Sastra yang Terancam (?)



Potongan Suara Merdeka, Minggu 31 Maret 2019 

Oleh Dimas Indiana Senja


Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa ó suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacammacam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang. Begitu Seno Gumira Ajidarma menitikpentingkan ikhwal kerja menulis dalam bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.
Menulis sastra, dalam hal ini, adalah alternatif untuk ìberbicaraî kepada khalayak pembaca mengenai ide, gagasan, harapan, atau keresahan. Sejauh ini, sastra memang menjadi satu lembaga ó dengan segenap kebebasannya ó alternatif bagi orangorang yang ingin mengutarakan isi hati dan kepalanya dalam tulisan.
Sastra tidak berhenti pada teks narasi yang murni mengakomodasi pemikiran dan imajinasi. Sebaliknya, sastra mengandung satu muatan besar, di balik kata-kata dan sudut pandang yang dipilih penulis untuk memberi penekanan pada pembaca.
Bahkan, menurut Horatius, sastra tidak sebatas memberikan hiburan yang bersifat imajik, tetapi juga memiliki muatan “pesan” yang dominan. Jadi tidak diragukan lagi keberadaan sastra sangat urgen dalam sejarah peradaban manusia. Namun tidak selamanya kesaktian sastra menghadapi jalan mulus.
Yang Mengancam
Di Indonesia, sejarah menyatakan beberapa dekade lalu, sastra dan sastrawan selalu berhadapan dengan kekuatan rezim. Banyak sastrawan diintervensi, bahkan diculik, manakala tulisannya mengkritik penguasa atau diindikasi menggiring opini publik kepada perlawanan terhadap rezim. Diskusi sastra hingga panggung sastra menjadi satu hal yang tidak boleh berjalan tanpa penjagaan ketat aparat militer.
Betapa sastra memiliki kedudukan cukup penting terhadap bangunan wacana masyarakat. Bahkan ketika jurnalisme dibungkan, begitu kata Seno, sastra harus bicara. Sastra menjadi pilihan lain ketika jalan utama dalam penyampaian kebenaran ditutup, ketika ruang kritis dibatasi. Sastra membangun jalannya sendiri.
Namun makin diimpit keadaan, kian kuat posisi sastra. Makin banyak orang meyakini cara mengungkapkan kebenaran yang strategis adalah dengan bersastra. Maka, banyak sekali karya sastra lahir sebagai anak peradaban. Dengan membaca sastra, keadaan sosiokultural suatu negara bisa dibaca, dipelajari, bahkan bisa diramalkan.
Hari ini, keberadaan sastra sebagai ancaman ternyata masih berlaku. Masih ada pihak yang merasa terancam dengan sastra. Sebagaimana terjadi di Universitas Sumatera Utara, baru-baru ini. Sang rektor, Prof Runtung Sitepu, memberhentikan semua pengurus Suara USU karena memuat cerpen yang “tidak layak muat”.
Cerpen itu berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya” yang ditulis Yael Stefani Sinaga. Cerpen itu menceritakan tokoh aku, Kirana Cantika Putri Dewi, anak tunggal dari seorang ayah pengusaha kayu jati terbesar di Sumatera dan seorang ibu wartawan lokal yang bergerak dengan isu hak asasi manusia (HAM).
Yang Terancam
Menurut keterangan pihak kampus, seluruh tim Suara USU dinyatakan bersalah karena membiarkan cerpen “berbau LGBT” dimuat. Karena, cerpen itu menceritakan kisah hati tokoh aku pada teman perempuannya. Justifikasi cerpen sebagai pro- LGBT yang jadi alasan pemberhentian redaktur adalah tindakan logical fallacy.
Betapapun sastra memiliki kebebasan. Tidak ada satu pihak pun berwenang melarang dalam dan untuk menulis sastra. Pemecatan tim redaksi Suara USU itu menandakan sikap represif kampus terhadap kreativitas mahasiswa, terlebih dalam persoalan sastra.
Sebagaimana kata Seno pada awal tulisan ini, menulis bukanlah sesuatu yang sederhana, melainkan cara penulis menyuarakan pikiran, suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Dalam cerpen itu, penulis menitikberatkan pada persoalan ketidakadilan hidup yang diderita tokoh aku. Betapa penipuan merenggut harta dan nyawa ayahnya. Kehidupan yang berjalan begitu mulus berubah drastis menjadi kehidupan yang pilu dan sesak.
Terlebih saat ibunya, yang wartawan tidak diketahui rimbanya usai mengulik kebobrokan pemerintah, seperti ekploitasi besar-besaran saat krisis moneter. Ibunya representasi dari wartawan atau pihak yang menyuarakan kebenaran berkait dengan HAM saat itu dengan menuliskan tulisan panjang sarat kritik. Dua minggu berselang, ibunya hilang. Penderitaan tokoh aku bertambah.
Di sinilah klimaks dari cerpen itu sebenarnya. Namun, kampus lebih fokus ke persoalan pengungkapan perasaan tokoh aku pada teman dekatnya, Larasati Kesuma Wijaya. Padahal itu hanyalah pengantar untuk menceritakan muatan inti persoalan: pembungkaman jurnalisme ketika mengutarakan kebenaran yang mengancam eksistensi penguasa. Ada efek panjang dari fenomena ini. Kampus sebagai lembaga akademik- intelektual seharusnya memiliki kacamata lebih jernih dalam memahami bacaan.
Apalagi posisi Suara USU sebagai lembaga pers mahasiswa, sudah semestinya menjadi wahana pengembangan wacana dan nalar kritis bagi mahasiswa. Kampus semestinya memberikan apresiasi, bukan represi, terhadap kebebasan berekpresi mahasiswaya. Tidak sebatas itu, fenomena ini menjadi rapor buruk kampus sebagai pemproduksi mahasiswa kreatif.
Efek panjang itu semestinya jadi renungan bersama. Sastra tidak boleh diintervensi karena merupakan jalan paling strategis menyuarakan ide dan kebenaran. Pengerdilan kreativitas semacam ini tidak boleh dibiarkan. Tuman! (28)
Dimas Indiana Senja
(photo diambil dari profil WA-nya)
Dimas Indiana Senjapenyair, esais, dan peneliti. Penulis UWRF 2016, pendiri Bumiayu Creative City Forum (BCCF).

Komentar