Cermin: Seperti Rindu, Ia Menjelma Kupu-Kupu

Seperti Rindu, Ia Menjelma Kupu-Kupu

Oleh: M. Lukluk Atsmara Anjaina*

 

https://www.facebook.com/taufikuredish


Belalang itu tetiba hinggap di bunga madu, tak seperti biasanya, kupu-kupu yang mengambil peran untuk memindah serbuk sari kepada putiknya. Aku melamun, begitu melihat keanehan yang tertangkap mata kameraku. Belalang itu dengan tulus menggantikan kupu-kupu yang sayapnya patah, fertilisasi tak mungkin terjadi tanpa kupu-kupu. Tetapi, kejanggalan oleh belalang lebih tidak masuk akal.

Begitulah aku melihat pagi hari, yang sibuk dengan lalu lalang orang pergi ke pasar dan sawahnya masing-masing. Sedang aku masih melamun, ketika pak RT menyapaku sambil berlalu, “Mas Hendra, sudah muram sekali pagi hari ini,” ujar pak RT sembari berjalan di depan rumah Hendra.

Meski pagi hari begitu cerah, keanehan itu seolah menjadi pertanda rindu Hendra pada kekasihnya, yang beberapa waktu lalu tak memberikan kabar apa-apa, lalu menghilang begitu saja. Mungkinkah, posisi Hendra di ruang hati kekasihnya digantikan oleh orang lain yang tak ia ketahui. Hendra hanya bisa menerka-nerka sembari melamunkan pandangnya, pada bunga yang sedang dicumbu belalang itu.

 Botol kaca yang diambilnya dari lemari pendingin perlahan mencair, mengalirkan air tetesan akibat hawa dingin pada botol. Hendra tak menyadari, mejanya telah basah oleh air yang luluh dari botol kaca. Ia membiarkan airnya hangat oleh sinar matahari pagi. Semenjak beberapa hari lalu, kebiasaan Hendra berubah drastis, Ia yang tak biasa minum air dingin, mendadak sering meminum air dingin.

“Oh pujaan hatiku, kemanakah kau menghilang, Adinda. Kubiarkan hidupku ikut merasakan kehilanganmu, tubuhku resah oleh perasaan yang terlanjur memuncak, tubuhku kubiarkan dihantam air dingin tiap pagi, tapi, kau masih sajakah tak hadir dalam ponselku, sekadar pesan singkat yang memberikan kabar bahagia darimu,” batinnya dalam hati Hendra.

“Mas Hendra, janganlah kau tunggu aku lagi, kini, aku sudah begitu bahagia dalam dekapan hangat kekasihku, kekasih yang tetiba datang memelukku, melamarku dengan sebatang ikatan bunga,” balasan itu menggenapi lamunan Hendra. Ia tersadar sedang melamunkan sesuatu yang menyebalkan baginya.

Hendra beranjak, ketika jam dinding menunjukkan pukul 9 pagi, sebab, ia teringat harus berangkat ke kantor pukul 10, untuk bertemu atasannya. Ia mencoba melupakan keganjilan pagi hari  tadi, sekadar untuk mendinginkan hatinya, melegakan perasaannya yang tak karuan. Hendra masih yakin, bahwa kekasihnya masih mencintainya, masih tersisa banyak rindu yang disimpannya dalam-dalam, meski kemungkinannya ia sendiri tak yakin.

Hendra pergi ke dalam rumah, membersihkan diri dan menyiapkan segala keperluannya. Di usia 27 tahun, ia masih sibuk memikirkan nasibnya yang masih bujang. Belum lagi, kekasih hatinya yang ia idamkan untuk dijadikan istrinya menghilang begitu saja, tanpa alasan yang jelas. Yang pasti, ia masih yakin dan cukup optimis.

Sesampainya di kantor, Hendra mendapati sebuah kertas undangan yang berada di atas mejanya, disertai secarik kertas dengan tulisan tangan. Ia meraihnya perlahan, sembari mengingat karakter tulisan pada kertas itu, lantas ia membacanya dengan perlahan,

“Mas Hendra, kasihku, segenggam permohonan maaf aku sampaikan padamu, sebab aku menghilang beberapa hari ini. Bukan aku bermaksud meninggalkanmu, bukan pula aku tak mencintaimu lagi, tapi takdir Tuhan hari ini menghampiriku, seorang yang tak pernah kukenal datang bersama kedua orang tuanya,” tulisnya.

Belum selesai membaca, hatinya seolah terpukul kayu yang begitu besar, tubuhnya tersayat rindu itu sendiri, ia melanjutkan sembari meneteskan air mata,

“Ia melamarku hari ini, dan kedua orang tuaku telah mengenalnya begitu lama, sebab ia merupakan anak dari rekan kerja orang tuaku, aku tak bisa menghindari takdir untuk takdir-takdir yang lain, ketetapan ini mutlak aku terima hari ini. Semoga, mas Hendra mendapati kekasih yang jauh lebih sempurna dari Adinda,” tutupnya dalam secarik kertas.

Hendra hanya bisa terdiam, begitu lama, membayangkan takdirnya yang mencair begitu saja, persis seperti botol dingin yang meluluhkan air embun yang menempel dari luar botolnya. Ia masih terdiam, ketika orang-orang kantor, kawan-kawannya mendekatinya.

 

M. Lukluk Atsmara Anjaina, lahir di Kendal, 22 April 2000. Aktif di Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama Universitas Diponegoro dan Komunitas Sastra Pelataran Sastra Kaliwungu. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Diponegoro. Menulis Puisi dan Esai. Antologi puisi tunggalnya adalah "Ruh dan Keabadian" (Penerbit PSK, 2020) dan beberapa puisinya diterbitkan dalam beberapa antologi puisi bersama, seperti Gus Punk (Antologi Puisi untuk Gus Dur, 2019) dan Percakapan Hari Libur (Antologi Puisi Peserta Pelatihan Menulis Puisi, 2020). Esainya terbit dalam beberapa kumpulan esai bersama, seperti Ramadan di Kampung Halaman (Kumpulan Esai Lesbumi Kendal, 2018); Bacaan Pertama – Sekumpulan Pengakuan Diri Terhadap Bacaan (Medan Keabadian Kata, 2018); Panoptikum Covid-19: Sebuah Karya Awal – Antologi Esai Peserta Bengkel Bahasa dan Sastra Penulisan Kreatif untuk Pegiat Komunitas di Kabupaten Temanggung (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2020); Jalan Puisi dan Patembayatan – Bunga Rampai Mengenang Sosok dan Karya Iman Budhi Santosa (Komunitas Lereng Medini, 2021). Tulisannya dimuat di berbagai media online. Kini menjabat sebagai ketua Forum Generasi Berencana Provinsi Jawa Tengah, organisasi yang fokus pada persoalan remaja, triad KRR dan Gender. Bisa disapa melalui Instagram @luklukanjaina.

Komentar