Berkenalan dengan Puisi


Berkenalan dengan Puisi* 
Oleh : Heri CS** 

Heri CS

  "Puisi adalah kesunyian masing-masing …."
 Pada hakikatnya semua manusia yang dilahirkan di dunia ini dibekali kecerdasan oleh sang kuasa. Menurut teori kecerdasan ganda dari Howard Gardner dalam Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligence (1983), ada tujuh tipe kecerdasan yang dimiliki manusia dan belakangan bertambah satu lagi. Yaitu: 1) Verbal/linguistic intelligence atau kecerdasan linguistik (bahasa), 2) Musical/rhytmic intelligence atau kecerdasan musikal, 3) Logical/mathematical intelligence atau kecerdasan logika-matematika, 4) Visual/spatial intelligence atau kecerdasan visual/spasial, 5) Bodily/kinaesthetic intelligence atau kecerdasan ragawi/kinestetik, 6)  Intrapersonal intelligence atau kecerdasan intrapersonal, 7) Interpersonal intelligence atau kecerdasan interpersonal, dan 8) Naturalistic intelligence, keahlian mengkategorikan spesies flora dan fauna di lingkungannya. Dengan bekal-bekal tersebut, tiap orang memiliki keunikan dan keunggulan masing-masing. Ada yang menguasai beberapa modal kecerdasan tersebut. Atau, mungkin hanya satu jenis saja.
Bertolak dari teori itu, dapat dibayangkan bahwa proses mengarang utamanya sangat memerlukan modal kecerdasan verbal/linguistic intelligence, kecerdasan intra dan interpersonal, dan kecerdasan lainnya. Tapi terlepas dari itu, kemauan yang keraslah yang dalam proses menentukan seseorang bisa mencipta puisi—atau katakanlah menjadi penyair. Kemauan keras itu bisa berupa kemauan keras untuk mengasah kepekaan, menambah wawasan, menumbuhkan kemampuan berbahasa, kemampuan berpikir dan kesabaran yang cukup untuk menunjang proses kreatif kepenulisannya.
Teori mengenai apa itu puisi dan bagaimana menulis atau teori mengenai khasanah perpuisian begitu melimpah. Teman-teman bisa browsing di internet. Banyak pilihan dan banyak cara. Namun, dalam kesempatan ini, di forum Pelatihan Menulis Puisi yang digelar teman-teman Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK), Minggu 2 Desember 2018, saya akan meminjam metode yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Sebagian besar materi ini, saya peroleh saat mengikuti workshop mencipta puisi bersama sastrawan Iman Budhi Santosa dalam Kemah Sastra di Kebun Teh Medini III tahun 2017. Sebagian materi ini kupetik dari materi yang disampaikannya.
Dalam tradisi belajar mengajar di perguruan Taman Siswa terdapat strategi belajar ketrampilan dan kesenian yang diciptakan oleh Ki Hajar Dewantara lazim disebut metode: N-3 (niteni-nirokake-nambahi). Metode ini saya kira praktis dan efektif jika diterapkan untuk menggali dan mengembangkan kreativitas siswa yang belum berpengalaman mencipta (membuat) puisi  di sekolah maupun dalam hidup kesehariannya.
Adapun langkah-langkah penerapan metode ‘N-3’ ini adalah sebagai berikut:
  1. Niteni (memperhatikan/mempelajari/menghayati)
·      Mengumpulkan sebanyak mungkin puisi berbahasa Indonesia karya penyair Indonesia, termasuk puisi karya penyair manca negara yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
·      Sediakan waktu yang cukup di rumah untuk membaca, mengapresiasi, mempelajari seluruh puisi yang dikumpulkan (didokumentasi). Sebaiknya proses ini dilakukan malam hari setelah belajar dan sebelum tidur. Atau kapan saja asal  punya waktu luang di antara kegiatan sehari-hari.
·      Manfaat kegiatan ini adalah untuk mengenal dan memahami bentuk maupun gaya kebahasaan  puisi. Seperti bagaimana gaya bahasa puisi ekspresif, puisi impresif, puisi simbolis, puisi balada, puisi suasana, dan lain-lain. Juga untuk mengetahui, mengenal, memahami dan menghayati tema masing-masing puisi.  Misalnya, bagaimana pesan moral puisi-puisi dengan tema kejuangan, kemanusiaan, religiositas, sosial, dan sebagainya.
·      Setelah dibaca dengan suntuk, buat catatan singkat mengenai pendapat dan perasaanmu mengenai puisi-puisi tadi. Kalau perlu, untuk menambah wawasan diskusikan dengan teman atau orang lain.
·      Usahakan masing-masing siswa peserta latihan menemukan 2 (dua) puisi, yaitu: 1) paling disukai mengenai bahasa dan pengungkapannya, 2) paling disukai mengenai tema yang diangkat dalam puisi tersebut.
·      Pelajari benar-benar kedua puisi yang paling disukai tadi. Resapkan ke dalam hati pesan yang terkandung, dan perhatikan benar teknik kebahasaan dalam menyampaikannya.
·      Selanjutnya kedua puisi itu jadikan contoh bagaimana kira-kira dalam mencari, menemukan, dan merepresentasikan tema yang diangkat ke dalam puisi dan bagaimana cara membahasakannya sehingga menjadi puisi.

  1. Nirokake (menirukan)
·      Mencoba mencipta puisi dengan meniru (berpedoman)  pada pada dua puisi yang paling disukai tadi.
·      Sedangkan langkah yang dikerjakan mengenai tema puisi, antara lain:
a. Mencari tema/masalah yang mirip dengan tema dalam puisi yang disukai.
b. Misalnya, tema puisi pertama yang disukai itu mengisahkan cinta terpendam dari seorang pemuda kepada gadis teman sekolah yang berasal dari keluarga kaya. Karena dirinya anak keluarga miskin maka dia tidak berani menyampaikan kepada gadis pujaannya. Sedangkan puisi kedua mengisahkan kebahagiaan para petani setelah panen padi yang diwujudkan dalam upacara bersih desa dengan diisi upacara selamatan dan berbagai kegiatan kesenian.
b. Usahakan tema yang akan kamu angkat menjadi puisi karyamu mirip sekali dengan tema tersebut. Tetapi, ganti sosok pemuda di sana dengan dirimu, entah sebagai laki-laki atau perempuan. Sedangkan mengenai bersih desa, angkat kejadian yang kamu alami di desa masing-masing.
·      Coba jadikan dua peristiwa dalam pikiran dan perasaanmu tadi menjadi puisi menggunakan teknik kebahasaan dan penulisan seperti puisi yang kamu sukai itu. Ubah sebagian teksnya menyesuaikan dengan kisah yang baru. Misalnya, penunjukan tokohnya dari dia menjadi aku. Desa dalam puisi yang kamu sukai tidak disebut namanya, dalam puisi baru gunakan nama desamu.
·      Sebagai latihan buatlah 2-3 puisi baru sesuai dengan petunjuk di atas.
·      Usahakan dalam berlatih sampai benar-benar menemukan kesamaan (sublimasi) yang intens antara karya yang diciptakan dengan karya yang dijadikan pedoman (tuntunan).

  1. Nambahi (menambah atau mengubah)
·      Apabila dalam berlatih tersebut hasil karya puisi yang diciptakan telah mencapai kesetaraan optimal (perihal gaya, struktur, kualitas, serta kebahasaan) dengan puisi yang dijadikan acuan, silahkan mulai melakukan pelepasan diri dari ‘fase meniru’ kemudian memasuki ‘fase kreatif’.
·      Pada tahap ini peserta latihan mulai dibebaskan dalam memilih tema dan kebahasaan puisi, walaupun inti masalah dan bahasanya tetap bersumber pada puisi yang disukai sejak awal. Contohnya:
a.  Tema puisi mengenai cinta terpendam coba dikembangkan. Misalnya, karena si gadis sesungguhnya juga menaruh hati pada si pemuda dan tahu kalau si pemuda tidak berani menyatakan cinta, maka dialah yang membuka diri dengan menyatakan cinta dan siap dilamar jadi istri kelak jika keduanya sudah memasuki usia pernikahan.
b.  Silakan dikembangkan bentuk puisinya. Misalnya, puisi awal berbentuk lirik, coba puisi baru tetap dipertahakan dengan gaya lirik. Walaupun puisi awal hanya terdiri dari dua bait, coba dikembangkan puisi baru yang kamu buat itu menjadi empat bait.

·      Salah satu cara yang mungkin  dilakukan dalam fase kreatif adalah mulai mencoba mencipta sesuai dengan tuntutan (keinginan) pribadi sehingga berbeda dengan karya orang lain. 

Metode N-3 ini secara tidak langsung juga disampaikan oleh Sapardi Djoko Damono (Kompas, Selasa, 21 Maret 2017). Dalam wawancaranya dengan wartawan Kompas, Sapardi menyatakan secara eksplisit mengenai sebagian proses N-3 ini, yaitu: “Kalau mau menulis puisi, bacalah puisi sebanyak-banyaknya, kemudian tirulah. Saya malah bilang, jangan cuma meniru, tapi curilah.” Pernyataan ini menarik direnungkan dan diambil hikmahnya pada siapa pun yang tengah mencoba belajar mencipta puisi.

Proses Penciptaan Puisi
         Hampir setiap sastrawan (penyair) mempunyai kebiasaan sendiri-sendiri di dalam mencipta. Namun, umumnya tetap seperti teori yang disampaikan Goethe tentang proses penciptaan itu. Seorang kreator ibarat manusia setengah dewa yang tengah istirah dan mencari-cari materi di sekeliling untuk dicurahi rohnya. Adapun penjelasannya:
·     Manusia setengah dewa, adalah mereka yang telah melakukan proses peningkatan diri secara  fisik dan rohani sehingga kemampuan pribadinya ‘melebihi’ orang biasa. Misalnya, dapat melihat (membayangkan) apa yang tidak dilihat (dibayangkan) orang lain atau yang selama ini tergradasi.
·     Tengah istirah, artinya dia telah selesai melakukan proses pencarian. Apa yang dicari sudah ditemukan untuk kemudian diendapkan (proses internalisasi). Dengan kata lain, dia telah menemukan nilai dan wujudnya yang baru sesuai pandangan pribadinya.
·     Mencari-cari materi di sekeliling untuk dicurahi rohnya, mengisyaratkan bahwa dia sedang mencari kata, bahasa, ungkapan, untuk mewujudkan ide-ide puitik (momentum puitik) yang ditemukan. Perlu digarisbawahi, mencipta atau mencipta pada hakikatnya harus diam (istirah). Sebab, mencipta (melahirkan karya seni) memerlukan konsentrasi tinggi dan nyaris menggunakan seluruh potensi pribadi yang dimiliki. Benar-benar tak ubahnya seorang ibu ketika melahirkan bayi.

Pada hakikatnya, ide puitik atau momen puitik hanyalah ‘setitik nilai’, atau tak ubahnya sepercik nyala api. Namun, ketika berulang kali memercik akan dapat menerangi kegelapan, sehingga kita dapat berjalan berkilometer-kilometer jauhnya. Dengan demikian, keberadaan nilai tersebut benar-benar menjadi semacam ‘kiblat’ di mana seluruh ungkapan,  pernyataan, dan gambaran, dalam puisi itu bersumber maupun bermuara.

Sedangkan bagaimana mencipta puisi, proses yang lazim dikerjakan oleh banyak penyair, lebih kurang sebagai berikut:
1. Mencari ide-ide yang akan ditulis.
2. Menemukan ‘momen puitik’ dan mengonstruksikannya sesuai pikiran dan perasaan pribadinya sebagai individu maupun anggota masyarakat.
3. Menentukan judul puisi. Fungsinya sebagai ancer-ancer atau orientasi ide yang menjadi kata kunci mengenai puisi yang akan ditulis. Karena pada umumnya ide yang akan ditulis senantiasa hanya bersifat ‘samar-samar’, dan baru akan tampak jelas setelah puisi tersebut selesai ditulis.
4. Menuangkan ide-ide puitik ke dalam kata dan kalimat (bahasa) baris demi baris (sebagai wujud fisik puisi) mulai dari awal hingga selesai.
5. Melakukan koreksi, dan revisi terhadap keseluruhan wujud verbal puisi. Seperti pemilihan judul, pemilihan kata, pembangunan ungkapan (imaji), rima dan persajakan, tipografi, panjang pendeknya puisi, dan lain-lain.

Beberapa catatan tambahan yang perlu digarisbawahi dalam konteks belajar mengarang sastra/puisi, antara lain:
1.   Banyak metode yang dapat digunakan untuk belajar mencipta karya sastra: puisi, cerpen, novel, esei, dan lain-lain. Namun, metode-metode tersebut belum tentu cocok untuk masing-masing orang (pribadi). Ibarat jalan hidup, setiap orang harus mencari dan menemukan sendiri jalur yang paling tepat sesuai dengan karakter kepribadiannya. Sekali lagi, cara yang sesuai dengan pribadinya, bukan yang sesuai pribadi orang lain.
2.   Mencipta (mencipta) karya sastra bukan tuntutan studi formal, melainkan dorongan pribadi. Mencipta karya sastra pada hakikatnya bukan seperti bekerja secara praktis dalam mencari uang (nafkah). Melainkan lebih sebagai pemenuhan terhadap berbagai tuntutan psikologis pelakunya dalam mengekspresikan pikiran, perasaan, intelektualitas, pandangan hidup, serta energi kreatif dalam kehidupan pribadi.
3.   Kualitas karya seseorang mengalami peningkatan bertahap sesuai perkembangan visi, ilmu pengetahuan, ketrampilan dan kepribadiannya. Artinya, jarang setiap orang langsung menghasilkan karya sastra dengan kualitas prima. Ibarat mendaki gunung, mereka akan setapak demi setapak menempuh perjalanan dari waktu ke waktu, Jatuh bangun sambil terus belajar mencari arah, strategi, serta penguatan pribadi agar sukses sampai ke puncak yang diidam-idamkan.
4.   Setiap orang tidak mampu mengekspresikan apa yang belum diketahui, dimengerti, dan dikuasai. Dalam mencipta, seseorang nyaris hanya akan mampu mengekspresikan ‘sebagian kecil’ dari apa yang dimilikinya. Mencipta puisi tak ubahnya memberi sedekah. Logikanya, orang makin kaya sedekahnya juga akan lebih banyak (besar).
5.   Tujuan utama belajar mencipta (mengarang) sastra – misalnya bagi para siswa – bukan untuk ‘menjadi’ sastrawan. Masih terlampau jauh untuk itu, karena ada sekian banyak tahapan pengembangan pribadi dan ketrampilan yang harus dilalui. Bagi para siswa, belajar mencipta puisi misalnya, sama halnya belajar menjadi cerdas dan arif sebagai manusia. Karena kecerdasan dan kearifan merupakan modal awal bersastra. Tanpa dimilikinya kecerdasan dan kearifan, apa yang ditulisnya akan senantiasa dangkal (jelek), lantaran ia tidak dapat menggali, menemukan dan mengekspresikan substansi ide-ide ke dalam tulisannya.
6.   Menulis puisi bukan berangkat dari khayal atau imajinasi belaka, melainkan justru berangkat dari logika atau penalaran manusia. Yaitu, berpikir tertib, logis, kritis, analitis, dan dialektis.

Penutup
          Berkenalan dan belajar mencipta puisi prosesnya tidak jauh berbeda dengan belajar ‘naik sepeda’. Jutaan orang bisa naik sepeda, cara belajarnya pun di mana-mana nyaris sama, yaitu trial and error. Tetapi sepertinya belum pernah ada yang mencipta (dan membukukan) bagaimana rahasia keseimbangan manusia ketika mengendarai kendaraan roda dua ini.
          Begitulah kiranya hantaran saya memperkenalkan teman-teman dengan makhluk bernama puisi. Namanya berkenalan tentunya perlu perjumpaan kemudian—lagi dan lagi, agar lebih dekat dan akrab. Tak cukup hanya di sesi saat ini saja. Ruang perjumpaan itu bisa teman-teman ciptakan dan temukan dalam proses kemudian. Kita memang bisa berjumpa dan bertemu banyak hal secara gerombolan dan berkerumun. Namun, terkait mencipta puisi, kita mesti masuk ke ruang privat dalam diri masing-masing. Karena puisi adalah kesunyian masing-masing. []
         
Boja, 30 November  2018
*disampaikan pada Pelatihan Menulis Puisi dalam rangka 7 tahun PSK
**Penyair, Jurnalis, Pegiat Komunitas Lereng Medini, Boja Kendal

Komentar