Santri (sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1972939792984385&set=pcb.1972939862984378&type=3&theater) |
Oleh
: Mudjahirin Thohir
TANGGAL 22 Oktober,
ditetapkan Presiden sebagai Hari Santri. Alasan yang mendasari antara lain 72
tahun lalu, 22 Oktober 1945, para santri dan ulama pondok pesantren dari
berbagai penjuru Indonesia, berikrar mewajibkan setiap muslim membela tanah air
dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari
serangan penjajah. Ikrar itu menandai cinta tanah air adalah bagian dari iman.
‘hubbul wathon minal iman”.
Siapa para santri itu?
Santri dalam arti khusus
adalah pelajar pesantren, sedangkan dalam arti umum orang Islam yang taat
beribadah. Dalam terminologi sosial, mereka disebut kaum santri atau kaum
sarungan.
Kenapa memilih sarung, bukan
celana? Dalam perspektif sejarah politik, itu untuk membedakan dari selera
penjajah yang bercelana. Padahal, barang siapa menyerupai penjajah, bisa masuk
golongan mereka. Tentu pandangan tersebut, hanya berlaku saat itu. Pesan yang
hendak ditimbulkan adalah benci dan usirlah penjajah.
Konsekuensi dari kata
“mengusir” ialah melawan dengan berperang. Untuk memenangi peperangan, perlu
kekuatan melebihi lawan. Dalam konstruksi kognitif santri, kekuatan itu agama.
Agama lantas diwujudkan dalam cara pandang, yaitu perang adalah kewajiban setiap
muslim, dan pihak yang dilawan, penjajah, dikategorikan sebagai kelompok kafir.
Ketika cara pandang itu
terinternalisasi secara kuat, adagium yang terjiwai setiap ‘mujahid” adalah isy
kariman au mut syahidan. Hiduplah dalam kemuliaan atau jika gugur di medan
perang, maka mati syahid. Hidup mulia itu merujuk ke kemerdekaan. Karena itu,
merebut kemerdekaan adalah kewajiban agama. Kemerdekaan untuk satuan wilayah
politik yang disebut Indonesia. Dari sudut itu pula para santri menyepakati
jargon yang kini berkumandang lagi: NKRI harga mati.
Lain perspektif sejarah
politik, lain pula perspektif sosial-budaya. Dari sisi ini, sarung dan
bersarung dianggap lebih pragmatis dalam kehidupan kesaharian. Dari bersesuci
(wudu), sholat, tidur atau saat ‘berhajat’ pada istri, sangat mudah melepaskan
sarung. Pakaian apalagi yang lebih simpel dan supel daripada sarung?
Jika berkait dengan soal
berhajat pada istri, jangan bertanya, makhluk apa di balik sarung. Jawabannya
bisa mengarah ke “Mas Parno”. Dengan kata lain, sudah tahu, nanya.
***
KINI, jauh lebih penting
diketahui, mengapa kaum santri begitu cinta pada Indonesia? Padahal, secara
umum, mereka tak punya posisi atau pegawai negeri. Mereka umumnya tidak hidup
karena digaji oleh pemerintah.
Nah, soal rezeki, para ulama
dahulu tidak mengijinkan anak mereka bekerja sebagai pegawai negeri. Jangankan
soal pilihan pekerjaan, untuk bersekolah umum saja, para orangtua tak
merekomendasi. Anak-anak mereka suruh mondok, mencari ilmu alias ngaji ke pesantren.
Atau setidaknya sekolah di madrasah. Kata “sekolah” identik mencari ilmu,
tetapi jenis ilmu yang dicari ilmu agama. Karena itu, sekolah madrasah disebut
sekolah agama yang dilawankan dengan sekolah umum.
Sekolah umum berupa SD, SMP,
SMA, sampai perguruan tinggi. Sekolah umum memberi peluang pada alumni menjadi
pegawai negeri.
Jika jadi pegawai negeri, di
mata ulama waktu itu, sumber rezekinya berkategori mutasyabihat alias tidak
jelas halal haramnya. Abu-abu. Mengapa? Karena gaji dari negara antara lain
berasal dari riba bank, pajak dunia hiburan berkategori kemaksiatan, bahkan
pajak lokalisasi pelacuran. Padahal, siapa biasa masuk wilayah abu-abu,
cenderung mengarah ke warna hitam alias haram, dan menjauh dari warna putih
alias halal.
Ulama dahulu hanya
mengizinkan anak mereka mencari rezeki dari bertani dan wiraswasta. Karena
hanya dari sanalah kehalalan rezeki itu jelas sekaligus utama karena berasal
dari keringat sendiri. Inilah landasan moral yang diidealisasi dunia pesantren.
Rezeki harus bersumber dari sumber halal dan diperoleh juga secara halal.
Karena prinsipnya begitu,
sementara pemerintah termasuk pejabat dan para pegawai berbeda paradigma, siapa
bisa mengontrol dan memperbaiki jika para santri hanya di luar? Lalu bagaimana
para santri bisa mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar berkait dengan hubbul
wathon minal iman?
Dari sinilah anak kiai yang
cenderung banyak dibagi. Ada yang tetap ke pondok pesantren untuk dicadangkan
kelak menggantikan sebagai pengasuh pesantren. Sebagian lain perlu sekolah
ganda, sekolah umum sekaligus sekolah madrasah. Sekolah madrasah untuk bekal
moral agama, sekolah umum untuk kesiapan keahlian khusus. Misalnya, anak
perempuan didorong sekolah kebidanan atau kedokteran agar ahli menangani
penyakit khusus perempuan.
Nalar itulah yang berkembang
sampai sekarang. Karena itu, siapa yang disebut santri dan Hari Santri untuk
siapa? Santri bukan hanya yang pernah atau sedang mondok di pesantren,
melainkan juga yang rajin ibadah, menjunjung moralitas keagamaan dalam menjalankan
kegiatan berbagai lapangan kehidupan.
Pesan apa yang ingin
disampaikan di balik penetapan Hari Santri? Semoga benar kata Presiden, antara
lain, semangat menyatukan dalam keberagaman, semangat menjadi satu untuk
Indonesia (44)
***
SUARA MERDEKA, MINGGU, 22
OKTOBER 2017:6
Gayeng Semarang
https://www.facebook.com/romomudja/posts/882881748543342
Komentar
Posting Komentar