PASCANASIONALISME DAN LOYALITAS BAHUREKSO (TANGGAPAN TERHADAP NOVEL BAU)


sumber gambar instagram Balai Bahasa Jawa Tengah
 https://www.instagram.com/p/CQhnwW0FmZN/


 Oleh Muslichin HN*


Tulisan ini berangkat dari kekesalan saya yang selalu terlambat mengikuti kegiatan diskusi yang dilakukan oleh PSK pimpinan mas Bahrul Ulum A. Malik. Sudah tiga kali ini diundang baik luring maupun daring selalu terlambat untuk mengikutinya meski saya secara pribadi sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Apalagi diskusi terakhir yang dilakukan dan diprakarsai Balai Bahasa Jawa Tengah yang mengangkat novel Bau karya Gunoto Saparie. Diskusi yang seharusnya menarik dan ternyata menarik setelah saya ikuti dalam youtube ini semakin memantapkan diri saya untuk mengupas lebih jauh atas dasar kekecewaan psikologis historis.

Novel Bau sejatinya adalah novel sejarah. Hal ini mungkin secara sengaja ingin dilakukan dan ditampilkan penulisnya sehubungan dengan semangat beliau sebagai orang Kendal yang ingin mengangkat spirit kepahlawanan Bahurekso sebagai sentral cerita.

Kendal memang kumpulan masyarakat yang haus tokoh sejarah. Berbeda dengan kabupaten lain yang punya tokoh-tokoh hebat yang tampil di pusaran politik dan budaya nasional. Kehausan citra sejarah ini berusaha dijembatani pengarang-pengarang yang ada dengan menokohkan kembali tokoh-tokoh lama untuk menjadi represntasi kebanggaan yang semakin membukit dan massif.

Membaca Bau, memang ada kebanggaan sebagai warga Kendal, tokoh utama yang namanya sudah melekat pada icon dan nama-nama komunitas yang ada di Kabupaten Kendal ini, apalagi melihat cover garang wajah Bahurekso yang sangat konfrontatif dengan lawan-lawannya.  Novel bertebal 240 halaman dibuka dengan awalan yang sangat sastrawai yang sangat menyentuh. Ada penggambaran dua insan manusia yang saling mencintai yang kita tahu (melalui novel ini) bahwa keduanya adalah Bahurekso dan Srinti. Rasanya, sebagai pembaca, saya akan diajak bertamasya menuju masa lalu seperti membaca karya-karya Romo Mangunwijoyo atau setidaknya Langit Krisna Hariyadi. Penggambaran karakter tokohnya sangat kuat dengan latar historis yang bisa dipertanggungjawabkan. Sosok ketegasan dan disiplin Bahurekso yang begitu kuat karena faktor idealisme yang dibangun atas dasar pengaruh Portugis. Sosok loyalitas sebagai bawahan dari bangsa kulit putih menjadikan pemuda Bahurekso ini punya kapasitas berpikir sebagai orang kulit putih. Makanya sangat wajar jika J.P. Coen, van Rijn, dan Pieter Both menganggap Bahurekso bukan orang Jawa lagi (ora njawani), sehingga sulit untuk diantisipasi dan diatasi. Berbeda dengan Tumenggung lainnya yang mudah ditebak arah dan sikapnya.   

Secara umum, saya mengatakan bahwa novel ini memiliki sudut pandang baru melihat Bahurekso sebagai pahlawan masa Kerajaan Mataram. Rata-rata kisah-kisah yang tokoh-tokohnya sezaman, selalu memfokuskan unsur-unsur magis sebagai pembentuk karakter diri, kesaktian, dan keahlian strategi. Novel Bau lebih mengutamakan sisi historis dari sisi kolonial. Bagaimana sudut pandang orang-orang kompeni melihat Bahurekso dari sisi bukan orang Kendal atau Jawa secara umum. Semacam muncul dekonstruksi historis yang sedang dilakukan sang penulis untuk memunculkan siapa sebenarnya Bahurekso.

Sosok Bahurekso yang bajak laut dan pernah mengabdi pada Portugis dan jatuh cinta pada Issabella, merupakan contoh kecil bagaimana cerita seperti ini sangat jarang diketahui oleh masyarakat Kendal. Masyarakat Kendal sudah akrab dengan kisah-kisah Babad Tanah Jawai yang direproduksi ulang dalam Babad Tanah Kendal. Namun dengan fakta bahwa Bahurekso adalah produk dari kolonialisme Barat ini yang sangat jarang disentuh dan diperbincangkan oleh masyarakat.

Lalu, di sini muncul pertanyaan yang bertubi-tubi berhamburan dengan pertanyaan lainnya. Apakah berarti dengan munculnya fakta mental seperti meski dalam novel akan mengubah cara pandang masyarakat Kendal pada sosok Bahurekso yang sebenarnya, atau lebih sederhananya lahir pertanyaan seperti ini: mungkinkah kondisi psikologi Bahurekso sebagai produk anak kandung Barat (Portugis) menjadi alat politik baru dan alasan baru bagi Sultan Agung untuk percaya sepenuhnya pada Bahurekso dan menganggap dirinya sebagai pengkhianat?

Novel ini sudah lahir dan terkadung terbaca. Seorang pembaca pun boleh mengintrepetasikan narasi yang ada di dalamnya sehubungan dengan alasan lain yang mengendap lebih dahulu pada diri pembaca.  Pembaca punya alasan tertentu untuk menyetujui penceritaan dan pencitraan yang dijalin penulisnya.

Akan tetapi di samping ada beberapa kelebihan novel Bau ini, ada pula kekurangan yang muncul di dalamnya. Kekurangan itu nampak pada terlalu banyak penceritaan tentang karakter J.P. Coen yang sepertinya itu berulang-ulang semata, framing pada kasus perdagangan beras atau pembuatan loji di jepara, dan kegagalan bahurekso menangkap Raden Pekik.

Pembaca akan melihat bahwa novel ini adalah cerita pendek yang dipanjang-panjangkan yang ternyata hal itu muncul dalam pengakuan penulis ketika mengawali diskusi pagi ini secara virtual. Kelemahan novel berbasis cerpen rata-rata memang pada keletihan dan energi penulis yang tidak mampu mengimbangi semangat nya. Data sebagai sumber utama dari novel sejarah tidak lagi digarap lebih mendalam lagi. Artinya penulis hanya mendapatkan data (yang akan menjadi fakta)yang sepantasnya untuk sebuah cerpen. Padahal, novel harusnya membutuhkan penambahan data yang lebih lengkap dan utuh agar cerita tidak berputar-putar pada lingkaran yang sama dan akhirnya justru membosankan.

Seharusnya memang saya tadi hadir untuk menanyakan keberatan-keberatan dan memunculkan pertanyaan-pertanyaan bodoh saya ini. Pertanyaan ini didasarkan pada sikap saya sebagai pecinta sejarah dan kisah yang unik, runtut, namun ada pertanggungjawaban dan logika sejarahnya.   

Dalam novel ini, sekali lagi ada kesan Bahurekos itu  sebagai bawahan yang sangat loyal pada pimpinannya meski atasannya adalah bangsa lain. Kisah dirinya sebagai bajak laut dan mencintai Isabella, bekerja sebagai anak buah di kapal-kapal Portugis, dan melakukan penyerangan-penyerangan terhadap kompeni yang seharusnya ia menjaga hubungan dengan kompeni seperti apa yang diinginkan Sultan Agung agar perdagangan Mataram lancar, seolah menjadi faktor utama yang menyebabkan Tumenggung Purbaya, Sura Agul-Agul, Mandurarejo, bahkan Sultan Agung menganggap bahwa Bahurekso adalah pengkhianat perang.

Apakah novel ini tidak menyakiti perasaan masyarakat Kendal jika penulis begitu jujur bercerita tentang Bahurekso dalam framing seperti itu. Apakah mungkin masyarakat Kendal bisa menerima sisi kisah yang berbeda dengan pemahaman mereka yang sebelumnya. Akan banyak keberatan dan tafsiran lainnya ketika nanti pembaca kritis mencoba menggugah posisi fakta dalam novel Bau ini. 

 

Kendal, 13 Juli 2021

*Muslichin HN,  Sejarawan, Ketua Lesbumi NU Kendal, Penulis Buku "Jagat Kalang"

Komentar