Cermin | Cerpen Dadang Ari Murtono

 

Memeluk dari Belakang @taufiiq
https://www.facebook.com/photo/?fbid=10206013372360156&set=a.10205990599350845

Gus Baha tiba di Padasan pada suatu Selasa sore di musim kemarau panjang. Di gerbang kampung, ia bertemu Mat Rai dan bertanya letak masjid kampung. “Lurus saja sampai perempatan pertama, terus belok kiri,” kata si pengangon kambing dengan suara cempreng. Mata kanannya picak, dan mata kirinya menatap Gus Baha dengan penuh keheranan. Gus Baha mengucapkan terima kasih, lalu dengan susah payah, berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Mat Rai. Ia terbungkuk-bungkuk memanggul buntalan besar di punggung. Jubahnya yang compang-camping berkibaran terhembus angin kering.

“Tunggu,” panggil Mat Rai ketika Gus Baha sudah berjalan sepuluh meter. “Apa sampean butuh bantuan? Sepertinya barang bawaanmu berat. Orang setua sampean seharusnya tidak pergi dengan memanggul bawaan seperti itu seorang diri.”

“Saya baik-baik saja, anak muda. Saya akan baik-baik saja.” Lima belas menit kemudian, Gus Baha tiba di masjid tua Padasan. Guguran daun mauni memenuhi pelatarannya. Catnya pudar. Atap teras doyong dan lantainya dilapisi debu tebal. Di sana-sini, teronggok kotoran ayam yang sudah kering. Gus Baha menghela napas panjang. Lalu menengadah. Segumpal awan malih rupa jadi kelinci. Dan gumpalan yang lain menjelma anjing geladak yang mengejar-ngejar si anjing. Gus Baha melepas simpul buntalan di dadanya, dan meletakkan buntalan itu di lantai masjid. Ia membanting pantatnya yang tipis di samping buntalannya. Debu-debu terhempas berterbangan. Gus Baha masih mengeringkan keringat sewaktu Ali Ucup tiba. Ia mengenakan sarung cap yang sudah buluk dan kaos partai. “Selamat sore,” sapa Ali Ucup, “apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Selamat sore,” balas Gus Baha, “saya sekadar lewat dan berencana singgah beberapa hari di sini. Masalahnya, saya tidak punya kenalan atau keluarga di sini yang bisa saya inapi. Bolehkah saya numpang tidur di masjid ini?”

“Anda bukan teroris kan?”

“Tentu saja tidak. Saya cuma seorang santri yang tengah dalam perjalanan dan kebetulan butuh tempat menginap.”

“Kalau begitu tidak masalah. Sampean boleh tidur di sini selama yang sampean mau. Kebetulan saya kepala kampung. Setidaknya, dengan anda tidur di sini, masjid ini akan jadi punya fungsi.”

Gus Baha tersenyum lebar, memamerkan gusi yang tak lagi bergigi. Ali Ucup mengambil duduk di sebelah Gus Baha. “Tadi saya ketemu Mat Rai dan dia mengatakan ada orang asing yang menanyakan letak masjid. Karena itu saya datang kemari. Tidak banyak orang asing yang datang ke kampung ini. Dan tidak pernah ada orang asing yang menanyakan letak masjid ini,” kata Ali Ucup.

“Mat Rai?”

“Iya. Pengangon kambing. Dia bilang ketemu sampean di gerbang kampung.”

“Oh, orang itu. Orang yang baik.”

Ali Ucup mengeluarkan sebungkus rokok yang ia simpan di sela gulungan sarungnya, lalu mengangsurkannya kepada Gus Baha. Gus Baha menggeleng. Ali Ucup menyalakan sebatang. “Sepertinya sampean membawa banyak barang. Apa itu kalau boleh tahu?”

“Tidak banyak,” jawab Gus Baha, “hanya sebuah cermin.”

“Sebuah cermin?”

Gus Baha membuka kain buntalannya yang berwarna putih kekuning-kuningan itu. Sebuah cermin besar berukuran satu kali satu setengah meter dengan bingkai jati ukiran model Jepara muncul. Sudut kanan cermin itu mengelupas hitam. Namun selebihnya, cermin itu bersih belaka.

“Untuk apa sampean bawa cermin ke mana-mana? Apalagi cermin sebesar ini?”

“Ini bukan cermin sembarangan. Ini cermin surga neraka. Tentu saja hanya orang-orang tertentu yang bisa menggunakan cermin ini. Bila orang biasa yang melihatnya, maka ia hanya melihat pantulan dirinya sendiri. Namun, untuk seseorang yang alim dan salih, ia akan bisa melihat seperti apa surga atau neraka itu melalui cermin ini.”

Ali Ucup terperangah. “Sampean tidak sedang bercanda, bukan?”

“Tujuh puluh tahun usia saya,” kata Gus Baha, “dan tepat setengah abad yang lalu, saya mendapatkan cermin ini dari seorang pengembara di tepi kali yang mengaku bernama Khidir dan sejak itu saya membawa cermin ini berkelana. Saya menunjukkan cermin ini ke siapapun yang penasaran. Tidak sedikit yang bisa melihat surga dan neraka melalui cermin ini. Namun banyak pula yang gagal. Mereka yang gagal kerap menuduh saya seorang penipu. Namun saya yakin, di sudut hati mereka yang paling dalam, mereka mengetahui bahwa yang sedang melakukan penipuan adalah diri mereka sendiri. Mereka menipu diri mereka sendiri. Mereka menipu diri mereka sendiri sebagai upaya menghibur diri mereka sendiri dari kenyataan bahwa mereka bukanlah termasuk seorang alim dan salih. Bukankah selalu begitu watak dasar manusia?”

Ali Ucup masih terperangah. “Dan saya yakin,” lanjut Gus Baha, “sebagai seorang pemimpin dari sebuah kampung yang memiliki masjid sebegini besar, sampean adalah orang yang alim lagi salih. Saya yakin sampean bisa melihat surga dan neraka melalui cermin ini.”

Ali Ucup merasa bokongnya panas. Ia beringsut sedikit. Mendehem. Meletakkan rokoknya yang masih menyala di lantai. “Bolehkah saya mencobanya?”

“Tentu saja, tentu saja sampean boleh.”

Gus Baha bangkit. Lalu mengangkat cermin besar itu dan menyandarkannya di sebuah tiang jati teras masjid. “Berdirilah di sini.” Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, Ali Ucup mematuhi apa yang dikatakan Gus Baha. Ia berdiri di depan cermin. Menatap baik-baik permukaan cermin. Ia mengucek-ngucek mata. Dan ia mendapati bayangannya sendiri di sana: seorang lelaki empat puluhan tahun yang kurus ceking, dengan sarung dan kaos partai, rambut abu-abu jarang, dan cambang serta  kumis yang tidak terlalu terawat. Ali Ucup kembali mengucek-ngucek matanya, seolah mengasah kedua bola matanya agar lebih tajam sehingga mampu menyigi detail-detail paling renik di permukaan cermin. Namun, di cermin itu, sekeras apapun ia mencoba, ia hanya mendapati bayangannya sendiri.

“Bagaimana?” tanya Gus Baha. “Surga itu indah sekali bukan? Apakah sampean bisa melihat kijang kencana yang melompat-lompat di sungai susu itu? Itu benar-benar binatang favorit saya. Bulunya bagus sekali kan? Saya paling suka melihat pantulan sinar matahari di bulu-bulunya. Menyilaukan sekaligus meneduhkan. Ajaib sekali ya? Tuhan benar-benar luar biasa.”

Ali Ucup mengangguk kaku dan berkata terbata, “Iya... iya... saya melihatnya. Indah sekali. Indah sekali.”

“Dan jangan lupa melihat pohon besar yang dipenuhi sulur-sulur itu. Pohon yang kayunya hitam dan mempunyai tiga batang besar. Sampean melihatnya bukan? Daun-daunnya rimbun sekali. Sepertinya teduh dan nyaman beristirahat di bawahnya. Tapi sampean mesti tahu bahwa itu pohon yang berbahaya. Buah dari pohon itulah yang menyebabkan Kiai Adam dan Nyai Hawa terusir dari surga.”

“Oh, pohon yang itu ya...”

“Dan bagaimana neraka? Apa sampean sudah sampai di bagian neraka? Apakah sampean setuju dengan pendapat saya kalau neraka itu jauh lebih menakutkan dan mengerikan ketimbang yang didongengkan ustaz dan kiai? Saya benar-benar ketakutan melihat hujan timah panas itu. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya bila tetesan timah panas itu menyentuh kulit. Uh...”

Ali Ucup kembali mengucek-ucek mata. “Ya... ya... mengerikan.”

“Baiklah,” kata Gus Baha. “Sudah cukup. Sepertinya sudah masuk waktu magrib. Kita harus segera mendirikan salat. Siapa yang biasa azan di sini?”

“Oh, iya... yang biasa azan...”

“Sampean ya?”

“Oh, iya... saya yang akan azan.”

Azan yang dikumandangkan Ali Ucup, lima menit setelah ia berdiri di depan cermin surga neraka kepunyaan Gus Bahar, bukanlah azan yang baik. Suaranya serak dan napasnya pendek. Beberapa bacaannya benar-benar keliru. Ali Ucup menyeka keringat di kening setelah selesai. Sementara Gus Baha terpukau menyaksikan betapa karpet di dalam masjid berlubang di sana-sini dan sawang bergelantungan di langit-langit masjid. Beberapa ekor sriti terbang berputar-putar begitu mereka masuk. Gus Baha melihat dua sarang sriti di sudut kanan depan langit-langit. Satu dua orang datang setelah itu. Dengan tampang keheranan, mereka masuk ke dalam masjid dan keheranan mereka bertambah-tambah menemukan Ali Ucup di sana.

“Tumben?” kata mereka. “Tumben ada yang azan?”

Mata Ali Ucup mengerjap-ngerjap menyambut kedatangan mereka – empat orang laki-laki yang rumahnya paling dekat dengan masjid. Dengan singkat dan padat, Ali Ucup segera mengenalkan Gus Baha kepada mereka dan menjelaskan apa yang baru saja terjadi.

“Benarkah cerminnya bisa seperti itu?” decak mereka seraya menatap cermin yang masih disandarkan di tiang teras masjid.

“Kalian bisa mencobanya setelah salat magrib,” jawab Gus Baha. Dengan kikuk, mereka mengambil air wudhu dan bersiap salat. Magrib itu, Ali Ucup menjadi imam salat. Berkali-kali Gus Baha yang berada tepat di belakangnya harus mengoreksi bacaan fatihah dan surat pendek yang meluncur dari tenggorokan Ali Ucup. Selesai salat, empat makmum itu melakukan apa yang sebelumnya dilakukan Ali Ucup: berdiri di depan cermin, mengucek-ngucek dan memicingkan mata. Dan semua dari mereka, yang hanya melihat pantulan dirinya sendiri di cermin itu, berkata bahwa surga memang luar biasa indah dan neraka amit-amit mengerikannya. Dua dari mereka memutuskan menemani Gus Baha dan Ali Ucup ngobrol di teras masjid sementara sisanya pulang dan menceritakan keajaiban cermin itu kepada keluarga mereka. Lalu keluarga mereka menyebarkannya kepada para tetangga. Dan begitulah, menjelang isya, hampir semua penduduk Padasan berkumpul di masjid. Mereka antri satu-satu untuk bercermin. Dan semua dari mereka mengatakan hal yang serupa tentang surga dan neraka.

“Luar biasa sekali kampung ini,” komentar Gus Baha kepada Ali Ucup. “Semua penduduknya alim dan salih.”

“Begitulah,” Ali Ucup menjawab bangga.

“Maafkan saya,” kata Gus Baha lagi, “tapi ada satu hal yang benar-benar mengganggu saya. Bila penduduk kampung ini sealim dan sesalih mereka, kenapa masjid ini terlihat tidak terawat ya?”

Ali Ucup terbatuk sebentar. Namun segera ia bisa menguasai dirinya sendiri. “Sepertinya sudah masuk waktu isya,” kata Ali Ucup pada akhirnya.

 ***

Dadang Ari Murtono, lahir tanggal 28 Maret 1984 di Mojokerto, Jawa Timur. Bergiat di Majelis Sastra Urban dan kelompok suka jalan. Beralamat di Perumahan Melati Permai A40, Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Email yang bisa dihubungi dadangarimurtono@ymail.com. Nomor whatsapp 087854564747.

*Juara II Lomba Menulis Cerpen Peringatan Hari Santri Tahun 2020

Pelataran Sastra Kaliwungu, 22 Oktober 2020

Komentar