Cerpen: Di Mata Emak


sumber gambar google


Karya : gheniajenita (2019)

Hari Kamis, satu Agustus dua ribu sembilan belas. Aku gagal masuk universitas setelah yakin sekali akan diterima. Mamak dan Bapak kecewa.
Kami diam, seperti waktu. Rembulan berkhianat. Dia tidak muncul setelah sebelumnya terus mendukung, bahkan pada purnama terakhir.
Kau kata aku menangis? Cih, jangan salah, aku jelas menangis. Kecewa sekali, malu menghadapi dunia esok. Tapi, apa salahnya?

Bung, Aku bukan anak usia lima belas tahun yang apa-apa selalu menyalahkan Tuhan dan keadaan. Walaupun kecewa itu masih ada di dalam hati, seperti penyakit sakit gigi yang tidak ada obatnya, aku berusaha mencari cara agar “nyut-nyutan-nya” agak tidak terasa.

Jadi aku sudah bertekad. Lihat saja, Akan ku ingat hari ini sebagai hari pacuan untuk masa depanku agar menjadi orang yang sukses. Biarlah di kata aku pendendam. Toh nyatanya, aku harus menimbulkan dendam agar api dalam hatiku terus membara sertiap waktu. Aku harus menjadi lebih baik supaya ke gagalanku meringis malu karena telah membuatku tidak berhasil.

Maaf saja, akan ada saatnya dimana aku duduk dan tersenyum setengah hati melihat kegagalan tanpa rangkulan siapapun. Dan saat itu sedang terjadi, tidak akan pernah satu detikpun aku melenyapkan pandanganku walau mataku pedih.
“Oi, Kliwon! engkau akan terus begitu?” Ibu muncul entah dari mana dengan celemek penuh coretan tepung terigu sehabis menggoreng pisang.

“Memang aku ini kenapa, Mak?” Aku menghela nafas jengkel. Menghadapi kenyataan itu terkadang tidak sesuai ekspektasi. Baru saja bara api dendam yang tadi ku tumbuhkan sedang membara panas-panasnya, Emak tiba-tiba datang, membawa bara api lebih panas di pelototannya. Beuh, aku heran, dalam sekali tatap, anak lima tahun juga tahu tatapan Emak lebih menumbuhkan bara api dari pada dendamku pada kegagalan.

“Itu hidungmu kembang kempis terlalu gede! Dari pada boros bernafas seperti itu, lebih baik membantu Emak menggoreng pisang. Sudah hampir jam tujuh malam. Warung hampir buka!” kata Emak. Dia membentak, galak sekali. Aku sampai terlonjak.
“Meminta bantuan saja galak sekali” kesal, aku menggerutu. Emak mendengarkan, matanya kian mendelik. “Lagian Mak, jangan menghina hidung lebarku. Kita itu satu tipe hidung. Tidak pesek, mancung ogah tapi gendut ke samping iya”
“Heh, sembarangan! Hidung Emak itu agak langsing ya!”
Aku menghela nafas, mengibaskan lengan dan buru-buru ke dapur. Melanjutkan menggoreng pisang yang baru setengah matang.
“Heran, hidungku selalu terlihat lebih gendut di mata Emak”

*   *   *

Si Pagi menyombong.
Saat masih bergelung dengan sarung sebagai selimut, Surya pamer keangkuhan pada siapa saja yang sedang putus asa. Jangan di sebut. Aku sudah pasti termasuk pada kategori—sebenarnya malas sekali menyebutnya—tapi fakta bahwa aku orang yang sedang putus asa memang tidak bisa di bantah.

“Eish.. kalau mau menyombong pada Emak saja. Dia tiada duanya jika masalah hebat begitu” aku membatin, mencoba membuka kominikasi dengan Surya. Bukannya mendapat jawaban, jitakan aku rasakan pedih sekali. Dekat dengan jerawat di sebelah halis.

“Heh, Anak Joko itu harus bangun pagi! Pantas saja rezeki Engkau seret. Habis sholat subuh langsung tidur!”
Okey, Emak muncul tiba-tiba lagi entah dari mana. Kali ini pakaiannya rapi. Seperti bidadari Surga walaupun model  bajunya sudah ketinggalan jaman. Sumpah, Emakku itu cantik. Dia tinggi dan putih.
“Aku tidak tidur Mak, hanya simulasi untuk tidur siang nanti”
“Nah, Kelihatan sekali penganggurannya. Sudah malas, tidak ganteng, acak-acakan, mana ada mau sukses seperti ini”
Aku kesal, jadi bangun dan membalas tatapan sengit Emak. “Fitnah sekali. Aku ini tampan walaupun hidungnya gendut!”
“Emak akan bilang Engkau tampan kalau sudah sukes. Belek masih kaya bubur kok menyombongkan diri!” Emak bersedekap dengan senyum sinisnya. “sebaiknya Engkau mandi dan taklukan dunia. Gagal satu kali itu tidak merobohkan seribu jalanmu menuju sukses. Engkau Jatuh ya berdiri. Engkau tidak cacat, jangan membuat dirimu menyedihkan dengan berlagak sok putus asa”
“Emak tidak memberikan solusi sekali. Harusnya Emak memotivasi, bukan membentak terus. Yang ada aku tambah putus asa”
Emak berdecih. “kalau Engkau bermodal mental begitu, di senggol sedikit saja sudah roboh” Emak berjalan mendekat, menepuk bahuku dengan mata paling teduh. “keluarlah, amati cara Surya dan Rembulan bekerja. Amati baik-baik dan terapkan itu dalam hidupmu”
Setelah mengatakan kata mutiara lumayan pedas itu, Emak melenggang pergi. Aku menghela nafas, dari balik jendela, Surya sedang menunjukkan kesuksesannya. Jingga kasmaran, hebat sekali warna kombinasi pagi ini. Apalagi alam sepertinya selalu memberi ruang dan waktu untuk Surya.
Bagus sekali. Aku cemburu. Api dendamku mulai kembali membara.
Tunggu saja waktunya.
*   *   *

Kami berhadapan.
Sudah satu hari penuh. Surya dan Rembulan.
Kami mengadakan pertemuan penting, membicarakan masalah seirus.
Tidak ada kata dulu, aku malas membicarakannya. Aku membiarkan semua mengalir. Tanpa repot-repot memikirkan rekam balik. Waktu sudah membesarkanku dalam sebuah kehidupan. Lalu, aku mengingat seseorang lagi. Dua orang sebenarnya. Tapi pembicaraan bukan mengenai itu dulu.
Surya memamerkan jingga pekat, kemerahan, cemburu padaku. Kemudian Rembulan merendah. Cahayanya redup meskipun di kelilingi kelamnya langit malam hari.

Ku biarkan. Sudah saatnya aku berdiri menyaksikan.
Sebuah kegagalanku tanpa rangkulan siapapun. Dengan Surya yang cemburu, Rembulan yang merendah, aku puas. Waktu benar-benar membesarkanku dengan baik. Kami hidup bersama dan mempelajari hukum Alam.
Permasalahannya, begitu semua sudah terbalaskan, justru ada sebuah telfon masuk yang sangat mengganggu. Deringnya memecah rasa bungah dalam hati. Kemudian, Aku memutuskan untuk mengangkat panggilan.

“Halo?”
“Engkau tidak akan pulang?”
“Aku belum puas Mak. Biarkan aku meraih apa yang sudah kupendam selama ini”
Emak terdengar menghela nafas kecewa. Suara gaduh bapak terdengar dari seberang telfon.
“Pulang Nak.. Emak sangat ingin melihat Engkau. Sebenarnya apa yang Engkau cari selama ini? sukses sudah kau genggam”
“tidak Mak..” Aku membantah tegas, membelakangi kegagalan yang masih meratapi di balik cahaya cemburu Surya. “Aku belum menemukan kepuasan. Hanya itu”
Emak diam cukup lama. Nafasnya terdengar putus-putus, berisik di sekitarnya kian membuat sambungan tidak karuan.
“baik jika itu keputusanmu” kata Emak Akhirnya. “Emak hanya ingin mengingatkan, satu keangkuhan saja bisa merobohkan seribu kebaikan yang sudah kau didik, Kliwon”
Dengan Begitu, Telfon di tutup.
*  *   *

Hebatnya dari kisah itu, Esoknya Aku langsung pulang.
Bukan main. Hatiku benar-benar tidak bisa di ungkapkan bagaimana rasanya.
Setelah bertahun-tehun lamanya merantau dan mencari uang untuk sukses, akhirnya aku bisa merasakan apa yang namanya sukses. Menjadi orang hebat dan juga di kenal banyak orang.
Wajahku riwa-riwi di televisi. Memamerkan ketampananku yang kala itu di ragukan oleh Emak. Hidungku menjadi favorit para penggemar, yang di mata Emak, selalu lebih besar.
Benar, Emak.
Aku sudah pulang, ke kampung. Semua orang menyambut heboh, melayangkan ponsel pintar dalam mode kamera. Senang bukan main aku. Semua sudah mengakui kesuksesanku. Tapi begitu kerumunan warga di tengah desa ku belah, Aku benar-benar..............
Bapak menatapku. Dia selalu bersama Emak, kemanapun dan di manapun.
*   *   *

Surya dan Rembulan.
Lagi, kami berhadapan.
Lima detik berlalu. Tidak ada yang berbicara.
Ini tenang si merah Surya yang memberikan separuh jabatannya.
Juga si Rembulan yang menjalani amanah hanya untuk memberikan waktu pada Surya untuk beristirahat.
Sayang, semua sudah terlambat.
Aku melihat bayangan Emak di telan senja begitu saja.
Meninggalkan kenangan, yang hanya bisa mengolokku dengan berjuta sesal.


***
Jenita, perempuan yang suka dengan sesuatu yang misterius, anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis mengaku tidak ada yang istimewa dalam dirinya, kecuali suka tidur dan menulis.
Lahir di Garut, orang Sunda asli dan sudah dua puluh tahun menghirup udara segar di Semesta ini.

Komentar