gambar Djoko Susilo |
Tarian Doa, Cerpen Akhil Bashiroh
Suara azan subuh kali ini terdengar
sangat berbeda. Liriknya terdengar lebih indah dari biasanya dan nadanya
terdengar sangat berat. Suara azan dengan langgam Jawa tak akan bisa kudengar
lagi nanti. Hari ini aku harus segera bergegas karena kedua orang tuaku akan
segera tiba untuk menjemputku pulang dari pondok. Ibu kecewa.
***
Rintik gerimis masih terdengar dari
semalam hingga subuh ini. Aku rasanya berat sekali meninggalkan kamar tidurku
yang sudah kutempati sejak aku berumur lima tahun. Ya, aku sudah mulai tidur
sendiri sejak umur lima tahun. Awalnya aku sangat takut, namun ibuku selalu
berpesan padaku.
“Nang, kamu itu kan anak pemberani,
harus bisa tidur sendiri. Nanti kalau kamu di pondok kan sudah tidak bisa tidur
sama ibu. Apa kamu mau sampai besar tidur sama bapak dan ibu.”
Sedari kecil ibuku sangat berharap aku
mondok dan bisa menjadi anak yang di cita-citakan oleh ibuku yaitu menjadi
seorang ustad. Kalau bapak sebenarnya tidak terlalu memaksaku untuk mondok. Ia
sejak kecil lebih sering mengajakku berkebun dan membaca buku. Sedangkan
keinginanku sendiri? Ya apalah daya aku adalah anak semata wayang ayah dan
ibuku, yang bisa mereka harapkan adalah aku. Tentang cita-citaku? Ya,
sudahlah. Restu ibuku adalah yang utama.
Berkali-kali bapak membujuk ibu tentang
keinginannya memondokkan aku di Jawa, tempat nenek moyangnya berasal. Ya, aku
tinggal di Sumatra, ibu dan bapakku sejak menikah langsung meninggalkan Jawa
dan pindah ke Sumatra. Kehidupannya di Jawa tidak begitu maju.
“Sudahlah, Bu. Kalau anakmu tidak ada
keinginan untuk mondok ya jangan dipaksa. Nanti hasilnya tidak baik.”
“Bapak tahu apa. Kalau mondok kan nanti
anak kita bisa jadi ustad di sini. Syukur-syukur bisa jadi kiai besar. Di sini
kan masih jarang ada orang yang lulusan pondok.”
“Tapi mbok ya jangan di Jawa. Jauh itu,
Bu!”
“Ya tidak apa-apa. Di sana kan tempat
asal kita. Di Jawa banyak kiai pondok yang bagus.”
Suara perdebatan antara ayah dan ibu
terdengar jelas dari kamarku. Aku memilih diam dan menurut. Kala itu umurku
baru sepuluh tahun. Meski laki-laki aku tetap menangis saat orang tuaku akan
mengirimkanku ke pondok di Jawa, tempat asal ayah dan ibu. Mereka sudah
berpesan padaku, “Kalau tidak krasan di pondok nangis boleh, tapi pulang jangan.” Ibu dan bapak akan menjenguk dua kali dalam
setahun.
Semua barang-barangku sudah dikemas.
Satu buah koper berisi beberapa pakaian dan beberapa kardus berisi oleh-oleh
khas Sumatra. Setiap kali ibu dan bapak ke jawa mereka pasti bawa empek-empek
dan krupuk udang. Nenekku sangat suka dengan empek-empek sedangkan kakek sudah
meningggal sejak aku umur dua tahun. Tentu aku tak mengingatnya, semua
kuketahui dari cerita ibu.
Pelan-pelan roda mobil berjalan. Para
tetangga melambaikan tangan dan memberi doa semampu mereka, ada pula yang
memberi beberapa uang saku. Kulihat sekelilingku masih banyak pohon sawit
terhampar. Selama perjalanan melewati hutan sawit aku terus membuka jendela
mobil dan melihat pohon-pohon sawit seakan ikut melambaikan tangan, aku terus
menciumi bau sawit disepanjang perjalanan. Aku tak akan mendapi pohon sawit
saat di Jawa nanti, entah untuk berapa lama.
***
Mataku masih terpejam, namun hidungku
sudah tidak mencium bau pohon sawit. Ya, aku sudah sampai di Jawa. Perjalanan
kutempuh hanya dengan beberapa jam menggunakan pesawat. Ibu mengantarku ke rumah nenek untuk
beristirahat sejenak baru kemudian mengantarku ke pondok.
Sesampainya di pondok aku menangis, ya
aku takut. Saat itu umurku baru sepuluh tahun dan ibu sudah tega mengirimku ke
pondok, pikirku. Rasanya berat sekali saat melihat ibu dan bapak meninggalkanku
di pondok untuk pertama kalinya. Seharian aku terus mengurung diri di kamar
baruku. Kamar yang sempit terbuat dari papan berukuran 3x5 meter. Diisi 10
orang santi. Tidak ada televisi apalagi AC. Hanya ada sebuah kipas angin kecil
yang bunyinya sangat berisik.
Saat di rumah nenek, ibu sudah berpesan,
“Di sana nanti tidak ada kasur apalagi
televisi kayak di kamarmu sebelumnya. Kamu harus belajar hidup prihatin. Manut
apa kata Pak Kiai.”
Aku hanya diam saja dan mendengarkan.
Dan benar saja yang semua dikatakan ibu. Semua fasilitas yang kudapat
sebelumnya telah hilang. Di sini aku tidak bisa main game lagi. Di sekelilingku
hanya ada suara orang mengaji, azan, sholawatan dan tadarusan. Kitab-kitab
kuning berderet tertata rapi. Dari ukuran yang tipis hingga setebal kamus
bahasa indonesia juga ada. Aku tak pernah melihat sebelumnya.pelan-pelan aku
harus bisa menerima semua, kalaupun tidak betah dan ingin pulang pun sangat
jauh. Kalau pulang ke rumah nenek? Ah, sama saja.
***
Satu tahun berlalu. Kujalani satu tahun
pertamaku di pondok sangatlah sulit. Namun pelan-pelan hidungku mulai bisa
melupakan bau pohon sawit dan tergantikan dengan pohon mahoni. Di sekeliling
pondok terdapat banyak pohon mahoni, dan dibelakang pondok terdapat sungat yang
lebar, airnya sangat jernih. setiap hari jumat usai jum’atan aku mandi di sugai
dengan beberapa santri. Di sana ada sebuah air terjun yang tingginya hanya satu
setengah meter. Lumayan untuk jeguran. Jum’at adalah hari libur kami. Para
santri boleh keluar poondok hanya sekedar untuk bermain atau jajan. Hari sabtu dan minggu kami diajarkan
berwirausaha. Di pondok kami diajarkan budidaya lele. Mengolah tanaman rebung,
dan juga berkebun. Saat hari minggu beberapa santri ditugaskan ke pasar untuk
menjual beberapa hasil kebun kami dan beberapa kilo ekor lele kemudian
dtukarkan dengan beberapa bahan pokok untuk kebutuhan makan para santri. Senin-sampai
kamis kami mengaji dari bangun tidur sampai hendak menutupkan mata lagi.
Mengaji Al-Qur’an, beberapa kitab kuning, kitab akhlaq, kitab fiqih dan
buku-buku tentang kewirausahaan semua kami pelajari.
“Kita itu hidup di dunia. Jadi harus
imbang. Ya makan, ya ngaji, ya cari uang. Caranya berwirausaha.” Begitu ucap
Pak Kiai Kami.
***
Tujuh tahun membuatku banyak belajar di
pondok. Belajar tentang kesederhanaan, belajar tentang ilmu agama dan
wirausaha. Kelak aku akan menjadi pengusaha yang sukses seperti cita-citaku
saat kecil, pikirku. Namun lagi-lagi semua berbeda dengan kehendak ibu. Selama
mondok aku jarang sekali pulang. Banyak sekali perbedaan pendapat antara aku
dan ibuku. Jadi aku lebih memilih di pondok yang dulunya sangat tidak aku
sukai. Tujuh tahun mondok aku sangat jarang pulang ke Sumatra, malah bisa
dihitung dengan jari. Hanya tiga atau empat kali. Saat lebaran tiba dan semua
santri memilih untuk pulang kampung aku justru memilih pulang ke rumah nenek.
Libur beberapa hari saat lebaran kupilih menemani nenek yang hidup sebatang
kara di Jawa.
“Minggu depan orang tuamu akan menjemputmu
untuk boyong dari pondok,” ucap nenekku sambil mengelus kepalaku yang tidur di
pangkuannya.”
Aku hanya diam dan pura-pura tidur.
Rasanya sangat berat sekali meninggalkan Jawa. Meninggalkan pondok. Aku pasti
akan merindukansemua. Suara azan dengan langgam jawa, segarnya air sungai dan
derasnya air terjun yang biasa kami sambangi. Rerontokan daun mahoni yang
membuat damai. Semua akan segera kutinggalkan. Semua pasti akan sangat
kurindukan. Ibu dan bapak akan segera menjemputku beberapa hari lagi.
***
Semua barang-barangku sudah kukemas.
Beberapa yang kuanggap tidak begitu penting kutinggal di pondok. Mungkin bisa
dimanfaatkan oleh beberapa kawan santri yang masih di pondok. Sepanjang
perjalanan menuju bandara aku memilih diam.
“Gimana, Nang? Kamu bahagia kan?
Kembali ke Sumatra.” Ibu membuka pembicaraan.
Aku masih diam dan menjawabnya dengan
sedikit senyum agar melegakan hati ibu. Namun sebenarnya aku sangat berat
meninggalkan pondok.
“Nanti kamu di sana mulai ngajar ngaji,
jadi ustad,” sambung ibuku dengan nada sumringah.
“Aku ingin jadi pengusaha saja, Bu.
Mengembangkan usaha Bapak. Pengusaha sawit.” Kali ini aku menjawab.
“Kamu jauh-jauh ibu pondokkan ke Jawa
untuk jadi ustad di kampung kita. Mengajari anak-anak kecil mengaji. Ibu ingin
rumah kita terus terdengar alunan ayat-ayat suci Al Qur’an. Biar ibu kalau
sudah meninggal nanti ada yang ngirimin doa.”
“Ibu sedikit-sedikit bahas soal
kematian,” Sahut bapak.
“tapi, Bu.”
“Ah sudah diam. Kita sudah sampai di
bandara.”
Aku mengiuti langkah ibu dan bapak yang
buru-buru karena sebentar lagi pesawat berangkat. Kami tadi terlalu lama macet
di jalan. Sesampainya di dalam pesawat aku sampaikan keinginanku pada ibu.
“Aku mondok memang agar dapat mendalami
ilmu agama, Bu. Tapi aku juga tidak ingin melepas harapanku. Cita-citaku sejak
kecil. Pengin jadi pengusaha sawit. Hidup itu kan bukan sekedar mengaji, Bu.
Kita juga butuh makan. Aku juga butuh menghidupi anak-anakku kelak. Biaya
pendidikan ke depannya tentu akan berlipat-lipat dari sekarang. Ibu tak perlu
khawatir. Akan akan terus mendoakan ibu dan bapak baik sekarang atau nanti
kalian sudah meninggal. Tapi aku tak ingin jadi ustad. Biarlah hasil dari
mondokku menjadi bekal untukku di kehidupan masyarakat nanti.”
Ibu hanya diam dan tidak menanggapi.
Tapi aku tahu ibu mendengar perkataanku.
“Sudahlah, Bu. Kita turuti saja kemauan
anak kita. Yang penting kan dia sudah punya bekal ilmu agama. Kita tak perlu
khawatir,” Sahut bapak.
Setelah itu kami bertiga memilih untuk diam
sepanjang perjalalan menuju Sumatra. Ibu memandangi awan-awan yang seakan
bergerak dari jendela pesawat. Bapak sudah tertidur pulas, aku pun memilih
menutup mata dari pada nanti berdebat lagi dengan ibu.
****
Perjalanan Semarang-Sumatra hanya kami
tempuh beberapa jam saja. Mataku pelan-pelan terbuka. Kepalaku terasa sangat
sakit, kupikir aku tidur terlalu lama. Kulihat sekelilingku. Ada kasur yang
empuk yang sedang kutiduri, ada televisi, ruangan juga terasa sangat
sejuk. Bangunannya sudah tidak lagi terbuat
dari papan kayu, cat tembok warna hijau kesukaanku tercium masih baru, tentu ini bukan kamarku saat di pondok. Ya, aku sampai di rumah. Aku sudah di kamarku saat kecil dulu.
Pelan-pelan aku berjalan menuju ruang
tamu yang terdengar sangat riuh. Seperti tarian-tarian doa terlantun bersamaan di
ruang tamu. Sesekali ada suara tangisan
juga.
“Ada apa ini?” tanyaku saat sampai di
ruang tamu
Dengan sempoyongan bapak memelukku
“Ibumu, Nang. Sudah meninggal.”
“Tidak mungkin. Tadi kita kan masih di
dalam pesawat, Pak? Aku melihat ibu masih duduk dekat jendela dan seakan-akan
beliau sedang bercakap-capak dengan awan.”
“Iya, Nang. Kita semua tadi kecelakaan
pesawat. Kamu dan bapak masih selamat. Tapi ibu tidak.”
“Innalillahi wa inna ilaihi
raji’un.”
Seketika tubuhku terjatuh dan kakiku rasanya
tak kuat lagi berdiri melihat ibuku terbaring kaku di hadapanku. Aku menangis.
Dalam hatiku aku berjanji pada ibuku.
“Aku akan menjadi seperti keinginan
ibuku. Manjadi seorang ustad di kampung kita. Namun aku juga harus jadi
pengusaha. Aku akan terus mengirimkan tarian-tarian doa yang tak ada putusnya
untuk ibu agar beliau tak menyesali punya anak seperti aku. Aku juga akan terus
berusahan menjadi pengusaha sukses seperti cita-citaku saat kecil.”
***
Komentar
Posting Komentar