Sebuah Catatan Perjumpaan dengan Iman Budhi Santosa: Sastra, Realitas dan Kreativitas Manusia

Photo dokumentasi PSK (13 September 2020)


“Logika hari ini itu membingungkan, tapi ya bagaimana lagi,” Itulah kalimat yang menjadi catatan awal penulis ketika bertemu di sebuah rumah kontrakan Pak Iman Budhi Santosa, tepat tiga bulan sebelum beliau dinyatakan berpulang meninggalkan kita semua. Pertemuan yang bagi kami (Pelataran Sastra Kaliwungu) merupakan pertama dan terakhir. Meski, diantara kami sudah pernah sesekali berjumpa, tetapi secara komunitas, kami baru uluk salam, menyambangi beliau untuk kali pertamanya. Pertemuan itupun seolah diarahkan oleh takdir alam, sebab, sebelum lawatan digerakkan, kami tidak terpikirkan sedikitpun hendak menyambangi Pak Iman Budhi Santosa. Semua berkat kawan-kawan yang baik hati, mas Heri CS, kang Kelana Siwi dan beberapa kawan lain, yang menyarankan kami untuk mampir, ngangsu kawruh kepada beliau.

Kami memutari Jogjakarta dalam rangka lawatan komunitas, menyambangi komunitas sastra dan penerbit buku serta beberapa tokoh lainnya, hingga akhirnya kami dipersilakan mampir dengan waktu yang sudah ditentukan dan dijanjikan oleh Irul, anak angkat yang selalu menemani Pak Iman Budhi Santosa. Kami tiba sekira habis Isya selepas memutari alun-alun kidul menikmati malam hari. Memasuki gang lumayan kecil kami menuju sebuah tempat yang sudah ditunjukkan oleh Google Maps kiriman mba Irul tersebut. Selepas sampai disana, kami disapa oleh mba Irul dan diantar ke sebuah sudut kontrakan yang kecil seperti rumah kos-kosan, dan ditempat itu pula, beliau beraktivitas. Kami diterima penuh kehangatan di depan ruangan kecil itu, memulai obrolan kecil tentang maksud dan tujuan kami bertamu.

Waktu terus berjalan, Pak Iman kian asik bercerita, seakan menjadi pendongeng yang antusias berkisah mengenai apa saja, bau-bau orbolan meliputi segala yang terlintas, dari obat herbal, situasi negeri, sastra dan budaya. Kami memantik beliau mengenai kondisi saat ini di Indonesia, yang kehilangan kepercayaan diri. Pak Iman memandang dengan tatapan yang tajam, kemudian berkisah dengan bahasa Jawa yang kadang diselipi bahasa Indonesia. Beliau menyahut demikian kiranya jika diterjemahkan, “Logika kita hari ini itu membingungkan, tapi ya bagaimana lagi, Masalahnya, kita orang-orang ini modern ini yang bermasalah. Bukan Corona, tetapi orang-orang modern yang jadi penakut. Dari Kaliwungu ke Semarang, disuruh jalan, tidak mau kan pasti? Begitulah, orang saat ini tidak mau mencari,”

Pak Iman beranggapan bahwa salah satu masalahnya karena bangsa kita jadi imperior, yang hanya bisa meniru apa yang sudah ada. Apa yang kira-kira bagus, kita tiru, kita tidak mau mencoba mencari. Padahal, banyak sekali cerita-cerita dan kisah-kisah yang sebenarnya ada dan bisa dipelajari. Barangkali, bangsa kita terlampau penakut, dan malah sering berpedoman pada aturan barat, pada kebudayaan barat.

 

Kisah Penyakit dan Obat-obatan Herbal

Satu hal menarik yang dapat kita ambil dari pertemuan dengan Pak Iman adalah ajaran dan piwulang mengenai beberapa penyakit dan obat-obatan yang dapat menyembuhkannya. Beliau banyak berkisah mengenai tumbuhan dan apa yang ada di alam sebetulnya adalah obat dari penyakit yang diberikan oleh Tuhan. Beberapa kisahnya antara lain, pertama, mengenai seorang kawannya yang digigit oleh Kalajengking. Hewan kecil yang cukup mengerikan dari visualnya. Kisah ini beliau alami ketika menjadi pada tahun 1967, ketika sedang Praktik Kopi di Pakis Aji, Purbalingga. Saat itu beliau mendapat giliran jadi ketua kelompok, karena setiap hari ketua kelompoknya digilir.

Beliau terpaksa turun lereng karena desakan teman-temanya untuk mencari pertolongan ke sebuah dinas (pengobatan). Sesampainya di Balai Pengobatan, beliau menceritakan kejadian yang dialami temannya, tetapi ternyata Balai Pengobatan tidak tahu apa obatnya dan menyarankan membawa obat merah dan beberapa lainnya. Sedikit kecewa, akhirnya beliau kembali ke lereng untuk menemui kawannya dengan sedikit ngos-ngosan. Tetapi ternyata, sesampainya disana, sudah baik-baik saja.

Kejadian ini ternyata hanya perlu diobati oleh sesuatu yang barangkali menurut kita sangat sepele, yakni kotoran sapi (telepong sapi). Sewaktu pak Iman turun ke Balai Pengobatan, ada pengembala sapi mendengar teriakan temannya yang kesakitan, lalu menghampiri. Mengetahui ada yang digigit Kalajengking, si pengembala sapi ini kembali ke tempat sapinya dan membawa kotoran sapi. Kondisinya saat itu sudah hamper lumpuh, tetapi akhirnya selamat berkat kotoran sapi yang dibawa oleh pengembala sapi tersebut.

Kedua, terkait kumis kucing yang dapat digunakan untuk mengobati batu ginjal. Beliau tidak menceritakan secara lengkap bagaimana awal mulanya. Beliau membeberkan bahwa ternyata batu ginjal bisa dihancurkan dengan daun dan bunga kumis kucing. “Sejarahe seko ngendi?” (Sejarahnya dari mana?) kata beliau. “Ini yang tidak dicari oleh bangsa kita,” tambahnya.

Setelah penulis mencoba berselancar di dunia maya dan Internet, memang ada beberapa artikel yang membahas mengenai keampuhan rebusan tanaman kumis kucing dalam menghancurkan batu ginjal. Bahkan, menurut artikel di jpnn.com, sudah diakui oleh dunia kedokteran Indonesia. Dikatakan bahwa, dapat ampuh menghancurkan batu ginjal jika ukurannya masih kecil.

Ketiga, beliau berkisah mengenai kutu loncat pada daun Lamtoro yang mewabah di Indonesia dan menghabiskan seluruh lamtoro yang ada di Indonesia. Pada tahun 1980an –katanya, ada hama lamtoro yang menghabiskan lamtoro di seluruh Indonesia. Disemprot menggunakan berbagai cairan dan pengobatan, tetapi tidak berhasil. Uniknya, di Boyolali, terdapat orang yang sedang menjemur tembakau. Dimana tembakau itu dipotong-potong dan dijemur di atas daun lamtoro yang terdapat kutu loncatnya. Apa yang terjadi? Ternyata, kutu loncatnya lepas dari daun lamtoro karena bau tembakau.

Keempat, beliau mencoba memberikan challenge kepada kami. Beliau melihat disana-sini himbauan dan anjuran untuk memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Sedangkan tidak ada satupun yang menganjurkan untuk memperbanyak berdoa. Di warung-warung, semuanya tertulis jangan lupa 3M, tanpa anjuran perbanyak berdoa. Dari sinilah beliau menyinggung terkait anjuran cuci tangan, kenapa kita tidak mencoba cuci tangan menggunakan rebusan air tembakau?

 

Berbicara Kreativitas Sastra Kita Hari Ini

Hal yang tak kalah menarik dalam pembicaraan malam itu adalah mengenai sastra. Pak Iman berbicara sangat luas mengenai apa itu sastra dan bagaimana seharusnya sastra. Hal yang pertama dibicarakan adalah mengenai karya novel yang ikut dalam seleksi Anugerah Prasidatama Balai Bahasa Jawa Tengah, dimana beliau saat itu dipercaya untuk menjadi juri yang harus menyeleksi puluhan karya novel dari para penulis dan – meminjam istilah pak Iman, pencipta dari Jawa Tengah.

Beliau beranggapan bahwa salah satu resiko yang kita alami saat ini adalah hamper semua penulis novel mengangkat cinta. Apa kalua tidak mengangkat cinta kurang menarik? Kurang bagus? Semuanya dalam kehidupan kita sudah terlanjur seperti ini. Semua novel materialistik, dan semua cerpen intelektualistik. Kalau dicari akarnya, dicari asal muasalnya, ini adalah hasil dari Polemik Kebudayaan 1935. Dimana Sutan Takdir Alisjahbana beranggapan kalau Indonesa mau maju, harus mengikuti kebudayaan barat, yang mana kebudayaan barat itu, materialisme, intelektualisme, dan individualisme.

Lalu dibantah sama Ki Hadjar Dewantara dkk, yang beranggapan bahwa kebudayaan kita harus dimesrakan dengan kebudayaan timur yang spiritualisme, kolektivisme, dan rasa kemanusiaan. Tetapi kan akhirnya seperti ini, dan sekarang, yang paling disegani saat ini adalah orang yang punya uang, intelektual nomer dua. Bagaimana tidak? Perguruan Tinggi jadi PT – Perseroan Terbatas, jadi ladang bisnis. Orang kuliah bukan cari pinternya, bukan cari ilmunya, tapi cari ijazahnya buat pekerjaan. Orientasinya saat ini jadi seperti itu, wolak-waliking dongeng, katanya.

Kemudian beliau menanggapi terkait keberadaan Pelataran Sastra Kaliwungu, yang saat ini juga menjadi sebuah penerbitan buku, beliau memberikan banyak pesan dan dawuh untuk kita, bahwa penerbitan buku itu jangan sampai dijadikan profit, karena seluruh kitab suci itu bukan profit. Tetapi jika bisa menghasilkan meski sedikit itu ya disyukuri. Lebih lanjut, beliau mencontohkan, bahwa karya sastra itu contohnya kitab suci. Berbeda dengan musik, seni rupa, teater. Semua ada contoh nyata di alam semesta. Musik contohnya suara burung, suara manusia, suara angin, suara petir, semuanya itu sudah bunyi irama. Seni rupa contohnya bentuk, wujud, warna yang luar biasa, semua yang ada visualnya adalah seni rupa. Teater contohnya gerak angin, gerak binatang, gerak macem-macem.

Dari semua itu, yang tidak ada contohnya sastra, karena contohnya kitab suci. Semua kitab suci, teksnya dan ideografnya adalah puisi, bukan prosa. Dari sini jangan lupa, bahwa sastra itu merupakan daerah yang sangat sakral. Iqra’ itu kan tafsirnya ada bacalah. Membaca itu tidak hanya menggunakan mata, tetapi bacalah itu artinya belajarlah, dengarkan, membau, memikirkan, semua itu membaca. Namun semua itu tidak ada wujudnya. Sehingga, nilainya karya sastra bernominal rendah. Apa sih itu indahnya teks kalimat-kalimatnya. Tari ada keindahanya, musik ada, seni rupa ada keindahannya.

Ada sebuah kisah menarik ketika beliau mengisi pada sebuah acara di Bangkalan pada tahun 2017. Ketika melontarkan sebuah pertanyaan, siapa penyair yang dianggap paling bagus karya-karyanya sedunia, delapan saja. Seluruh peserta menyebutkan satu-satu, hingga genap delapan nama. Namun, ada satu peserta di pojok ruangan mengangkat tangan. Beliau bilang pada anak itu, “ini sudah delapan,” anak itu menjawab, tidak pak, saya mau tanya. Dalam batin Pak Iman, ini anak pasti lidahnya bukan lidah yang sembarangan. “Menurut pak Iman, puisi siapa yang paling dahsyat dan bagus sedunia,” tanya anak itu. Kemudian disuruhlah anak itu maju, ditanya oleh pak Iman, apakah dia merokok, dia menjawab iya.

“Terima kasih kalian semua sudah menyebutkan nama-nama itu. Kalau menurut saya, puisi paling bagus sedunia itu adalah puisi Bilal bin Rabah. Adzan setiap hari itu tidak kita anggap puisi? Yang mengajak sholat kan hanya Hayya ‘Alash Sholah, dan yang lain adalah ciptaan bilal. Ketika bilal mengucapkan itu, bukankah Rasulullah langsung acc, mengiyakan? Dan itu kini dilafalkan lima kali dalam sehari. Buktinya kalau itu puisi, ya karena bisa ditambahkan, contohnya ketika subuh. Semua itu hanya untuk menyadarkan kita, bahwa puisi, karya sastra itu ada dimana-mana,” terang pak Iman dengan antusias.

Dalam hal karya sastra, saya mengindari kata menulis, membuat, mengarang, saya lebih suka mencipta. Kenapa? Kalau saya buta dan lumpuh dan bisanya hanya bicara, saya yang berbicara anda yang menuliskan. Siapa yang menulis? Siapa yang mengarang? Ya bagusnya dituliskan dua-duanya. Meskipun ada Borobudur Writers, Ubud Writers, dll boleh silakan, tapi saya suka pakai create, mengkreasikan.

Sastra itu bagaimana kita mengajak untuk berpikir, misalkan, kita punya uang seratus rupiah yang tetap tersimpan di dompet. Apa maknanya? Kalau biar kita tetap punya uang, itu menurut teori apa? Teori ekonomi secara nilai nominal, meskipun secara nominal tidak bisa digunakan untuk apa-apa. Contoh yang lain, dalam Al-Qur’an, jelas Ihdinash Shirathaal Mustaqiim, tunjukilah kami jalan yang lurus. Apakah tidak nabrak gunung? Lurusnya seperti apa? Itulah sastra, jalan itu jelas berbelok-belok, yang lurus adalah niat dan tujuan kita selanjutnya. Itulah tugas sastra dalam membongkar satu-satu.

Biji padi jadi beras itu ditakdirkan oleh Allah untuk manusia dan makanan burung-burung, iya atau tidak? Bukan untuk regenarasi tumbuhan padi itu sendiri? Pati aren itu kok bisa enak dimakan? Biji mangga itu bakal berguna untuk mangga itu sendiri, untuk regenerasi selanjutnya. Naah, kreativitas manusialah yang mengakibatkan padi bisa dimakan, mangga bisa dimakan, kelapa bisa jadi minyak. Semua itu sastra.

Ketika kita mendaki gunung, apa yang kita lakukan ketika berada pada puncak gunung? Tidakkah bersujud? Karena di puncak gunung, langit tetaplah jauh, tidak ada jalan menuju puncak gunung yang lain, yang ada adalah jalan kembali ke bawah. Di puncak gunung tidak ada semut, burung karena mau apa mereka kesana, mencari apa?

Dulu waktu jamannya mas Umbu Landu Paranggi, ketika ngobrol sampai jam dua dini hari, ada kawan asal Temanggung yang bilang, saya harus pulang kemana karena tidak punya kos. “Pulanglah ke diri kita masing-masing,” kata mas Umbu. Disitulah ada makna yang begitu dalam, karena kalau kita sedang berkumpul seperti ini, kita kan tidak sedang menjadi diri kita masing-masing.

 

Memaknainya Fenomena dan Ungkapan ala Pak Iman

Salah satu fenomena yang dianalisis secara mendalam oleh Pak Iman adalah mengenai penggunaan nama-nama daerah di Jawa yang menggunakan tumbuhan dan di Sunda menggunakan air. Dalam catatannya, beliau mencatat ada sekitar 350 nama tumbuhan di Jawa yang dijadikan kira-kira 3500 nama desa dan wilayah di Jawa. Beberapa diantaranya adalah, Kendal yang berarti pohon, Dieng yang merupakan nama rumput, Kopeng merupakan nama lain dari pohon Beringin Putih, Jombang nama bunga/kembang. Begitulah orang Jawa memuliakan kampung halamannya.

Selain itu ada beberapa kreativitas manusia yang lain dalam memberikan nama sebuah wilayah, antara lain di Purworejo ada sebuah daerah dengan nama Dudukulon. Bahkan di Pemalang ada daerah dengan nama Cawet, dan di Blora ada sebuah wilayah dengan nama talokwohmojo. Kreativitas-kreativitas inilah yang seharusnya kita cari-cari, kita pelajari. Mengapa orang Jawa banyak menggunakan nama tumbuhan? Alasan yang paling konkret adalah untuk menunjukkan bahwa pada masa lampau, Indonesia sangatlah agraris.

Lebih lanjut, beberapa ungkapan yang sempat dibedah adalah Golek Banyu Apikulan Warih, Golek Geni Adedamar, bagi pak Iman, ungkapan ini cukuplah sederhana maknanya, Mencari air sudah memikul air, mencari api sudah membaca lampu. Dimana memiliki makna yang cukup dalam namun begitu sederhana, yakni dalam melakukan dan mencari kebaikan harus berbekal kebaikan pula. Rasa-rasanya, pesan ini cukup mendalam disampaikan kepada generasi kita, mengingat banyak orang yang mencari kebaikan tetapi dengan cara yang buruk.

Ungkapan lainnya adalah Aja adigang, adigung, adiguna, yang mana adigang itu digambarkan seperti Kidang yang mengandalkan kecepatan lari (fisik), tetapi sejauh-jauhnya ia lari akan dihadapkan oleh macan dan dimakan oleh macan. Adigung digambarkan oleh seekor gajah yang besar (kekuasaan) dan ketika menabrak rumah pasti akan hancurlah rumah itu, tetapi sebesar apapun gajah, ia tidak akan bisa mencabut duri yang diinjaknya, dan dia bakal meninggal karena duri di kakinya itu. Sedangkan adiguna digambarkan dengan seokor ular, yang mana ini merupakan makna lain dari ilmu pengetahuan, sebab, ular yang ditakutkan adalah bisanya, tetapi ketika disabet menggunakan parang Pring Ori, ular itu bakal mati.

Salah satu piweling Simbah yang selalu diingatnya adalah ketika memukul nyamuk, jangan dibuang, dikasihkanlah ke semut, artinya ada sebuah kebermanfaaatan, nilai positif. Nilai itulah yang kita cari terus, berpikit dan berbuat positif. Selain itu, orang tua selalu bilang jangan membalas budi orang tua, tetapi anak itu sebenarnya harus membalas budi orang tua, tetapi wujudnya adalah dengan mendidik dan merawat anaknya kelak dengan baik, karena air itu mengalirnya ke bawah, bukan ke atas.

Sastra itu sudah seharusnya mengungkapkan nasihat, karena nilai tertinggi di alam semesta untuk umat manusia adalah pitutur atau nasihat. Gusti Allah memberikan pitutur kepada manusia dalam kitab suci begitu melimpah, jadi sebuah pitutur itu sudah tentu baik. “Mendengar dunia berbicara, mengikuti anak mengajar,” ungkapan penutup inilah yang menjadi pesan beliau, agar kita bertingkah laku sesuai adat dan norma yang berlaku.


ditulis oleh M. Lukluk Atsmara Anjaina, lahir di Kendal, 22 April 2000. Sekjen PSK (Pelataran Sastra Kaliwungu) dan tercatat sebagai mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Diponegoro. Sesekali merebahkan badan dan sesekali mewujudkan tulisan. Sesekali menulis puisi dan sesekali membacanya. Bisa disapa melalui luklukanjaina@gmail.com atau pesan Instagram @luklukanjaina.

Komentar