Sang Penakluk @taufiiq https://www.facebook.com/photo/?fbid=10205991154164715&set=a.10205990599350845 |
Dalam tidurnya yang hening, Ganung terbangun. Seseorang membangunkannya dengan teriakan yang sungguh tidak pernah diharapkannya. Meski sungguh ingin memaki, ia hanya melepaskan perasaan jengkel itu dengan embusan dan tarikan napas. Sebuah upaya yang sering dilakukannya untuk meredakan emosi yang membuncah.
“Kenapa
kamu?”
“Kamu
yang kenapa?”
“Lho,
kok aku?’
“Ngapain
kamu teriak-teriak seperti itu? Bikin kaget dan sakit kepala saja …”
“Kenapa
bisa sakit kepala?”
“Karena
kaget!”
“Apa
hubungan kaget dan sakit kepala?”
“Ah,
sudahlah. Mau apa sih?”
“Oke, oke. Maaf. Kamu dipanggil Pak
Yai.”
Mendengar
itu seketika sepasang mata Ganung terbuka lebar. Apa pasa yang menyebabkan kyai-nya
itu memanggilnya? Kesalahan apa yang sudah dilakukannya? Ia mencoba
mengingat-ingat peristiwa yang paling mungkin menyebabkan dirinya bermasalah. Tetapi
ia hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Asrof,
temannya begitu heran melihat gelagat Ganung.
“Sudah
bangun, kan? Kenapa masih kaget?”
“Kenapa
Pak Yai memanggilku?”
“Takut ya?”
Memilih
untuk tidak menanggapi candaan Asrof, Ganung segera bangkit untuk pergi ke
kamar mandi. Hari sudah demikian sore, lantas ia pergi membersihkan diri dan
menunaikan ibadah Asar. Sebenarnya matahari sudah terlalu condong ke barat, dan
tidak lama lagi angslup. Ia bergegas.
***
“Kenapa
hari ini kamu banyak melamun?”
“Oh,
bukan apa-apa. Aku hanya …”
“Masih
memikirkan kenapa Pak Yai memintamu untuk menemuinya?”
“Salah
satunya.”
“Memangnya
ada berapa hal yang sedang kamu pikirkan saat ini?”
“Kupu-kupu
…”
“Apa?
Kamu terlalu banyak mengigau.”
“Ada
sesuatu yang harus dipecahkan.”
“Teka-teki
maksudmu?”
“Entahlah.
Aku tidak tahu.”
Seusai
isya, Ganung segera menemui Pak Yai dengan ditemani Asrof. Meskipun demikian,
perasaan was-was masih belum reda bergejolak di dalam dadanya.
“Tenanglah.
Semua akan baik-baik saja.”
“Apakah
aku harus seyakin itu?”
“Harus.
Lelaki tak boleh dipenuhi keraguan. Kalau kata sebuah lagu: que sera, sera. Whatever
will be, will be.”
Setelah
cukup lama kula nuwun di depan pintu ndalem, Pak Yai
mempersilakan Ganung dan Asrof untuk segera masuk. Banyak nyamuk-nyamuk,
katanya. Seketika suasana menjadi sedikit cair. Tawa Ganung dan Asrof
mengembang begitu saja.
“Kenapa
tidak sendiri, Nung?”
“Em,
anu … anu, Yai.”
“Sudah.
Tidak perlu kamu katakan. Saya sudah tahu.”
“Bagaimana
mungkin, Yai?”
Asrof
mencubit lengan Ganung hingga lelaki itu berteriak tanpa sadar. Karena perangainya
itu, sekali lagi, Pak Yai tersenyum.
Suasanya
menjadi sunyi, karena tak seorang pun bersuara. Ada jeda yang cukup panjang
sebelum akhirnya Pak Yai menjelaskan maksudnya.
“Saya
ingin meminta tolong padamu untuk mewujudkan sebuah misi. Apakah kamu sanggup?”
“Bagaimana,
Yai?”
“Pergilah
lakukan perjalanan, dan kamu harus menemukan seseorang.”
“Bagaimana
saya bisa menemukan seseorang itu, Yai? Bagaimana ciri-cirinya? Siapa namanya?”
“Kamu
tidak perlu tahu. Dan kamu tidak perlu merisaukannya.”
Tentu
saja jawaban gurunya itu tak cukup masuk akal. Jika ia diminta untuk mencari
seseorang, tentu saja ia butuh ciri-ciri fisik, nama, atau setidaknya alamat
yang jelas untuk benar-benar bisa menemukan yang dicari tersebut. Dan bagaimana
pula Pak Yai memintanya untuk tidak risau? Ia benar-benar menjadi semakin risau.
Pak
Yai tentu tahu apa yang sedang dipikirkan Ganung. Meskipun Pak Yai tidak
benar-benar bisa membaca pikiran Ganung, setidaknya segalanya cukup terbaca
dari gestur yang ditampakkan oleh Ganung. Tetapi pertanyaan selanjutnya tidak
berubah, “Bagaimana? Apakah kamu sanggup?”
Tidak
ada alasan untuk menolak, karena baginya permintaan gurunya itu adalah sesuatu
yang sangat istimewa. Sesuatu yang layak untuk diperjuangkan. Tapi ia begitu
bimbang karena segalanya tampak membingungkan. Terasa ganjil dan cukup
mustahil.
“Saya
tidak memberimu pilihan. Pertanyaan yang saya ajukan hanya untuk semakin
meyakinkanmu bahwa kamu memang sanggup dan akan menempuhnya untuk menjadi salah
satu bagian perjalananmu. Jadi …”
Kalimat
itu belum selesai, namun sudah menempuh jeda. Jeda yang sengaja diciptakan
untuk menampung jawaban Ganung. Tentu saja yang diharapkan Pak Yai adalah
jawaban ‘ya’. Bukankah Ganung memang tidak diberi pilihan untuk tidak bersedia?”
“Tapi,
Yai …”
“Saya
tahu yang kamu pikirkan. Tapi saya yakin kamu akan sanggup.”
Meski
terkesan sebagai pemaksaan, Ganung kembali meyakinkan dirinya bahwa permintaan
gurunya tidak pernah tanpa maksud. Akan ada sesuatu yang bisa dipetiknya nanti.
Hitung-hitung sebagai pengalaman. Pikirnya.
“Baik,
Yai. Saya sanggup.”
“Tentu
saja kamu harus sanggup.”
Begitulah,
Pak Yai menyilakan Ganung dan Asrof untuk menikmati sajian yang sudah disediakan.
Beberapa potong roti, kopi, dan buah-buahan seperti kelengkeng dan semangka.
Sekembalinya
ke pondok, Ganung mempersiapkan diri membawa apa-apa yang dibutuhkan. Perasaannya
masih belum tenang. Pak Yai hanya memberikan sebuah tanda, bahwa seseorang yang
harus ditemuinya itu adalah bisa jadi seseorang yang tampak sebagai orang gila,
di pinggir jalan di sebuah kota hujan.
“Kamu
mungkin tidak mengenali lelaki itu. tapi begitu kamu menemukannya, kamu akan
tahu bahwa kamu sudah menemukan yang kamu cari.” Begitulah nasihat gurunya itu.
***
Perjalanan
Ganung dan Asrof bermula keesokan harinya. Yang ia ingat bahwa lelaki itu
berada di kota hujan. Mereka menempuh perjalanan dengan naik bus.
Setelah
berhari-hari, tidak satu pun sesuatu terjadi. Tidak ada seorang pun yang mereka
temui mirip dengan ciri-ciri seseorang yang mereka cari. Mereka hampir saja
berputus asa dan hanya duduk-duduk di sebuah masjid setelah menjalankan ibadah zuhur.
Siang demikian terik dan mereka merasa sangat kehausan.
Seorang
anak perempuan berusia sepuluh tahun menawarkan minuman botol. Tentu saja
mereka tidak menolak tawaran itu.
“Dua
ya, Nduk. Berapa harganya?”
“Satunya
empat ribu.”
Asrof
menyerahkan lembaran sepuluh ribu dan tidak meminta kembalian. Buat jajan,
katanya. Bocah perempuan itu tampak begitu senang. Tak lupa setelahnya, dari
mulutnya terucap doa-doa. “Semoga Kakak berdua segera menemukan apa yang
dicari, apa yang diharapkan.”
Doa
itu tak terlalu banyak dipikirkan karena tampak sebagai doa yang biasa-biasa
saja. Tetapi selanjutnya, dalam lelah yang belum juga berakhir, sosok seorang
lelaki melintas. Sekilas tampak tidak menarik. Tapi setelah sepasang mata
lelaki itu dan Ganung bertemu, segera membuat Ganung ingin lekas bangkit dan
mengejar.
“Mau
ke mana? Kok buru-buru sekali sih? Masih lelah ini lho …”
Keluhan
Asrof tidak dihiraukan oleh Ganung. Ia berlari dan berlari mengejar lelaki yang
di matanya tampak begitu misterius. Meskipun ia telah berlari seperti angin,
lelaki itu sudah tak terlihat sekali. Ganung begitu heran karena sepertinya ia
telah berlari dengan kecepatan yang tidak pernah disadarinya. Mungkin sudah
seperti angin.
Ganung
terengah-engah di pertigaan sebuah jalan. Asrof masih tampak mengejar di
belakang.
“Siapa
sih?”
“Tidak
tahu.”
Jawaban
yang sangat membingungkan bagi siapa pun yang mendengarnya.
Mereka
kembali ingin menyerah dan pulang ke pondok saja. Biarlah andai akhirnya Pak
Yai mesti marah karena misi yang diberikan kepada mereka tidak membuahkan
hasil. Tidak apa-apa.
Tapi
di tengah rasa putus asa itu, lelaki yang sebelumnya dikejar dan menghilang itu
kembali. Dan masih sama, tampak demikian misterius.
“Pak,
Tunggu! Maaf jika saya mengganggu. Tapi saya mendapat amanat dari Pak Yai saya
untuk menemukan Anda.”
Asrof
terbengong-bengong mendengar Ganung mengatakan itu, tapi ia menepis semuanya
dan mengikuti scenario yang sedang terjadi.
“Sampaikan
pada gurumu bahwa apa yang ia minta sudah saya berikan.”
Seketika
kepala Ganung dipenuhi pertanyaan. Permintaan apa? Kenapa Pak Yai tidak
bercerita? Belum lekas pikirannya itu melompat-lompat, lelaki itu sudah lenyap.
Tanpa jejak.
Dalam
tidurnya yang hening, di dalam bus menuju pondok, Ganung bermimpi. Mengejar kupu-kupu.
Begitu banyak. Berjumlah ratusan. Dalam mimpi itu, seorang lelaki memberikan
sebuah kitab kepada Ganung.
“Bilang
Pak Yai, saya sudah memberi apa yang ia minta. Untukmu.”[]
***
*Fina Lanahdiana, lahir dan tinggal di Kendal. Sehari-hari menjadi perawat kenangan di IG, Twitter, dan Medium @filadina.
*Juara
III Lomba Menulis Cerpen Peringatan Hari Santri Tahun 2020
Pelataran Sastra Kaliwungu, 22 Oktober 2020
Komentar
Posting Komentar