaimana mengelola kehidupan yang jujur dan rendah hati lewat penggambaran tokoh-tokoh di dalamnya. Setidaknya, demikianlah motivasi yang mendasari kepengarannya.

Bangunan dan cara membangun kehidupan yang di dalamnya bertaut dengan keindahan dan keanggunan dalam hidup sebagaimana peristiwa kehidupan antartokoh tentu tidak mudah. Apalagi kalau tuturannya memilih jalur genre novel. Novel berbeda dengan peribahasa atau pantun yang bisa disampaikan dalam satu kali nafas. Novel pun berbeda dengan cerita pendek, karena novel jauh lebih panjang liku-liku kehidupan yang dituturkan. Jika cerita pendek mirip dengan lari seratus meter, novel boleh jadi 500 meter bahkan lebih. Nafasnya mesti lebih panjang dan berlatih untuk bisa sampai ke tempat tujuan.

Karena itu jika oleh sementara novelis-novelis muda tergelitik dan kemudian memilih jalur ini – berhenti di tengah jalan, maka perlu kita baca mereka “tengah istirahat”, untuk menata napas dan berlatih berlari lagi. Kesan para penilai karya novel sebagaimana ajang novel award – kali ini – bisa dilihat demikian.

Jam terbang penulisan dan pahit-getirnya kehidupan diri termasuk bagaimana mendokumentasi keragaman kehidupan masyarakat manusia – butuh dan membutuhkan waktu. Kamu bisa asal ada kemauan, apalagi kalau ekosistem kepengarangan kondusif.



4. Novel award

Para juri telah disodori karya-karya anak negeri (baca: Kendal) ihwal karya sastra bergenre novel. Novel-novel itu dibaca, dihayati, dan dipertimbangkan. Tidak semata-mata dari isinya tetapi pada akhirnya juga kepada para pengarangnya. Mereka ternyata masih banyak yang remaja. Inilah surprise dewan juri. Kita salah sangka, anak-anak remaja dibayangkan Cuma pandai menulis satu dua kalimat status dalam facebook, tetapi ternyata mereka bisa bertutur secara apik tentang persahabatan, tentang perjuangan hidup, juga tentang rasa iri yang dibalut oleh saling membenci antar tokoh yang ditampilkan beserta argumen-argumen yang oleh para juri, di-iya-kan.

Wahyu Trikusuma Wulandari NR, berkisah lewat novel pendek berbalut judul “Seons Kurang”, tentang pertikaian antar individu yang bersaing atas alasan iri, cinta, dan kebencian. Rangkaian tuturan antar tokoh di dalamnya, mirip curhat yang lugas dan cenderung vulgar. Nalar yang diajukan, sering tiba-tiba tanpa ditandai dengan alur yang merangsang ingin tahu pembaca. Ah,  bercinta bercinta cowok ganteng, eh ternyata mimpi. Awal tulisan yang bagus untuk mengecoh.

Salwa Aliya Rahmanda, menulis novel berjudul puitis, “Sensei of the Blue”. Kisah anak-anak remaja bagaimana mereka bergaul dengan sesama remaja seusianya. Bahasa tuturannya sangat bagus, tetapi konflik yang menjadi inti suatu cerita tidak atau kurang muncul. Namun novel ini – jika mau disebut novel, dalam alur cerita baru pengantar menuju penanjakan. Andaikan diteruskan, ada harapan yang layak sekali dinikmati, terutama oleh para remaja yang ingin berprestasi sekaligus menghaluskan budi.

Saffina Azzahra dengan karya novelnya berjudul Pijakan Uap, relatif senada dengan karya Salwa, hanya sedikit lebih nampak mampu menunjukkan kerumitan bagaimana kisah cerita yang dibangun antar remaja yang sama-sama memiliki sikap berjuang untuk masa depannya. Di antara remaja itu, berteman secara akrab, peduli orang lain yang butuh pertolongan, dan tangkas menolong. Masing-masing remaja yang berteman itu, saling bersaing positif untuk merebut bisa masuk perguruan tinggi. Tetapi ketika salah seorang dari mereka tidak lolos masuk perguruan tinggi, tidak dijadikan momen oleh pengarang bagaimana pengarang memunculkan konflik diri seperti stress dan depresi karena gagal ujian, lalu dibangun narasi tentang pertemanan bagaimana teman lain mensupport sampai akhirnya bangkit kembali dan berhasil. Mudah-mudahan, kisah yang dituturkan arahnya menuju ke sana, tetapi mungkin karena keterbatasan waktu dan tentu kehabisan nafas untuk “berlari”, rising conflict sampai pada real conflict dan happy endingnya belum dimunculkan dalam tuturan. Tapi saya percaya, ini hanya soal butuh waktu saja untuk diberi ruang bernafas dan berlatih.

Firdaus Amrullah pada novel karyanya yang diberi judul “Di antara Kau dan Dia”, nampak sudah memiliki pengalaman bertutur tentang kerumitan hidup. Berjuang untuk masa depan itu tidak gampang, sehinga wajar kalau ada yang frustasi lalu mencari cara-cara yang mudah tetapi cenderung menyesatkan. Pada saat yang sama, tokoh lain (tokoh utama) mesti tidak goyah: jalan masih jauh untuk segala daya dilakukan demi keberhasilan.

Karena relatif punya pengalaman bertutur dan nafasnya relatif panjang bagaimana mengkisahkan kehidupan yang bergenre novel, agaknya dari sini ada kesepakatan para juri, bahwa dia layak mendapatkan apresiasi yang lebih tinggi.

Selamat untuk novelis yang didapuk jadi juara dan para calon-calon novelis yang pasti bisa diandalkan!

 


5.Simpulan

Novel award ini, merupakan pancingan dan gugahan bahwa putra-putra Kendal itu berkemampuan, termasuk mampu berkreasi dalam dunia seni, khususnya sastra.

Karena itu, novel award ini perlu dijadikan momen membangun iklim literasi, mencipkan ekosistem berkesenian dalam banyak bidang. Sedang dalam ranah kesusastraan, kita berharap muncul: (a)  penyair, cerpenis, novelis; (b) penggiat sastra dan berkesusastra, entah performance baca puisi, baca cerpen, dan drama; (c) penerbit-penerbit; (d) dan pemasar karya-karya sastra agar terbaca. Untuk itu, kita butuh para pihak untuk bersama-sama menciptakan iklim berkesusastraan. Yakinlah bahwa karya sastra akan membangun kehalusan budi penikmatnya. Dan kehalusan budi itu merupakan satu dari ciri keberadapan tinggi manusia.***

Komentar