Cerpen, Tarian Doa

gambar Djoko Susilo
https://web.facebook.com/djokokartun


Tarian Doa, Cerpen Akhil Bashiroh

Suara azan subuh kali ini terdengar sangat berbeda. Liriknya terdengar lebih indah dari biasanya dan nadanya terdengar sangat berat. Suara azan dengan langgam Jawa tak akan bisa kudengar lagi nanti. Hari ini aku harus segera bergegas karena kedua orang tuaku akan segera tiba untuk menjemputku pulang dari pondok. Ibu kecewa.

***

Rintik gerimis masih terdengar dari semalam hingga subuh ini. Aku rasanya berat sekali meninggalkan kamar tidurku yang sudah kutempati sejak aku berumur lima tahun. Ya, aku sudah mulai tidur sendiri sejak umur lima tahun. Awalnya aku sangat takut, namun ibuku selalu berpesan padaku.

“Nang, kamu itu kan anak pemberani, harus bisa tidur sendiri. Nanti kalau kamu di pondok kan sudah tidak bisa tidur sama ibu. Apa kamu mau sampai besar tidur sama bapak dan ibu.”

Sedari kecil ibuku sangat berharap aku mondok dan bisa menjadi anak yang di cita-citakan oleh ibuku yaitu menjadi seorang ustad. Kalau bapak sebenarnya tidak terlalu memaksaku untuk mondok. Ia sejak kecil lebih sering mengajakku berkebun dan membaca buku. Sedangkan keinginanku sendiri? Ya apalah daya aku adalah anak semata wayang ayah dan ibuku, yang bisa mereka harapkan adalah aku. Tentang cita-citaku? Ya, sudahlah.  Restu ibuku adalah yang utama.

Berkali-kali bapak membujuk ibu tentang keinginannya memondokkan aku di Jawa, tempat nenek moyangnya berasal. Ya, aku tinggal di Sumatra, ibu dan bapakku sejak menikah langsung meninggalkan Jawa dan pindah ke Sumatra. Kehidupannya di Jawa tidak begitu maju.

“Sudahlah, Bu. Kalau anakmu tidak ada keinginan untuk mondok ya jangan dipaksa. Nanti hasilnya tidak baik.”

“Bapak tahu apa. Kalau mondok kan nanti anak kita bisa jadi ustad di sini. Syukur-syukur bisa jadi kiai besar. Di sini kan masih jarang ada orang yang lulusan pondok.”

“Tapi mbok ya jangan di Jawa. Jauh itu, Bu!”

“Ya tidak apa-apa. Di sana kan tempat asal kita. Di Jawa banyak kiai pondok yang bagus.”

Suara perdebatan antara ayah dan ibu terdengar jelas dari kamarku. Aku memilih diam dan menurut. Kala itu umurku baru sepuluh tahun. Meski laki-laki aku tetap menangis saat orang tuaku akan mengirimkanku ke pondok di Jawa, tempat asal ayah dan ibu. Mereka sudah berpesan padaku, “Kalau tidak krasan di pondok nangis boleh, tapi pulang jangan.”  Ibu dan bapak akan menjenguk dua kali dalam setahun.

Semua barang-barangku sudah dikemas. Satu buah koper berisi beberapa pakaian dan beberapa kardus berisi oleh-oleh khas Sumatra. Setiap kali ibu dan bapak ke jawa mereka pasti bawa empek-empek dan krupuk udang. Nenekku sangat suka dengan empek-empek sedangkan kakek sudah meningggal sejak aku umur dua tahun. Tentu aku tak mengingatnya, semua kuketahui dari cerita ibu.

Pelan-pelan roda mobil berjalan. Para tetangga melambaikan tangan dan memberi doa semampu mereka, ada pula yang memberi beberapa uang saku. Kulihat sekelilingku masih banyak pohon sawit terhampar. Selama perjalanan melewati hutan sawit aku terus membuka jendela mobil dan melihat pohon-pohon sawit seakan ikut melambaikan tangan, aku terus menciumi bau sawit disepanjang perjalanan. Aku tak akan mendapi pohon sawit saat di Jawa nanti, entah untuk berapa lama.

***

Mataku masih terpejam, namun hidungku sudah tidak mencium bau pohon sawit. Ya, aku sudah sampai di Jawa. Perjalanan kutempuh hanya dengan beberapa jam menggunakan pesawat.  Ibu mengantarku ke rumah nenek untuk beristirahat sejenak baru kemudian mengantarku ke pondok.

Sesampainya di pondok aku menangis, ya aku takut. Saat itu umurku baru sepuluh tahun dan ibu sudah tega mengirimku ke pondok, pikirku. Rasanya berat sekali saat melihat ibu dan bapak meninggalkanku di pondok untuk pertama kalinya. Seharian aku terus mengurung diri di kamar baruku. Kamar yang sempit terbuat dari papan berukuran 3x5 meter. Diisi 10 orang santi. Tidak ada televisi apalagi AC. Hanya ada sebuah kipas angin kecil yang bunyinya sangat berisik.

Saat di rumah nenek, ibu sudah berpesan,

“Di sana nanti tidak ada kasur apalagi televisi kayak di kamarmu sebelumnya. Kamu harus belajar hidup prihatin. Manut apa kata Pak Kiai.”

Aku hanya diam saja dan mendengarkan. Dan benar saja yang semua dikatakan ibu. Semua fasilitas yang kudapat sebelumnya telah hilang. Di sini aku tidak bisa main game lagi. Di sekelilingku hanya ada suara orang mengaji, azan, sholawatan dan tadarusan. Kitab-kitab kuning berderet tertata rapi. Dari ukuran yang tipis hingga setebal kamus bahasa indonesia juga ada. Aku tak pernah melihat sebelumnya.pelan-pelan aku harus bisa menerima semua, kalaupun tidak betah dan ingin pulang pun sangat jauh. Kalau pulang ke rumah nenek? Ah, sama saja.

***

Satu tahun berlalu. Kujalani satu tahun pertamaku di pondok sangatlah sulit. Namun pelan-pelan hidungku mulai bisa melupakan bau pohon sawit dan tergantikan dengan pohon mahoni. Di sekeliling pondok terdapat banyak pohon mahoni, dan dibelakang pondok terdapat sungat yang lebar, airnya sangat jernih. setiap hari jumat usai jum’atan aku mandi di sugai dengan beberapa santri. Di sana ada sebuah air terjun yang tingginya hanya satu setengah meter. Lumayan untuk jeguran. Jum’at adalah hari libur kami. Para santri boleh keluar poondok hanya sekedar untuk bermain atau jajan.  Hari sabtu dan minggu kami diajarkan berwirausaha. Di pondok kami diajarkan budidaya lele. Mengolah tanaman rebung, dan juga berkebun. Saat hari minggu beberapa santri ditugaskan ke pasar untuk menjual beberapa hasil kebun kami dan beberapa kilo ekor lele kemudian dtukarkan dengan beberapa bahan pokok untuk kebutuhan makan para santri. Senin-sampai kamis kami mengaji dari bangun tidur sampai hendak menutupkan mata lagi. Mengaji Al-Qur’an, beberapa kitab kuning, kitab akhlaq, kitab fiqih dan buku-buku tentang kewirausahaan semua kami pelajari.

“Kita itu hidup di dunia. Jadi harus imbang. Ya makan, ya ngaji, ya cari uang. Caranya berwirausaha.” Begitu ucap Pak Kiai Kami.

***

Tujuh tahun membuatku banyak belajar di pondok. Belajar tentang kesederhanaan, belajar tentang ilmu agama dan wirausaha. Kelak aku akan menjadi pengusaha yang sukses seperti cita-citaku saat kecil, pikirku. Namun lagi-lagi semua berbeda dengan kehendak ibu. Selama mondok aku jarang sekali pulang. Banyak sekali perbedaan pendapat antara aku dan ibuku. Jadi aku lebih memilih di pondok yang dulunya sangat tidak aku sukai. Tujuh tahun mondok aku sangat jarang pulang ke Sumatra, malah bisa dihitung dengan jari. Hanya tiga atau empat kali. Saat lebaran tiba dan semua santri memilih untuk pulang kampung aku justru memilih pulang ke rumah nenek. Libur beberapa hari saat lebaran kupilih menemani nenek yang hidup sebatang kara di Jawa.

“Minggu depan orang tuamu akan menjemputmu untuk boyong dari pondok,” ucap nenekku sambil mengelus kepalaku yang tidur di pangkuannya.”

Aku hanya diam dan pura-pura tidur. Rasanya sangat berat sekali meninggalkan Jawa. Meninggalkan pondok. Aku pasti akan merindukansemua. Suara azan dengan langgam jawa, segarnya air sungai dan derasnya air terjun yang biasa kami sambangi. Rerontokan daun mahoni yang membuat damai. Semua akan segera kutinggalkan. Semua pasti akan sangat kurindukan. Ibu dan bapak akan segera menjemputku beberapa hari lagi.

***

Semua barang-barangku sudah kukemas. Beberapa yang kuanggap tidak begitu penting kutinggal di pondok. Mungkin bisa dimanfaatkan oleh beberapa kawan santri yang masih di pondok. Sepanjang perjalanan menuju bandara aku memilih diam.

“Gimana, Nang? Kamu bahagia kan? Kembali ke Sumatra.” Ibu membuka pembicaraan.

Aku masih diam dan menjawabnya dengan sedikit senyum agar melegakan hati ibu. Namun sebenarnya aku sangat berat meninggalkan pondok.

“Nanti kamu di sana mulai ngajar ngaji, jadi ustad,” sambung ibuku dengan nada sumringah.

“Aku ingin jadi pengusaha saja, Bu. Mengembangkan usaha Bapak. Pengusaha sawit.” Kali ini aku menjawab.

“Kamu jauh-jauh ibu pondokkan ke Jawa untuk jadi ustad di kampung kita. Mengajari anak-anak kecil mengaji. Ibu ingin rumah kita terus terdengar alunan ayat-ayat suci Al Qur’an. Biar ibu kalau sudah meninggal nanti ada yang ngirimin doa.”

“Ibu sedikit-sedikit bahas soal kematian,” Sahut bapak.

“tapi, Bu.”

“Ah sudah diam. Kita sudah sampai di bandara.”

Aku mengiuti langkah ibu dan bapak yang buru-buru karena sebentar lagi pesawat berangkat. Kami tadi terlalu lama macet di jalan. Sesampainya di dalam pesawat aku sampaikan keinginanku pada ibu.

“Aku mondok memang agar dapat mendalami ilmu agama, Bu. Tapi aku juga tidak ingin melepas harapanku. Cita-citaku sejak kecil. Pengin jadi pengusaha sawit. Hidup itu kan bukan sekedar mengaji, Bu. Kita juga butuh makan. Aku juga butuh menghidupi anak-anakku kelak. Biaya pendidikan ke depannya tentu akan berlipat-lipat dari sekarang. Ibu tak perlu khawatir. Akan akan terus mendoakan ibu dan bapak baik sekarang atau nanti kalian sudah meninggal. Tapi aku tak ingin jadi ustad. Biarlah hasil dari mondokku menjadi bekal untukku di kehidupan masyarakat nanti.”

Ibu hanya diam dan tidak menanggapi. Tapi aku tahu ibu mendengar perkataanku.

“Sudahlah, Bu. Kita turuti saja kemauan anak kita. Yang penting kan dia sudah punya bekal ilmu agama. Kita tak perlu khawatir,” Sahut bapak.

 Setelah itu kami bertiga memilih untuk diam sepanjang perjalalan menuju Sumatra. Ibu memandangi awan-awan yang seakan bergerak dari jendela pesawat. Bapak sudah tertidur pulas, aku pun memilih menutup mata dari pada nanti berdebat lagi dengan ibu.

****

Perjalanan Semarang-Sumatra hanya kami tempuh beberapa jam saja. Mataku pelan-pelan terbuka. Kepalaku terasa sangat sakit, kupikir aku tidur terlalu lama. Kulihat sekelilingku. Ada kasur yang empuk yang sedang kutiduri, ada televisi, ruangan juga terasa sangat sejuk.  Bangunannya sudah tidak lagi terbuat dari papan kayu, cat tembok warna hijau kesukaanku tercium masih baru,  tentu ini bukan kamarku saat di pondok. Ya, aku sampai di rumah. Aku sudah di kamarku saat kecil dulu.

Pelan-pelan aku berjalan menuju ruang tamu yang terdengar sangat riuh. Seperti tarian-tarian doa terlantun bersamaan di ruang tamu.  Sesekali ada suara tangisan juga.

“Ada apa ini?” tanyaku saat sampai di ruang tamu

Dengan sempoyongan bapak memelukku

“Ibumu, Nang. Sudah meninggal.”

“Tidak mungkin. Tadi kita kan masih di dalam pesawat, Pak? Aku melihat ibu masih duduk dekat jendela dan seakan-akan beliau sedang bercakap-capak dengan awan.”

“Iya, Nang. Kita semua tadi kecelakaan pesawat. Kamu dan bapak masih selamat. Tapi ibu tidak.”

“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.” 

Seketika tubuhku terjatuh dan kakiku rasanya tak kuat lagi berdiri melihat ibuku terbaring kaku di hadapanku. Aku menangis. Dalam hatiku aku berjanji pada ibuku.

“Aku akan menjadi seperti keinginan ibuku. Manjadi seorang ustad di kampung kita. Namun aku juga harus jadi pengusaha. Aku akan terus mengirimkan tarian-tarian doa yang tak ada putusnya untuk ibu agar beliau tak menyesali punya anak seperti aku. Aku juga akan terus berusahan menjadi pengusaha sukses seperti cita-citaku saat kecil.”

***


Akhil Bashiroh kelahiran Demak, 24 Juni 1994. Kini tinggal di Dukuh Slamet Meteseh  Boja Kendal dan merawat Pondok Baca Ajar Boja. Lulusan Unnes (Universitas Negeri Semarang) 2016, pernah menulis beberapa cerpen dan dimuat di Suara Merdeka. Menerbitkan kumpulan cerpen “Menunggu Kelahiran” dan kumpulan geguritan pada tahun 2017.

Komentar