![]() |
GUS DUR |
Berikut adalah puisi-puisi peserta lomba cipta puisi dalam rangka ulang tahun PSK ke-6 (9 Desember) dan sewindu Gus Dur (2017), yang diselenggarakan oleh Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK) Kendal. Terima kasih kepada semua penulis yang telah mengirimkan puisinya, Salam Sastra!
Puisi
Agung Pujo Nugroho
Lentera Abadi
Mereka
manusia, cahaya, dan tumpukan buku
Mereka
gudang, tempat, dan ilmu
Mereka
adalah jendela, pintu, dan jalan
Sejenak
kuberfikir tentang arti pengabdian
Sejenak
kumerenung tentang makna keikhlasan
Betapa
mereka adalah malaikat nyata
Berdiri
diantara duri kecil melingkar, mereka tidak takut
Menatap
lusinan kepala batu, mereka tidak gentar
Duduk
diantara senandung bocah bodoh, mereka selalu sabar
Tergelitik
untuk bertanya
Apa
anda tidak merasa bosan, jenuh, marah, dan benci?
Sedangkan
harga anda tak dianggap lebih baik dari sebungkus nasi?
Mereka
hanya tersenyum sesekali berkata
“Kami
adalah wujud keikhlasan, betapa Tuhan menciptakan kami untuk selalu tersenyum,
betapa Tuhan memberi kami ilmu untuk disampaikan”
Sungguh
mulia otaku memujinya
Sungguh
mereka bak lentara abadi yang tak pernah padam
Kalian
adalah malaikat nyata, wahai guru...!!
Puisi Devi Khofifatur Rizqi
Kepada
Guruku
Andai saja matahari tiada
dunia akan beku dan bisu
Gelap, senyap, dan hampa
kemudian tiada kehidupan terlaksana
Kepada guruku
Kau bagai puisi
yang memiliki larik indah dalam setiap
baitnya
Dengan kata-kata yang sudah di didik
oleh jemarimu
Aku tulis diatas lembaran yang
terbentang mengenai dirimu
Namun itu semua tak mampu menebus ilmu
yang telah kau berikan kepadaku
Kepada guruku,
Tetes keringatmu adalah keikhlasan
dalam menghapus jurang kebodohan anak
didikmu
Lelah, susah, dan payah menjadi
keseharianmu
Kepada guruku,
Kau menjelma bagai lilin
yang rela membakar dirimu sendiri
untuk menerangi anak didikmu dalam
kesuksesan
Kepada guruku
kau bimbing jiwa ragaku
pagi siang dan juga malam dengan sabar
kau mengajariku
Aku
bersyukur atas jasamu itu
Kepada guruku
Maafkan anak didikmu yang nakal ini
tak mampu ku bendung air mata ketika
mengingat kemuliaanmu
Terima kasih semua guruku
jasamulah
kenangan hidupku
Puisi Henny Ningrum
Lentera Angkasaraya
Gelap pekat mendekap erat
Sedang kabut getir memaksa bersanding kekal
Telunjuknya mengutuk zaman kelam tanpa aksara
Tepat sekali, Buta pelita
Bermuara hina, Gemuruh tawa durjana
Sembari menuang kopi hitam nan
pahit meluas
Begitulah tengkorak hidup tanpa
tujuan
Metafora ciut sebatas lari sempoyongan
Titik buntu kesana kemari tak menentu
Teramat terpaku, ironi tatapan kosong berpadu
Be
thankfull, musim berlalu pantang mundur
Tibalah
silau merona meretak istana langit biru
Semambar
sinar harapan merekah agung
Sang
pemangku semesta hadiahkan embun penyejuk
Teruntuk
angkasaraya, mandiri punya lentera utuh
Sang
guru bangsa laksana ruh malaikat menjelma
Selamat
datang mengayomi retribusi pendidikan
Zona
ini memuja sumber daya manusia bermartabat
Langkahmu
tak repot mengarungi samudera
Sepatah
petuahmu mewakili perpustakaan yang langka terjamah
Dasi
gagah kian mengangkuhkan pejabat bangsa
Melambai
hormat kepada filosofi berjasa
Sedari
petunjuk ejaan huruf
Kini
menjadi metropolitan megahnya gedung
Yang
sanggup seketika bersujud ikut berguru
Kejayaan kemasyhuran kehormatan Negara
Berterima kasih atas campur tangan
dedikasimu
Semerbak bakti edukasi patriot tak
berpamrih
Penawar kebodohan semenanjung jalan
kehidupan
Helaan nafas bersajak berhitung
Tulang dengan sehelai kulit keriput
Demi amanah Tuhan yang engkau muliakan
Lentera bangsa akan semakin
membara
Meski terima kasih dari pidato pemimpin negri,
tak sanggup membuatmu jatuh hati
Puisi Joko Setyo Nugroho
KRONOLOGI
00.01
Semula adalah segelas
arak tumpah yang menjelma hantu dan kehidupan—di pasar-pasar, tepi sungai,
gunung, dan jalanan—yang mabuk.
06.00
Seluruh
ihwal telah muncul dalam keadaan sempoyongan. Lalu tumbuh seporsi musim di
kepala pemabuk itu. Musim yang selalu berontak betapapun keras ia mengatur.
Musim yang merayap-rayap ke berbagai arah, ke tempat-tempat dan seluruh alamat
yang penuh dengan orang-orang sakit. Seperti klinik kesehatan keliling yang—sok—bisa
mengobati satu persatu dari berbagai jenis nasib yatim-piatu yang tak sanggup lagi mengingat asal muasal
serta silsilahnya itu.
12.00
Barangkali orang-orang
yang mulai menunggu giliran di kursinya masing-masing dengan perasaan yang
terlampau jumawa terhadap takdir yang padahal mereka sendiri tidak tahu persis
bagaimana disusun adalah cuma igau dari pemabuk itu. Pemabuk yang tak bisa
pulang dari pikirannya sendiri. Sampai seorang pelayan memukul lonceng
keras-keras untuk memanggil kembali seluruh musim dan alamat-alamat di
kepalanya, membersihkan hantu dan kehidupan yang sudah tumpah di mejanya.
18.00
Sampai Sang pemabuk
sadar dan menyalahkan apapun yang ada di sekelilingnya bahkan dirinya sendiri.
Kepala yang ia kira tempat dari segala masalah telah diremukkannya dengan
empasan ke berbagai benda keras, dibakarnya, dihujamnya, dicabik-cabiknya
selama berabad-abad sampai seluruh semesta di kepala itu lenyap.
23.59
Kemudian yang tersisa
cuma sepi semata, lalu kafe-kafe baru mulai didirikan dan pemabuk-pemabuk lain
dilahirkan.
Desember 2017
Puisi Imam Ilman
AKU
GURU BANGSAKU
Langit negeri cerah merona biru
Cahaya terbias beriring langkah anak
manusia yang gagah dan perkasa
Menepis lapar dan dahaga
Demi membela bangsa tercinta
Boedi Uetomo telah berdiri
Berkontribusi untuk negeri
Pemuda negeri telah berdikari
Menggema ikrar sumpah dihadapan ibu
pertiwi
Ketika lentera telah padam
Masa terkubur kian dalam
Masih terasa hembusan nafas semangat
dibalik gubuk hitam
Bersama getar perjuangan yang menghujam
Cintai bangsa ini
Musnahkan kemalasan dihati
Ciptakan keadilan dalam diri
Lalu sebarkan adil ini kesetiap insan
bangsa ini
Mata yang dulunya tajam
Kini berpaling berbalik kebelakang
Tangan yang dulunya menggenggam
Kini
lepas tak terhiraukan
Inilah saatnya Pemuda Pemudi bangsa ini
Berkarya bekerja dan berkontribusi
untuk negeri
Saatnya Pemuda Pemudi bangsa ini
Gelorakan semangat juang kemerdekaan
ibu pertiwi
Teriakkan! Aku cinta bangsaku
Gemakan! Bangsa Indonesia
Karena “Aku Guru Bangsaku”
Puisi M. Mustaghfirin
GURU
Guru….
Dikala mentari malu
menampakkan sinarnya
Kau datang sepenuh hati
Tuk menyambut kami
Para tunas-tunas
bangsamu
Guru….
Tak pernah terpikir
oleh kami besarnya pengorbananmu
Mengiris hati mengalir
sedih menuai tangis ditelan waktu
Demi kami kau
tinggalkan keluargamu
Hanya tuk kami penerus
bangsamu
Guru…
Jika dunia kami yang
dulu kosong
tak pernah kau isi
Maka niscaya kami tak
bisa apa-apa
tak bisa kemana-mana
Guru…
Dulu kami hanya bisa
bermimpi
Tentang cita-cita kami
Kini mulai terlihat
bukan lagi mimpi
Itu karena semua yang
kami pelajari
Guru…
Dari hatiku
Untuk semua jasa-jasamu
Hanya ucapan terakhir
dari mulutku
Terimakasih guruku
Puisi Mufid Amrullah
SEKARANG
MERINDUKAN KEMARIN
Zaman
ini banyak cerita padaku tentang kesenjangan
Dimana
tak lagi terasa nyaman
Namun
ada saja yang rasakan sebagian
Mereka tak salah, Itu semua merumus pada pengetahuan
Sepersen
pengetahuan tentang Tuhan yang becus menghakimi
Seratus
persen pengetahuan tentang Tuhan yang hanya berdiam diri
Bercampur
melebur menjadi satu inisiasi
Tak lain tak bukan hanya dompleng nafsu pribadi
Izinkan
aku untuk iri pada bapakku
Bapak
yang penuh cibiran semasa itu
Mungkin
karena matamu penuh debu
Hingga begitu mudahnya layangkan tuduhan palsu
Bangsa
ini bahkan dunia rindukan dirinya adalah fakta
Paling
tidak ruh semangat yang nyata, terus membakar pentingnya bersama
Untuk
menampar congkaknya khalifah pembabi buta
Ini
bukan akhir dari segala, kalau saja keyakinan kita masih sama tentang siapa
dia, sang Guru Bangsa
Puisi Muh Tommy Fadlurohman
Guru Bangsa Ibu
Pertiwi.
Martabat tertinggi
adalah pengakuan secara universal.
Tiada satupun sosok
pembanding yang pantas berdiri dalam keteguhan.
Derai air mata selalu
tertutup didalam jubah kebahagiaan.
Dimana munajat munajat
doa untuk negri tanpa henti engkau panjatkan wahai sang guru bangsa.
Andai mereka tahu,
andai mereka sadar, andai mereka terbuka mata hatinya, melihat keteguhanmu
dalam mengoyak samudra fitnah kebencian dari para pemuja tuhan kepentingan
dalam negri ini, tiada pernah engkau balas tiap kekejian yang kau dapati, hanya
senyum kepasrahan engkau beri, wahai sang guru bangsa.
Perjalananmu adalah
ukiran emas pada bangsa ini, celotehmu adalah isyarat isyarat tentang takdir
tuhan yang terkadang belum terjadi, engkau berada pada pusara pengetahuan akan
kebijakan yang lahir dari tuhanmu wahai guru bangsa.
Puisi Riniyati
AKU GURU TIGA DIMENSI
Aku guru Muda
Semangat membara mendidik putra bangsa
Dengan langkah mantap ku transfer ilmu
Hujan badai tak menurunkan tugasku
Gaji sedikit namun berkah saat itu
Dengan sepeda ontel tetap ramah
Beban mengajar 40 jam tidak masalah
Aku guru Madya
Tuaian sudah mentes
Banyak siswaku menjadi pemimpin negeri
Dengan langkah pasti
Hidup semakin memberi arti
Pergantian kurikulum membuat penat hati
Beban mengajar 24 jam berat sekali
Karena harus sesuai prestasi dan bidang studi
Aku luangkan untuk mencari tempat baru
Demi menghidupi anak dan suami
Kini kuganti ontelku dengan roda dua
Aku guru Dewasa
Pengalaman melimpah
Tetapi harus tetap professional
Menuntut ilmu demi kesetaraan
Walaupun lelah
Ada harapan hidup lebih meningkat
Berkat adanya tunjangan sertifikasi
Hidup lebih sejahtera
Kini kendaraanku
menjadi roda empat
Guru menjadi
jaya
Walaupun usia
semakin tua
Aku tetap
mendidik putra bangsa
Dan tidak
luntur oleh waktu
Aku bangga
karena mereka
Telah menjadi
pemimpin bangsa
Puisi
Romanda Bagus Ardiatma
Guru
Pemahat Lentera
Ada yang berkata padaku
Aku pernah bermimpi melihat rembulan melahirkan guru
Dan, aku melihat guru melahirkan rembulan-rembulan
Ada yang berkata padaku
Aku pernah bermimpi melihat matahari melahirkan guru
Dan, aku melihat guru melahirkan matahari-matahari
Pernah aku menyaksikan
sendiri
Ada guru mengais
kapas-kapas usang dibawah pohon randu penuh duri
“Kau mau apakan kapas-kapas using itu?”
“Akan aku jadikan pelita.”
“Bodoh, mana mungkin? Tergores api sedikit entah
menghilang kemana.”
Ada guru sepanjang
waktu hanya menempa kapas-kapas usang
“Apa kau tidak lelah dengan perkerjaanmu yang bodoh
itu?”
“Tidak.”
“Sampai kapan kau akan seperti ini?”
Ada guru menyulap
kapas-kapas using menjadi lentera-lentera kecil
“Sekali kapas tetap kapas, tak kan berubah menjadi
lentera.”
“Terserah kau menganggapnya apa.”
Dan, aku mendengar
pesan guru kepada lentera-lentera kecil
Nak,
sinarilah tempat dimana kau berada
Nak,
terangilah jalan gelap itu
Nak,
jika cahanyamu padam kembalilah padaku
Agar
menjadi lentera untuk semua orang
Salah
satu lentera-lentera kecil itu aku
Kendal,
Desember 2017
Puisi Romdonah
IBUKU, GURUKU, GURU BANGSAKU
Ibuku
itu seorang guru
guru
masa kini di abad 21
yang
berdedikasi tinggi
Jelang
petang ibu baru pulang
semburat
kelelahan tampak di wajahnya
kuberanikan
bertanya
“Mengapa
Ibu baru pulang?”
lalu
ibu bercerita pekerjaannya yang penuh istilah
daring, luring, in, on,
verifikasi, dan istilah lainnya
semua
itu tak kupahami
Lalu
ibuku bertanya singkat padaku
“Sudah
makan dan belajar Nak?”
Jawabanku
pun singkat dan padat
“Sudah
Ibu”
Satu
kalimat yang sangat menyiksaku
Ingin
kalimat itu kujadikan beberapa paragraf indah
agar
dibaca ibuku dengan senyum kebanggaan
tapi
kulihat ibu tidak ada waktu untukku
Saat
malam tiba
ibuku
mulai membuka laptopnya
kucoba
mendekati dan melihat tanpa berani bertanya
setumpuk
lembar jawab yang harus dikoreksi
hingga
larut malam
ku
ingin tidur dibuai belaian ibu
namun
terpaksa itu hanya tinggal harapan
ibuku
masih tetap bercengkerama dengan setumpuk pekerjaannya
Kurebahkan
badanku sendiri tanpa ibu
Kupandangi
atap kamarku hingga membawa anganku melayang
aku
jadi ingat saat ibuku pernah bilang
“Ibu
ini guru zaman sekarang, harus punya kompetensi tinggi
karena
ibu telah menerima sertifikasi”
Tak
dapat dipungkiri
sertifikasi
telah memperbaiki taraf hidup keluarga kami
sehingga
banyak profesi lain banyak yang iri
mereka
iri karena tidak mengerti
padahal
di balik sertifikasi ternyata banyak
konsekuensi yang harus dijalani
Ibuku
tidak hanya mengajar
meskipun
sudah profesinya telah diakui
namun
Ujian Kompetensi Guru harus tetap dijalani
DAPODIK
dituntut update agar tertib
administrasi
jika
E-KTP telah banyak yang memiliki
ibuku
juga harus berhadapan dengan E-Rapor penuh aplikasi
yang
semuanya menuntut online dan wajib
diisi
Haruskah
aku menuntut ?
ataukah
menerima kenyataan ini?
akhirnya
kusadari bahwa ibuku bukan milikku pribadi
karena
ibuku juga milik negeri
yang
memikul tanggung jawab profesi
pencetak
insan cendikia di negeri ini
ibuku
itu ibu guruku dan guru bangsaku
aku
bangga itu.
Puisi Roro Vika Nur Savitri
Penerang
Masa
Depan
Engkau cahaya jiwa
Cahaya bangsa dan
negara
Dari ku kecil hingga
dewasa
Hanya jasa mu yang
terasa
Dalam terang dan
gelapnya dunia
Hanya nasehat yang
menusuk jiwa
Sederhana ucapmu
Namun melekat dalam
diriku
Warna kehidupan
berjalan seiring waktu
Hingga kau lupa pada
diriku
Namun wajahmu tersimpan
dalam hatiku
Nasehatmu menegur
setiap titik salahku
Tanpa letih menahan
amarah
Tanpa henti menutup
jalan yang salah
Perlahan tapi pasti,
dengan kesabaran
Melihat tingkah Kita
yang tidak karuan
balok pun berbisik
padamu
Hentikan!!!!
Pukulan itu
Walau dia bersalah tak
pantas kau beri pukulan
Karna dirimu penerang
masa depan
Terima kasih guruku
Nama indahmu slalu
harum dalam hatiku
Setiap langkahku
teringat nasehatmu
Karna dirimu cahaya kebanggaanku
Karna dirimu cahaya kebanggaanku
Puisi SJ Kiswa Shobirin
SAJAK
GURU BESAR
Bingungku
merasa canggung
Beriramaku
tak berselaras
Mengapa
selalu saja ku terkagum
Kau
begitu masyur
Karismamu
tak terukur
Terukir
disetiap helai yang merajut serat
Akankah
anganku terintih senyum
Dari
kesekian kalinya aku ucapkan
Kau
ada
Di
lembaran-lembaran buku pelajaran
Kau
ada
Di
lantunan lagu pahlawan
Kau
ada
Dihembusan
nafas Nadliyin
Kau
ada
Di
album tua yang tertindih koran2 lama
Kau
ada
Di
setiap cita kita
Bingungku
merasa canggung
Ada
tiadamu sudah jelas
Aku
begitu culas, beringas ,memikirknku dengan cemas
Tap
aku selalu ingat syiirmu wahai guruku
Baguse
sangu mulyo matine
Melekat
semua salah erat
sang
maha esa
Teruntuk
semuanya padamu hidup matiku
problema
kan kuatkan daku
Ceritakan
tentang nistanya tubuhku
Bingungku
sudah jelas
Aku
selalu bersama ilmu2mu
Menuntunku
dalam kehidupan sedalam-dalamnya
Lamun
palastra ing pungkasane
Puisi Tanjung Alim Sucahya
Manusia Berkulit Emas
Manusia berkulit
emas
Tetesan keringat tuan mengering
Bersama pelangi
pudar
Tinggal roboh
pula pohon itu
Ketika telah
lama tak tuan siram
Manusia berkulit
emas
Maafkan
kami yang selalu sibuk
Tergoda
merasakan kulit tuan
Meniru dengan
baju bercemong emas
Maafkan kami
kembali
Terlupa memupuk
pohon itu
Tak cukup ilmu
kami merawat
Manusia berkulit
emas
Pergilah
sebentar tuan
Tamat pohon
berubah rumah
Kami mengingat
tuan
Semua itu mudah
Seperti
pendahulumu
Semua pun setara
sama
Komentar
Posting Komentar