Berkenalan dengan Puisi*
Oleh : Heri CS**
Heri CS |
Bertolak dari
teori itu,
dapat dibayangkan bahwa proses mengarang utamanya sangat memerlukan modal kecerdasan verbal/linguistic intelligence, kecerdasan intra dan interpersonal,
dan kecerdasan lainnya. Tapi terlepas dari itu,
kemauan yang keraslah yang dalam proses menentukan seseorang bisa mencipta
puisi—atau katakanlah menjadi penyair. Kemauan keras itu bisa berupa kemauan
keras untuk mengasah kepekaan, menambah wawasan, menumbuhkan kemampuan berbahasa,
kemampuan berpikir dan kesabaran yang cukup untuk menunjang proses kreatif kepenulisannya.
Teori mengenai apa itu
puisi dan bagaimana menulis atau teori mengenai khasanah perpuisian begitu
melimpah. Teman-teman bisa browsing di internet. Banyak pilihan dan banyak
cara. Namun, dalam kesempatan ini, di forum Pelatihan Menulis Puisi yang
digelar teman-teman Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK), Minggu 2 Desember 2018,
saya akan meminjam metode yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Sebagian
besar materi ini, saya peroleh saat mengikuti workshop mencipta puisi bersama
sastrawan Iman Budhi Santosa dalam Kemah Sastra di Kebun Teh Medini III tahun
2017. Sebagian materi ini kupetik dari materi yang disampaikannya.
Dalam tradisi belajar mengajar di perguruan Taman Siswa terdapat strategi belajar ketrampilan dan kesenian yang diciptakan oleh
Ki Hajar Dewantara lazim
disebut metode: ‘N-3’ (niteni-nirokake-nambahi). Metode ini saya kira praktis dan efektif
jika diterapkan untuk menggali dan mengembangkan kreativitas siswa yang belum
berpengalaman mencipta (membuat) puisi
di sekolah maupun dalam hidup kesehariannya.
Adapun langkah-langkah penerapan metode ‘N-3’ ini adalah sebagai berikut:
- Niteni
(memperhatikan/mempelajari/menghayati)
·
Mengumpulkan sebanyak mungkin puisi berbahasa Indonesia karya penyair
Indonesia, termasuk puisi karya
penyair manca negara yang sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia.
·
Sediakan waktu yang cukup
di rumah untuk membaca, mengapresiasi, mempelajari seluruh puisi yang
dikumpulkan (didokumentasi). Sebaiknya proses ini dilakukan malam hari setelah
belajar dan sebelum tidur. Atau kapan saja asal
punya waktu luang di antara kegiatan sehari-hari.
·
Manfaat kegiatan ini adalah untuk mengenal dan memahami bentuk maupun gaya kebahasaan puisi. Seperti bagaimana gaya bahasa puisi
ekspresif, puisi impresif, puisi simbolis, puisi balada, puisi suasana, dan
lain-lain. Juga untuk mengetahui, mengenal, memahami dan
menghayati tema masing-masing puisi. Misalnya, bagaimana pesan moral puisi-puisi dengan tema kejuangan, kemanusiaan, religiositas, sosial, dan sebagainya.
·
Setelah dibaca dengan
suntuk, buat catatan singkat mengenai pendapat dan perasaanmu mengenai
puisi-puisi tadi. Kalau perlu, untuk menambah wawasan diskusikan dengan teman
atau orang lain.
·
Usahakan masing-masing
siswa peserta latihan menemukan 2 (dua) puisi, yaitu: 1) paling disukai
mengenai bahasa dan pengungkapannya, 2) paling disukai mengenai tema yang
diangkat dalam puisi tersebut.
·
Pelajari benar-benar kedua
puisi yang paling disukai tadi. Resapkan ke dalam hati pesan yang terkandung,
dan perhatikan benar teknik kebahasaan dalam menyampaikannya.
·
Selanjutnya kedua puisi
itu jadikan contoh bagaimana kira-kira
dalam mencari, menemukan, dan merepresentasikan tema yang diangkat ke dalam
puisi dan bagaimana cara membahasakannya sehingga menjadi puisi.
- Nirokake
(menirukan)
·
Mencoba mencipta puisi dengan meniru (berpedoman) pada pada dua puisi yang paling disukai tadi.
·
Sedangkan langkah yang
dikerjakan mengenai tema puisi, antara lain:
a.
Mencari tema/masalah yang
mirip dengan tema dalam puisi yang disukai.
b.
Misalnya, tema puisi
pertama yang disukai itu mengisahkan cinta terpendam dari seorang pemuda kepada
gadis teman sekolah yang berasal dari keluarga kaya. Karena dirinya anak
keluarga miskin maka dia tidak berani menyampaikan kepada gadis pujaannya.
Sedangkan puisi kedua mengisahkan kebahagiaan para petani setelah panen padi
yang diwujudkan dalam upacara bersih desa dengan diisi upacara selamatan dan
berbagai kegiatan kesenian.
b. Usahakan tema yang akan kamu angkat menjadi puisi karyamu mirip
sekali dengan tema tersebut. Tetapi, ganti sosok pemuda di sana dengan dirimu,
entah sebagai laki-laki atau perempuan. Sedangkan mengenai bersih desa, angkat
kejadian yang kamu alami di desa masing-masing.
· Coba jadikan dua peristiwa dalam pikiran dan
perasaanmu tadi menjadi puisi menggunakan teknik kebahasaan dan penulisan
seperti puisi yang kamu sukai itu. Ubah sebagian teksnya menyesuaikan dengan
kisah yang baru. Misalnya, penunjukan tokohnya dari dia menjadi aku. Desa dalam
puisi yang kamu sukai tidak disebut namanya, dalam puisi baru gunakan nama
desamu.
· Sebagai latihan buatlah 2-3 puisi baru sesuai
dengan petunjuk di atas.
·
Usahakan dalam berlatih sampai benar-benar
menemukan kesamaan (sublimasi) yang intens antara karya yang diciptakan dengan
karya yang dijadikan pedoman (tuntunan).
- Nambahi
(menambah
atau mengubah)
·
Apabila dalam berlatih tersebut hasil karya puisi
yang diciptakan telah mencapai kesetaraan optimal (perihal gaya, struktur,
kualitas, serta kebahasaan) dengan puisi yang dijadikan acuan, silahkan mulai
melakukan pelepasan diri dari ‘fase meniru’ kemudian memasuki ‘fase kreatif’.
·
Pada tahap ini peserta
latihan mulai dibebaskan dalam memilih tema dan kebahasaan puisi, walaupun inti
masalah dan bahasanya tetap bersumber pada puisi yang disukai sejak awal.
Contohnya:
a.
Tema puisi mengenai cinta
terpendam coba dikembangkan. Misalnya, karena si gadis sesungguhnya juga
menaruh hati pada si pemuda dan tahu kalau si pemuda tidak berani menyatakan
cinta, maka dialah yang membuka diri dengan menyatakan cinta dan siap dilamar
jadi istri kelak jika keduanya sudah memasuki usia pernikahan.
b.
Silakan dikembangkan
bentuk puisinya. Misalnya, puisi awal berbentuk lirik, coba puisi baru tetap
dipertahakan dengan gaya lirik. Walaupun puisi awal hanya terdiri dari dua
bait, coba dikembangkan puisi baru yang kamu buat itu menjadi empat bait.
·
Salah satu cara yang mungkin dilakukan
dalam fase kreatif adalah mulai mencoba mencipta sesuai dengan tuntutan
(keinginan) pribadi sehingga berbeda dengan karya orang lain.
Metode N-3 ini secara
tidak langsung juga disampaikan oleh Sapardi Djoko Damono (Kompas, Selasa, 21
Maret 2017). Dalam wawancaranya dengan wartawan Kompas, Sapardi menyatakan secara
eksplisit mengenai sebagian proses N-3 ini, yaitu: “Kalau mau menulis puisi, bacalah puisi sebanyak-banyaknya, kemudian
tirulah. Saya malah bilang, jangan cuma meniru, tapi curilah.” Pernyataan
ini menarik direnungkan dan diambil hikmahnya pada siapa pun yang tengah
mencoba belajar mencipta puisi.
Proses
Penciptaan Puisi
Hampir setiap sastrawan
(penyair) mempunyai kebiasaan sendiri-sendiri di dalam mencipta. Namun, umumnya
tetap seperti teori yang disampaikan Goethe tentang proses penciptaan itu. ‘Seorang kreator ibarat
manusia setengah dewa yang tengah istirah dan mencari-cari materi di sekeliling
untuk dicurahi rohnya.’ Adapun penjelasannya:
· Manusia
setengah dewa, adalah mereka yang telah melakukan proses peningkatan diri
secara fisik dan rohani sehingga
kemampuan pribadinya ‘melebihi’ orang biasa. Misalnya, dapat melihat
(membayangkan) apa yang tidak dilihat (dibayangkan) orang lain atau yang selama
ini tergradasi.
· Tengah
istirah, artinya dia telah selesai melakukan proses pencarian. Apa yang dicari
sudah ditemukan untuk kemudian diendapkan (proses internalisasi). Dengan kata
lain, dia telah menemukan nilai dan wujudnya yang baru sesuai pandangan
pribadinya.
· Mencari-cari
materi di sekeliling untuk dicurahi rohnya, mengisyaratkan bahwa dia sedang mencari
kata, bahasa, ungkapan, untuk mewujudkan ide-ide puitik (momentum puitik) yang ditemukan.
Perlu digarisbawahi, mencipta atau mencipta pada hakikatnya harus ‘diam’ (istirah). Sebab, mencipta (melahirkan karya seni) memerlukan
konsentrasi tinggi dan nyaris menggunakan seluruh potensi pribadi yang dimiliki. Benar-benar tak ubahnya seorang
ibu ketika melahirkan bayi.
Pada hakikatnya, ide puitik atau momen
puitik hanyalah ‘setitik nilai’, atau tak ubahnya sepercik nyala api. Namun,
ketika berulang kali memercik akan dapat
menerangi kegelapan,
sehingga kita dapat berjalan berkilometer-kilometer jauhnya. Dengan demikian,
keberadaan nilai tersebut benar-benar menjadi semacam ‘kiblat’ di mana seluruh
ungkapan, pernyataan, dan gambaran,
dalam puisi itu bersumber maupun bermuara.
Sedangkan bagaimana mencipta puisi, proses yang lazim dikerjakan oleh
banyak penyair, lebih kurang sebagai berikut:
1. Mencari ide-ide yang akan ditulis.
2. Menemukan ‘momen puitik’ dan
mengonstruksikannya sesuai pikiran dan perasaan pribadinya sebagai individu
maupun anggota masyarakat.
3. Menentukan
judul puisi. Fungsinya sebagai ancer-ancer atau orientasi ide yang
menjadi kata kunci mengenai puisi yang akan ditulis. Karena pada umumnya ide
yang akan ditulis senantiasa hanya bersifat ‘samar-samar’, dan baru akan tampak
jelas setelah puisi tersebut selesai ditulis.
4. Menuangkan
ide-ide puitik ke dalam kata dan kalimat (bahasa) baris demi baris (sebagai wujud fisik puisi) mulai
dari awal hingga selesai.
5. Melakukan
koreksi, dan revisi terhadap keseluruhan wujud verbal puisi. Seperti pemilihan
judul, pemilihan kata, pembangunan ungkapan (imaji), rima dan persajakan,
tipografi, panjang pendeknya puisi, dan lain-lain.
Beberapa catatan tambahan yang perlu digarisbawahi dalam konteks
belajar mengarang sastra/puisi,
antara lain:
1. Banyak
metode yang dapat digunakan untuk belajar mencipta karya sastra: puisi, cerpen,
novel, esei, dan lain-lain. Namun, metode-metode tersebut belum tentu cocok
untuk masing-masing orang (pribadi). Ibarat jalan hidup, setiap orang harus
mencari dan menemukan sendiri jalur yang paling tepat sesuai dengan karakter
kepribadiannya. Sekali lagi, cara yang sesuai dengan pribadinya, bukan yang
sesuai pribadi orang lain.
2. Mencipta
(mencipta) karya sastra bukan tuntutan studi formal, melainkan dorongan
pribadi. Mencipta karya sastra pada hakikatnya bukan seperti bekerja secara praktis dalam mencari
uang (nafkah).
Melainkan lebih sebagai pemenuhan terhadap berbagai tuntutan
psikologis pelakunya
dalam mengekspresikan pikiran, perasaan, intelektualitas, pandangan hidup, serta
energi kreatif dalam kehidupan pribadi.
3. Kualitas
karya seseorang mengalami peningkatan bertahap sesuai perkembangan visi, ilmu
pengetahuan, ketrampilan dan kepribadiannya. Artinya, jarang setiap orang langsung menghasilkan karya sastra
dengan kualitas prima. Ibarat mendaki gunung, mereka akan setapak
demi setapak menempuh perjalanan dari waktu ke waktu, Jatuh bangun sambil terus
belajar mencari arah, strategi, serta penguatan pribadi agar sukses sampai ke
puncak yang diidam-idamkan.
4. Setiap
orang tidak mampu mengekspresikan apa yang belum diketahui, dimengerti, dan
dikuasai. Dalam mencipta, seseorang nyaris hanya akan mampu mengekspresikan
‘sebagian kecil’ dari apa
yang dimilikinya. Mencipta puisi tak
ubahnya memberi sedekah. Logikanya, orang makin kaya sedekahnya juga akan lebih
banyak (besar).
5. Tujuan
utama belajar mencipta (mengarang) sastra – misalnya bagi para siswa – bukan untuk ‘menjadi’ sastrawan. Masih terlampau jauh untuk itu, karena ada sekian
banyak tahapan pengembangan pribadi dan ketrampilan yang harus dilalui. Bagi
para siswa, belajar mencipta puisi misalnya, sama halnya belajar
menjadi cerdas dan arif sebagai manusia. Karena kecerdasan dan kearifan
merupakan modal awal bersastra.
Tanpa dimilikinya kecerdasan dan kearifan, apa yang ditulisnya akan senantiasa
dangkal (jelek), lantaran ia tidak dapat menggali, menemukan dan
mengekspresikan substansi ide-ide ke dalam tulisannya.
6. Menulis puisi bukan berangkat dari khayal atau
imajinasi belaka, melainkan justru berangkat dari logika atau penalaran
manusia. Yaitu, berpikir tertib, logis, kritis, analitis, dan dialektis.
Penutup
Berkenalan dan belajar mencipta puisi prosesnya tidak
jauh berbeda dengan belajar ‘naik sepeda’. Jutaan orang bisa naik sepeda, cara
belajarnya pun di mana-mana nyaris sama, yaitu trial and error. Tetapi sepertinya belum pernah ada yang mencipta
(dan membukukan) bagaimana rahasia keseimbangan manusia ketika mengendarai
kendaraan roda dua ini.
Begitulah
kiranya hantaran saya memperkenalkan teman-teman dengan makhluk bernama puisi.
Namanya berkenalan tentunya perlu perjumpaan kemudian—lagi dan lagi, agar lebih
dekat dan akrab. Tak cukup hanya di sesi saat ini saja. Ruang perjumpaan itu
bisa teman-teman ciptakan dan temukan dalam proses kemudian. Kita memang bisa
berjumpa dan bertemu banyak hal secara gerombolan dan berkerumun. Namun,
terkait mencipta puisi, kita mesti masuk ke ruang privat dalam diri
masing-masing. Karena puisi adalah kesunyian masing-masing. []
Boja, 30 November 2018
*disampaikan pada Pelatihan Menulis Puisi dalam rangka 7 tahun PSK
**Penyair, Jurnalis, Pegiat Komunitas Lereng Medini, Boja Kendal
Komentar
Posting Komentar