Tentang Puisi Esai
Oleh
: Eko Tunas
Puisi Esai bukan sekadar puisi panjang -- apalagi
pakai catatan kaki segala. Mana ada karya sastra -- apalagi sajak -- pakai
catatan kaki. Sajak adalah karya fiksi dengan dasar estetika (filsafat
keindahan). Mudahnya: puisi adalah seni bahasa.
Esai pun sangat menggelikan kalau diberi catatan
kaki. Bahkan Goenawan Mohamad menyebut esainya sebagai Catatan Pinggir. Mana
mungkin catatan (pinggir) diberi catatan (kaki). Esai adalah bentuk tulisan
dengan ungkapan praktis-'estetik' untuk memberi pemahaman baru (kontemporer)
mengenai satu hal.
Dalam mediamasa bentuk tulisan esai diberi
penamaan lain: catatan pinggir, kolom, opini. Tapi adakalanya opini yang
sebenarnya bentuk kembar dari esai lebih berupa makalah atau skripsi mahasiswa
dengan banyak catatan kaki. Tanpa merujuk pada pemahaman bahwa, opini lebih
tepat disebut: karangan khas.
Gambar ET |
Lanjut, sajak, cerpen, noveau-roman (novel)
sebenarnya cara sastrawan menulis esai. Contoh: novel penerima hadiah Nobel
"The Old Man and The Sea" adalah esai Ernest Hemingway tentang Cuba
dalam kepemimpinan Fidel Castro. "Bumi Manusia" adalah cara Pramoedya
Ananta Toer untuk menghadapkan -- secara essayus -- tokoh Nyai Ontosoroh dengan
ketokohan Kartini.
Dalam menulis "Bumi Manusia" Toer
melakukan riset tokoh mula jurnalis Indonesia Tirto Adisoerjo. Menyusul
terbitnya novel Toer, hasil risetnya itu juga diterbitkan. Hasil riset berjudul
"Sang Pemula" itulah catatan kaki tetra novel Toer. Untuk apa, supaya
publik pembaca tahu inilah catatan kaki Toer atas esai novelnya.
Kata kuncinya: dalam penulisan karya sastra butuh
riset (sebagai foot note). Disamping tentu pengalaman alam dan intelektual
(sebagai acuan kreatifitas / creativ-thinking). Satu karya puisi pendek sekali
pun butuh pengalaman diri dan kepustakaan di baliknya. Betapa pun dunia sastra
(modern) di sini mesti berdasar pada kreativitas dunia manusia modern.
Sebagaimana risalah Ignas Kleden: kreativitas
dunia manusia modern adalah integralisasi kreativitas konseptual (yang
berpuncak pada ilmu+seni+filsafat) dan kreativitas sosial (berpuncak pada
politik).
Pergulatan batin dan intelektual inilah yang
dicapai Simon Ht dalam puisi eseinya pada 1983. Kemudian Rendra dalam puisi
pamletnya -- "Potret Pembangunan dalam Puisi". Juga Emha Ainun Nadjib
dalam puisi sosialnya -- "Nyanyian Gelandangan", Rajawali Pers.
Mereka bukan sekadar menulis puisi panjang,
apalagi sekadar mengulang form/content lama, mitos, atau pemikiran mainstream.
Dengan pergulatan kreativitasnya mereka menulis esai dengan cara mereka sebagai
penyair. Merekalah sang pemula dalam penulisan puisi esai.
Kreativitas mereka bahkan telah sampai pada
pemikiran struktural bahkan post-struktural -- sebagaimana yang dituntut dalam
satu esai. Sekali lagi bukan karena panjang dan ada catatan kakinya. Tapi
nikmatilah tubuh/form puisi mereka dan kreativitas/content esai mereka yang
cerlang.
Anda menulis tentang Rama-Sinta misalnya, meski
100 halaman tapi hanya pengulangan kisah pewayangan sesuai babon itu bukan
puisi esai. Beda saat Emha menulis mitos Nyai Loro Kidul dan menjadikannya
etos, itulah puisi esai.
Bagaimana menurut Emha, Nyai Loro Kidul adalah
mitos buatan kraton. Sebab pada saat itu rakyat berpaling dari kraton ke para
wali. Sehingga kraton perlu menciptakan mitos Nyai Loro Kidul agar rakyat
kembali berpaling kepada hegemoni kraton.
Itulah contoh pemikiran essayus, agar kita belajar
tentang puisi esai. Lebih penting lagi kesadaran, berapa puluh tahun Simon,
Rendra, Emha melakukan pergulatan kreativitas sampai mereka mampu menulis puisi
esai.
Saya kira, kita perlu berproses, belajar, sambil
tidak lupa: bercermin.
Sebagai penutup perlu saya kutip baid puisi
Chairil Anwar:
Ini muka
Penuh luka
Segala menebal
Segala mengental
Selamat tinggal !
Semarang 23 Februari 2018
Komentar
Posting Komentar