TAK ADA ORANG BISU DI FACEBOOK | CERPEN DADANG ARI MURTONO

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10206130989780518&set=pb.1436371894.-2207520000.1515470645.&type=3&theater
karya : Taufiiq https://www.facebook.com/taufikuredish

Tak Ada Orang Bisu di Facebook
Cerpen Dadang Ari Murtono

Ali menyadari bahwa ia menjadi bisu lima menit setelah ia selesai menulis “baiklah, mulai sekarang aku tidak akan peduli lagi” untuk menjawab pertanyaan Apa yang Anda pikirkan? yang dibubuhkan Facebook di kolom status. Ia mengambil napas besar, seperti kebiasaannya setiap kali memperbarui status, lalu menyulut sebatang rokok. Itu adalah suatu Sabtu sore yang gerah. Ia sendirian di kamar kosnya yang luas dengan tembok dilapisi kertas krem motif kembang-kembang, kamar mandi dalam yang dilengkapi pancuran sehingga membuatnya sanggup mandi dua kali sehari berkat pilihan air panas tanpa ia perlu repot-repot menyalakan kompor, dan pengatur suhu yang kerap kali membuatnya meriang di akhir bulan lantaran tagihan listrik yang amit-amit. Istrinya, yang tadi pagi berangkat kerja dengan muka masam, belum pulang dari kantor. Setelah embusan asap ketiga, lampu kecil di kanan atas ponsel pintarnya berkedap biru, menandakan pemberitahuan dari berhala baru bernama Facebook itu. Dengan antusiasme yang sama yang selalu ia tunjukkan seperti pertama kali ia mendapatkan pemberitahuan di menit-menit awal ia memiliki akun Facebook bertahun-tahun yang lalu, ia memeriksa ponselnya. Jempolnya yang terampil bergerak gesit di atas permukaan layar bening itu. Ia sedikit kecewa ketika mengetahui bahwa bukan akun istrinya yang membubuhkan tanda suka atau hati atau marah atau tertawa atau sedih atau wow di status yang barusan yang ia unggah. Dan karenanya, secara reflek, ia mendesah. Namun tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dan ia belum menyadari hal itu.
Jempolnya bergerak dari sisi bawah layar ponselnya ke atas, menggulung peristiwa yang menolak fana dalam lindungan linimasa. Seorang kawannya mengunggah siaran langsung, yang menunjukkan bahwa si kawan sedang minum kopi di Starbucks, tampak santai seolah mengejek anjuran Fahira Idris untuk memboikot waralaba yang konon mendukung kaum LGBT tersebut. Ali memberi tanda hati untuk siaran langsung itu, bukan karena ia sangat menyukai apa yang ada di sana, yang mengesankan bahwa si pengunggah lebih bermaksud memamerkan kelas sosialnya ketimbang memuaskan kebutuhan akan kopi, melainkan karena si pengunggah kerap kali, hampir selalu, merespon unggahan-unggahan Ali, entah dengan jempol atau tanda hati. Apa yang dilakukan Ali lebih untuk memenuhi sopan santun pergaulan ala Facebook. Seperti seorang jagoan dalam film sains-fiksi, Ali memintas ruang dan menjelajahi waktu. Hanya saja ia tidak melakukannya melalui mesin waktu atau kendaraan dengan kecepatan super, melainkan memanfaatkan algoritma Facebook. Tidak ada  yang terlalu istimewa dengan apa yang ia lihat di sana. Tak begitu berbeda dengan apa yang ia saksikan beberapa jam sebelumnya, atau kemarin, atau kemarinnya lagi. Sisa-sisa pemilihan presiden masih mengguratkan dendam serta permusuhan abadi. Dan rasanya, dibutuhkan waktu yang lebih panjang agar linimasa kembali pulih seperti dulu kala, di masa awal ia membuka akun, di mana unggahan dipenuhi oleh hal-hal lucu atau kegalauan yang dilebih-lebihkan. Hal itu, terutama, dipicu oleh hiruk pikuk pilkada gubernur Jakarta yang baru berakhir. Dan rasanya, mengingat 2019 sudah tak lama lagi, permusuhan dan perselisihan antar warganet akan berumur lebih panjang. Seseorang tampak mengunggah meme Habib Riziek menunggang unta di padang pasir tak bertepi. Dan tak jauh dari unggahan itu, tak sampai satu geseran jempol, seseorang yang lain menampilkan tautan berita yang menunjukkan kesemerawutan Jakarta setelah Ahok dijebloskan ke penjara. Itulah saat Ali secara bawah sadar, untuk kedua kali, bermaksud mengeluarkan suara dari tenggorokannya. Dan ia masih belum menyadari bahwa tak ada apa-apa yang keluar dari tenggorokannya.
Perjalanannya memintas ruang dan menjelajahi waktu sampai pada unggahan istrinya, tiga jam yang lalu, ketika ia menyadari dirinya bisu. “Semua lelaki memang sama saja” demikian status istrinya. Ada 134 orang yang merespon status tersebut, baik dengan tanda jempol, hati, tertawa, sedih, marah, dan wow. Di bawah, tampak 32 komentar menyertai. Ali mengerti bahwa status itu ditujukan untuknya. Sudah sejak lama, ia tak lagi ingat persisnya, hubungan mereka berjalan dengan cara yang ajaib. Setiap kali ada persoalan, alih-alih membicarakannya secara langsung selayaknya dua orang dalam sebuah ikatan, yang tinggal di bawah atap yang sama, dan tiap hari bertatap muka, mereka akan saling mendiamkan, lalu beberapa saat kemudian, menumpahkan perasaan mereka di Facebook. Awalnya, cara seperti itu malah meningkatkan kadar pertengkaran mereka. Namun lama-kelamaan, mereka menjadi terbiasa dengan cara itu dan seperti sebuah kesepakatan yang tidak pernah dinyatakan langsung, mereka selalu menyelesaikan masalah melalui sindiran-sindiran di Facebook. Ali sendiri, sebetulnya, tak ingat benar apa yang menyebabkan mereka bertengkar kali ini. Bisa saja itu persoalan yang sepele benar. Usia pernikahan mereka tiga tahun. Dan hampir tak ada hari yang mereka lewati tanpa perasaan dongkol satu sama lain. Pertengkaran adalah sesuatu yang terlalu biasa. Dan tak perlu benar ada masalah gawat untuk memantiknya. Di lain pihak, ajaibnya, kehidupan seksual mereka berjalan sebagaimana pasangan yang baik-baik saja. Setidaknya dua  kali seminggu mereka bergumul membakar kalori di bawah guyuran udara dingin yang dihasilkan pengatur suhu yang menjengkelkan itu dengan napas ngos-ngosan. Dalam naungan persoalan yang tak pernah selesai, dan semacam perang dingin abadi, mereka telah mengembangkan hubungan aneh dalam memuaskan hasrat purba tersebut. Untuk memulainya, mereka melompati babak-babak rayuan dan sebagainya. Tak ada cumbuan. Yang ada adalah Ali (atau kadang-kadang istrinya) akan memeluk dari belakang, lalu tangannya akan bergerak ke bagian-bagian tubuh tertentu, dengan mulut terkunci dari kata-kata, dan sekejapan berikutnya, mereka telah saling menelanjangi, saling membanting di atas ranjang empuk berseprai putih, menunggang dan menindih sebelum terkapar dengan peluh mengucur. Semua berlangsung dalam hening yang mengherankan. Tak ada ucapan terimakasih setelahnya, tak ada percakapan tentang hal-hal kecil yang mereka alami seharian. Dan sebagai gantinya, masing-masing dari mereka akan segera meraih ponsel pintarnya, membikin status Facebook entah apa, lalu tenggelam dalam kesibukannya sendiri-sendiri sampai tertidur. Istrinya akan terbangun lebih dulu dari Ali, begitulah yang selalu terjadi, menyiapkan kopi dan sarapan, lalu mandi dan berangkat kerja. Di menit-menit akhir sebelum istrinya membuka pintu, Ali akan terbangun, menguap sebentar, membuka ponsel pintarnya sembari merokok, lalu minum kopi dan mengganyang sarapan, lalu melepas kepergian istrinya dengan pandangan yang entah apa artinya.
Ali menghabiskan sepanjang hari yang dimilikinya dengan berdiam di kamar kos yang mereka sewa dari induk semang janda kaya pelit. Pekerjaannya memang tak mengharuskannya pergi ke kantor sebagaimana istrinya. Dari kamar mereka, Ali menulis artikel-artikel serta berita-berita yang ia kirimkan ke berbagai portal internet. Karirnya yang cemerlang melesat cepat sejak tahun 2014, di mana tulisan-tulisan bauran antara imajinasi dan sedikit fakta yang ia dapat dari Google dibutuhkan oleh banyak orang. Ia membikin beberapa nama samaran dan menulis untuk portal-portal yang mendukung kandidat presiden. Ia menggunakan nama Mustafa dan menulis berita bahwa Jokowi adalah keturunan China, seorang komunis sejak dalam pikiran, dan satu-satunya agenda sang pria kurus adalah mengubah negara ini menjadi boneka China. Beberapa jam kemudian, ia – memakai nama samaran Junianto – menulis bahwa Prabowo Subianto adalah seseorang yang akan memerintah dengan cara-cara fasis bila ia terpilih menjadi presiden, menggulung dan menghilangkan serta membungkam siapa-siapa yang bersuara miring terhadapnya, dan bahwa ia terjerat kasus korupsi triliunan rupiah yang sengaja ditutup-tutupi. Ketika tiba masa pemilihan gubernur Jakarta, Ali menggunakan nama Afandi, berlagak seolah seorang ahli agama, mengutip ayat-ayat suci Quran, dan menghubung-hubungkan neraka dengan para pemilih Ahok yang terang-terangan ia sebut penista agama. Dan dengan nama Sulih, ia mengatakan Anies Baswedan adalah pengkhianat Pancasila dan memecah belah bangsa dengan menggunakan dalil-dalil agama dalam politik praktis yang kotor.
Terberkatilah pecinta berita-berita hoax. Terbekatilah sumber nafkahnya.
Kesibukannya mengakibatkan Ali hidup nyaris soliter. Dan ketika perang dingin dengan istrinya dimulai, ia nyaris tak pernah memanfaatkan potensi lidahnya yang bisa menghasilkan suara. Ia, dalam artian tertentu, bisa dikatakan bisu. Tapi ia belum benar-benar bisu sampai ketika ia, dengan sadar, memaki sewaktu membaca status istrinya dan melihat betapa banyak respon terhadap status itu. “Anjing!” itu yang ia maksudkan. Namun yang melesat dari mulutnya hanya kesepian yang panjang. Terkejut dengan hal itu, Ali kembali mencoba memaki. Namun sekali lagi, tak ada apa-apa yang keluar dari mulutnya. Ia mendesis, dan kembali tak ada yang terdengar. Kebisuan macam apa yang menyebabkan bahkan desisan pun gagal keluar?
Secara instingtif, alih-alih menghubungi dokter, pertolongan pertama yang dikerjakan Ali untuk kebisuannya adalah perbaruan status Facebooknya: Aku bisu!


*Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Buku ceritanya yang sudah terbit berjudul Wisata Buang Cinta (2013) dan Adakah Bagian dari Cinta yang Belum Pernah Menyakitimu (2015). Sedang buku puisinya berjudul Ludruk Kedua (2016). Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan. Hp 087854564747

Komentar