(IN-)TOLERANSI

oleh Mudjahirin Thohir
(Penasehat PSK, Pelataran Sastra Kaliwungu)

SUATU sore, hujan gerimis, lampu bangjo di perempatan jalan raya itu padam. Tak lama kemudian terjadi kemacetan. Mengapa? Faktor utama, setiap pengendara dari berbagai arah saling mendahului.
Apa yang terjadi? Dari arus berlawanan mobil-mobil pun berhenti berhadapan. Makin lama, kemacetan kian tak terurai. Bahkan ada yang bersenggolan. Mobil angkota versus sedan. Sopir kedua mobil itu keluar, saling menyalahkan sekaligus sama-sama mengaku benar. Mereka tidak saling mengaku salah, untuk memungkinkan saling meminta maaf.
Mengapa bisa macet dan senggolan? Sesungguhnya itu terjadi karena setiap pengendara menginginkan kemudahan dan kenyamanan. Namun cara mereka berfokus pada diri, “aku”. Aku yang berlawanan dengan kamu atau dia.
Dalam jumlah yang makin banyak itu, aku menjadi kami, kamu menjadi kalian, dan dia menjadi mereka. Setiap kelompok merasa benar, kuat, dan adidaya. Itulah amsal dalam ungkapan Jawa sebagai eja wantah sikap adigang, adigung, adiguna.
Jika daya tahan terhadap kemacetan melemah, para pengendara yang adigang, adigung, dan aguna, akan mengekspresikan diri dalam rasa jengkel dan marah, antara lain dengan membunyikan klakson keras-keras. Bunyi klakson itu, sepenuhnya tidak memadu dalam birama indah, melainkan kesombongan, keangkuhan, dan keputusasaan.
Masih untung jika kemudian datang polisi lalu lintas yang punya kekuatan dan kekuasaan memaksa pengendara untuk mengurai kemacetan. Sayang, para aktor pengendara tidak beranjak dari keangkuhan.
Masih tetap adigang, adigung, dan adiguna. Tak beranjak dari kami, kalian, dan mereka. Belum menjadi kita. Karena itu, kita bisa meramalkan kondisinya. Dalam bahasa kaum akademisi, bisa dihipotesiskan, “jika lampu bangjo padam, terutama waktu sibuk, pasti terjadi kemacetan, kesemrawutan, bahkan senggolan atau tabrakan.

***
google.com
KASUS kedua terjadi pagi hari, saat para karyawan berangkat bekerja berkendara roda dua lewat jalan raya. Suguhan apa yang kita lihat secara kasat mata? Sepertinya, sepanjang jalan raya sepenuhnya menjadi kekuasaan mereka. Kami dan kalian, sepertinya harus takluk pada ulah mereka. Ketika kami dan kalian berusaha mengerti keadaan itu, kata yang kami dan kalian ucapkan: sing waras ngalah.
Rupanya, pemandangan seperti itu tidak berhenti sampai di sini. Ketika masuk pukul 08.00, ditimpali keadaan yang lebih mengerikan. Truk-truk trailer berbodi panjang menjadi raja jalan raya. Berpuluh-puluh truk berjajar dan berebut jalan kanan-kiri. Mereka memaksa kami dan kalian berada di belakang, tanpa boleh mendahului. Harus berlambat-lambat sehingga sampai kantor pun terlambat karena terhambat.
Mengapa demikian? Sebab, mereka tidak mau berbagi kesempatan pada kami dan kalian. Itulah wujud ekspresi intoleransi. Dalam intoleransi tidak ada kata “kita”, yang ada “kami”, “kalian”, dan “mereka”.

***
RUANG publik bernama jalan raya, sebagaimana ilustrasi kasus itu, adalah metafora bagi Indonesia. Setidaknya kasus-kasus itu terjadi di Indonesia. Berbagai kendaraan itulah metafora agama, sedangkan para pengendara adalah metafora bagi penganut agama. Umat yang hidup di bilik-bilik komunitas keagamaan bernama aliran-aliran keagamaan.
Itu berarti das sein Indonesia, sebagai tata ruang besar, dihuni oleh warga bangsa yang masih memilih mengidentifikasi diri sebagai kami, kalian, atau mereka.
Kalau fenomenanya begitu, ketika “agama” sebagai kendaraan, cara umat memanfaatkan dan mengendarai ya mirip ketika berada di persimpangan jalan saat lampu bangjo padam. Saat berhimpitan atau gesekan hanya ada satu ungkapan: kami yang benar.
Truth claim dalam bahasa teoritisnya. Truth claim sepihak itu cenderung menafikan kebenaran beragam. Mirip rombongan pengendara kendaraan roda dua atau truk trailer yang ingin sepenuhnya menguasai jalan raya. Itulah wajah keangkuhan. Lo, kami, kalian, dan mereka sama-sama mengaku beragama, mengapa angkuh? Bisa karena belum sanggup menjadi kita. (44)

SUARA MERDEKA,
MINGGU, 3 DESEMBER 2017: 6
Gayeng Semarang

Komentar