D`RUANG BULETIN PSK #4 | MARET 2016



   
             


Kontributor
Fina Lanahdiana | Fitriyani Ayuningtyas | M. Lukluk Atsmara Anjaina
Muhammad Arif Rakhman | Sri Bima Wicaksana Sakti 



Proses Katarsis Melalui Jalan Pikiran Anak-anak
Oleh: Fina Lanahdiana

Identitas Buku:

Judul: Alona Ingin Menjadi Serangga
Penulis : Mashdar Zainal
Penerbit: Unsa Press
Tebal: x +145 hlm
Cetakan: Pertama, November 2015
ISBN: 978-602-711-765-5


Alona tidak ada! Alona tidak ada! Saat itu, untuk pertama kalinya, mama menyesalkan kebiasaannya yang pelupa (halaman 8).

Ada beberapa definisi katarsis yang disebutkan dalam KBBI:
1.      Penyucian diri yang membawa pembaruan rohani dan pelepasan dari ketegangan
2.      Cara pengobatan orang yang berpenyakit syaraf dengan membiarkan dan menuangkan segala isi hatinya dengan  bebas
3.      Kelegaan emosional setelah menyelami ketegangan dan pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa katarsis merupakan suatu hasil perenungan atas sesuatu peristiwa yang menimbulkan tekanan batin sehingga diperoleh suatu kelegaan (jalan keluar) dengan cara menuangkan segala isi pikiran dan hati secara bebas.
Segala sesuatu selalu memiliki ukuran, namun tidak demikian dengan imajinasi. Seperti yang dikatakan Albert Enstein, bahwa logika akan membawa Anda dari A-Z, sementara imajinasi akan membawa Anda ke mana-mana. Barangkali ketidakterbatasan itulah yang ingin disampaikan Mashdar Zainal melalui empat belas cerpen yang hampir seluruhnya pernah diterbitkan media cetak lokal dan nasional. Buku ini adalah kumpulan cerpen perdana penulis, setelah sebelumnya menerbitkan novel “Dan Burung-burung pun Pulang ke Sarangnya (Quanta-Elexmedia, 2014). Cerpen-cerpen di dalam buku ini, seluruhnya berkisah mengenai dan dari sudut pandang anak-anak.
Anak-anak, kita tahu bahwa di dalam pikiran mereka memiliki halaman luas yang tidak terjangkau oleh logika pikir orang dewasa. Mereka memiliki dunia yang tidak kasat mata, gaib, ajaib, persis seperti dongeng pengantar tidur dalam buku-buku cerita anak-anak. Hal-hal semacam ini bisa ditemukan dalam cerpen Alona Ingin menjadi Serangga—yang sekaligus menjadi judul utama kumpulan cerpen—mengisahkan seorang gadis bernama Alona. Suatu hari ia terlambat pulang sekolah dan ibunya sangat marah. Akibat kesalahan—yang sebenarnya tidak dia lakukan—karena ibunya menganggap bahwa ia pulang terlambat karena terlalu banyak bermain, ibunya tidak mengizinkannya masuk ke dalam rumah, bahkan mengunci pintu dan membiarkan Alona kedinginan sebab hujan yang mengguyur demikian deras hingga akhirnya ia bertemu dengan dua ekor kumbang. Ia merasa ibunya tidak pernah menyayanginya. Ibunya tidak peduli lagi peduli kepadanya. Tubuhnya semakin dingin dan lemas. Hal itu membuatnya berkeinginan menjadi serangga yang mempunyai sayap agar bisa terbang ke mana pun ia suka, meninggalkan mamanya (halaman 7).
Beberapa kisah memang cenderung gelap dan dramatis, menggambarkan karakter orang tua yang kerap melakukan kekerasan terhadap anaknya, misalnya pada cerpen Laron yang menceritakan seorang anak penderita autis, Pasar Malam dengan kisah seorang gadis yang dibuang ibunya di sebuah pasar malam, dan Dalam Kamar Mandi, yang begitu jelas menggambarkan tekanan psikologis yang dialami tokoh Maria. Ia dibayangi pikiran-pikiran buruk tentang mamanya ketika merasa melakukan kesalahan, sebab mamanya seringkali menghukumnya dengan cubitan sampai kulit biru atau jeweran kuping. Maka ketika suatu hari ia mengotori bajunya dengan kotoran dan kencing, ia memilih mengunci diri di dalam kamar mandi sekolah hingga berjam-jam lamanya, hingga jam sekolah usai (halaman 36). Hal-hal semacam itu memang kerap terjadi di sekitar kita, sehingga kemerdekaan anak demikian terancam oleh keegoisan orang tua. Di dalam cerpen tersebut, penulis seolah ingin menyampaikan sekaligus membuka pikiran pembaca (saya) bahwa tidak demikian cara mendidik anak, diperlukan sebuah pendekatan khusus dan hati-hati agar tidak melukai perasaannya, sehingga akan memperkecil kemungkinan seorang anak menjadi pembangkang, penakut, dan rendah diri.
Kekerasan terhadap anak bisa disebabkan oleh banyak faktor, antara lain: 2. Ketidaksiapan orang tua, 2. Ketidakmampuan orangtua dalam mengelola emosi, 3. Persoalan ekonomi, 4. Keterbatasan anak, 5. Harapan orang tua yang berlebihan, dsb.
Namun demikian, bukan berarti seluruh cerpen di dalamnya berisi sesuatu yang gelap lagi kelam. Penulis juga menghadirkan cerita bernuansa reliji dalam cerpen Kampung Lapar,  Hikayat Pohon Asa, dan Uban yang berkisah mengenai seorang anak laki-laki berusia delapan tahun yang ditumbuhi uban yang kemudian mengingatkannya atas nasihat ustaznya bahwa uban, sakit, pendengaran yang buruk, serta penglihatan yang buram merupakan beberapa  utusan pertanda kematian (halaman 87).
      Sosok seorang ibu yang tangguh tergambar dalam Dekapan Sunyi Ayah. Peran ibu sekaligus ayah dirangkap dengan sepenuh kerelaan, meskipun terkadang ia merasa ditampar oleh pengakuan anaknya yang menginginkan ayah seperti temannya, ayah yang bukan perempuan, ayah yang mempunyai kumis, ayah yang bukan rumah, ayah yang manusia, ayah yang bisa mengajari sepak bola ... (halaman 79). Ketidakberadaan seorang ayah membuat anaknya tidak bisa mendefinisikan kata ‘ayah’, namun ibunya menuturkan, bahwa ayah adalah sebuah rumah di mana mereka tinggal dan berteduh (halaman 76).

Latar Belakang Profesi
Dalam sebuah kata pengantar, Mashdar Zainal mengungkapkan pekerjaannya sebagai pengajar di sebuah Sekolah Dasar. Hal ini barangkali berkaitan erat dengan alasan mengapa ia memilih menulis banyak hal tentang anak-anak. Ia juga bercerita mengenai ketakjubannya dengan cara berpikir anak-anak. Suatu ketika di ruang kelas saat hujan turun, seorang siswa kelas satu mengeluh tidak bisa bermain, sementara temannya yang lain mengatakan bahwa langit sedang pipis. Hal ajaib semacam ini bisa dijumpai dalam cerpen Dunia Damar, bercerita tentang seorang bocah laki-laki bernama Damar yang memiliki imajinasi yang hebat. Ia bisa berbicara dengan tumbuhan dan hewan, serta sesuatu lain yang sukar dimengerti akal sehat manusia mana pun. Sementara dalam Katastrofa, Eufoni Samawi dan Petani Dongeng, juga tidak lepas dari dunia-dunia ajaib yang diciptakan oleh penulis, meskipun dalam Eufoni Samawi, penulis melibatkan mimpi sebagai jalan menyelesaikan masalah yang menimbulkan kesan seolah-olah nyata, seolah-olah mimpi.
      Saya kira penulis berhasil membawa saya dalam dunia-dunia ajaib yang diciptakannya dengan segala ruang senyap yang riuh—penuh dengan ketermenungan—meskipun terkadang di beberapa cerita, penulis seolah memaksakan kehendak, bahwa cerita haruslah memiliki pesan moral yang gamblang agar dimengeti pembaca.

Fina Lanahdiana
Partikel pemimpi yang memilih pura-pura sibuk membaca dan menulis ketika tidak ada pekerjaan yang mesti diselesaikan


***



KAU MASIH HIDUP
Karya : Fitriyani Ayuningtyas

Kau masih hidup,
Tersimpan dalam lebar senyum sang putri
Dalam binar bening mata indahnya
Dalam tapak langkah perjalanannya

Kau masih hidup,
Mekar dalam hati sang putri
Tumbuh sumbur dalam nurani
Tersiram indah dengan cinta dan kasih putri

Kau masih hidup,
Meski hanya nyata dalam mimpi
Kiranya sedih dapat tersembunyi

Kau masih hidup,
Bersinar dalam doa
Merajut rindu dalam asa

Kau masih hidup,
Membelai lembut tiap mata tertutup
Senyum, tawa, cinta dan rindumu,
Selalu terpatri dalam doa tiap sujudku
Sebab, Kau masih hidup..




SEPOTONG KUE
Karya : Fitriyani Ayuningtyas


Lamut-lamut mulut bergoyang
Menikmati manisnya sepotong kue pagi ini
Rasa serat mulai menghampiri
Kutengok gelas nampaknya sudah tak berisi

Kuletakkan sepotong kue diatas meja
Sebentar menuang susu hangat didapur
Tak nyana, ia tlah raib
Raib atas kedatangan kawanan semut nan rapi berbaris

Secepat itu nampaknya mereka menghampiri
Lantas bagaimana ku menyantapnya
Jika mereka menyerang dengan banyak pasuka?
Ah, sudahlah!
Hanya sepotong kue..



 
FITRIYANI AYUNINGTYAS atau akrab disapa Ayus lahir di Batang  08 Pebruari 1997. Bertempat tinggal di Kota Kaliwungu, tepatnya di Kp. Puri Jatisari Permai Rt.01 Rw.15 Ds.Plantaran, Kec.Kaliwungu Selatan, Kab.Kendal.  Aktif menulis sejak kelas 2 SMA. Saat ini Ayus adalah  Mahasiswa di STIKES Ngesti Widi Husada Kendal  jurusan S1.Farmasi.
PIN BB : 59CC1DAA
No.Hp : 085742756924
Facebook : Fitriyani Ayuningtyas


 




****

Tetralogi Buru, Yang Pernah Diasingkan
 Oleh : M. Lukluk Atsmara Anjaina

Barangkali, kaum pelajar ada yang masih asing dengan sastrawan fenomenal bahkan sampai internasional. Pramoedya Ananta Toer atau Pram, sapaan akrabnya. Lahir di Blora, 6 Februari 1925 merupakan salah satu pengarang produktif dalam sejarah sastra di Indonesia. Lebih dari 50 karya telah ia lahirkan dan lebih dari 41 bahasa asing karyanya diterjemahkan.
Bagi sebagian kalangan, sosok Pram merupakan sosok yang kental dalam menulis. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” (Pramoedya Ananta Toer). Mungkin kata-kata Pram tersebut yang memotivasi banyak orang sehingga muncullah banyak penulis disetiap sudut belahan dunia. Dari yang menulis cerita, puisi atau lainnya. Dari yang fiksi maupun non-fiksi. Hingga dari yang sekadar menulis curahan hati yang akhirnya menjadi buku sebagai saksi bisu.
Karyanya yang paling fenomenal adalah Tetralogi Buru adalah nama untuk keempat novelnya yang terbit dari tahun 1980 hingga 1988 yang mengungkapkan sejarah keterbentukan nasionalisme pada awal Kebangkitan Nasional dan pengukuhan atas seorang bernama Tirto Adhi Soerja yang digambarkan sebagai tokoh Minke yang ditulis dengan sentuhan roman. Juga berkisah tentang perjuangan hebat melawan kolonial dengan jalan jurnalistik.
Tetralogi Ini pernah mengalami pengasingan atau kata lain dilarang terbit dengan keputusan Jaksa Agung nomor 061/J.A/6/1988 disertai tulisan: ”Kita memandang Pramoedya Ananta Toer seorang sastrawan, pencipta keadilan, tidak akan mensejajarkannya dengan Alimin, Muso, atau Aidit. Kita tidak menganggap Pram adalah seorang komunis. Tetapi di masa dimana Alimin, Muso, Aidit tak ada lagi dan seluruhnya telah menjadi puing agung, bukankah segala sesuatunya perlu dimulai dari awal lagi.” (http://indoprogress.com/2011/05/nyanyi-sunyi-pram/)
Berikut sedikit ringkasan dari keempat novel Pramoedya yang termaktub dalam Tetralogi Buru:
1.         Bumi Manusia
Novel awal dari Tetralogi Buru ini menceritakan kisah cinta Minke kepada Annelies yang banyak akan rintangan dan terbentuknya nasionalisme ketika bangsa kulit putih menelan Pribumu, bangsa kulit putih tersebut meminta hak-hak kuasa kekayaan Tuan Mallena yang mati karena keracunan. Dan Pribumi tidak menyerah dan terus melawan, tak malu ketika kalah. Pribumi harus mempertahankan hak-haknya, tidak hanya ditindas oleh eropa saja.
2.         Anak Semua Bangsa
Novel jilid kedua berkisah tentang penyakit Annelies yang tambah parah yang sebelumnya telah diceritakan di jilid pertama bahwa Annelies mengalami sakit-sakitan. Dan selanjutnya Annelies dibawa ke Netherland. Tetapi Nyai Ontosoroh menyuruh Robert Jan Deperste (Panji Darman) untuk mengawasi dan mengabarkan keadaan Annelies selam perjalanan dan setelah sampai. Dan akhirnya Annelies meninggal dunia ketika sampai Netherland.
Juga diceritakan kekejama kolonial yang mengambil alih tanah warga menjadi pabrik gula dan warga diperintah untuk menanam tebu dan hasilnya untuk kolonial secara tidak adil. Rakyat pun semakin menderita. Disisi lain kekayaan Nyi Ontosoroh jatuh ke tangan anak suaminya, Maurits Mallema yang merupakan hasil dari pernikahan dengan wanita Eropa. Selanjutnya Maurits Mallema ) saudara tiri Annelies sebagai perwaliaan dari Annelies datang membawa seluruh barang Annelies dan mengambil alih kekayaan yang ada di Wonokromo yang dibangun Ayahnya. Warga yang baru tahu bahwa Annelies meninggal dan yang membunuhnya adalah Maurits memberikan cercaan kepada Maurits. Tapi, Maurits tak acuh dan pergi meninggalkan Minke dan Nyai Ontosoroh tanpa kejelasan.


3.         Jejak Langkah
Novel yang ketiga menceritakan tentang sebuah lanjutan cinta Minke yang hijrah ke Betawi untuk melanjutkan sekolah di Pendidikan Dokter STOVIA. Lalu menukah dengan Ang Son Mei, seorang gadis Tiongkok. Lalu lambat laut Minke mendirikan organisasi Syarikat Priyayi dan menerbitkan koran Medan Priyayi. Ia sempat dihubungi dr. Soetomo perihal pembentukan organisasi Boedi Oetomo namun Minke keluar karena berbeda prinsip. Setelah Syarikat Priyayi vakum Minke mendirikan organisasi Syarikat Dagang Islamiyah (S.D.I.) yang berkembang pesat. Medan Priyayi tetap terbit harian. Tetapi mengalami persaingan dengan organisasi Tionghoa, koran Sin Po. Minke menerbitkan Hikayat Siti Aini dari Hadji Moeloek dan berhasil menaikkan rating Medan Priyayi.
Selanjutnya Minke mengadakan konferensi dengan para pimpinan SDI cabang dan akan melakukan kerja propaganda. Tetapi dua hari sebelum melakukan kerja propaganda di negeri-negeri termasuk Singapura, Malaya, Siam, dan Filipina, Medan Priyayi yang telah diserahkan kepada Sandiman, Marko, dan Frinschbaten memuat berita yang menggemparkan, menghina Gubernur Jenderal dan Medan Priyayi di musnahkan sedangkan Minke ditahan oleh polisi.
4.         Rumah Kaca
Rumah Kaca mengisahkan tentang Pangemanann yang memiliki kekuasan di Kantor Algemeere Secretarie bertugas mengawasi dan mengendalikan organisasi-organisasi pribumi mengalami pergulatan hati. Ia bekerja keras dengan Gubermen demi kelangsungan hidupnya disisi lain ia harus mengendalikan kegiatan Minke, yang sangat dihormatinya. “Nuraniku terguncang..... Dia bukan penjahat, bukan pemberontak.... Dia hanya terlalu mencintai bangsa tanah airnya Hindia.”
Akhirnya dia memilih jabatan dari pada yang lain-lain. “Madame Pangemanann pergi, aku tak merasa kehilangan, Anak-anak pergi, aku tak merasa kehilangan. Mengapa aku akan merasa kehilangan ketika jabatanku punah dan kehormatanku di depan umu rusak?
Itulah setidaknya ringkasan singkat dari Tetralogi Novel Buru yang pernah terasingkan kemudian kembali kepada kebebasan malah akhirnya menjadi buku yang (mungkin) paling dicari karena berisi tentang kisah cinta.

Daftar Pustaka:
Ø  Toer, Pramoedya Ananta, 2008, Bumi Manusia, Jakarta: Hasta Mitra.
Ø  Toer, Pramoedya Ananta, 2008, Anak Semua Bangsa, Jakarta: Hasta Mitra
Ø  Toer, Pramoedya Ananta, 2008, Jejak Langkah, Jakarta: Hasta Mitra.
Ø  Toer, Pramoedya Ananta, 2008, Rumah Kaca, Jakarta: Hasta Mitra.




 
















M. LUKLUK ATSMARA ANJAINA atau biasa dipanggil Anja adalah pelajar di SMAN 2 Kendal. Aktif diberbagai kegiatan, diantaranya PMR, Marching Band dan Pramuka. Karya puisinya telah terbit diberbagai antologi bersama, dan kini tengah mempersiapkan antologi puisi tunggalnya. Email : luklukanjaina@gmail.com.
 
 
***
 
 
Siapakah Kita ?
Oleh : Muhammad Arif Rakhman

Bukankah seekor kerbau hanya menghamba kepada tuannya?
Begitu pula jasad ini?
Tak selayaknya menghardik jalannya cerita.
Apalah daya seonggok daging tanpa tiupan itu.
Akan menjadi pemuas nafsu para belatung diujung kesendirian.
Seekor kerbau selalu bersyukur diatas jalan yang ia tapaki terdapat rerumputan untuk dimakan.
Sama halnya tubuh ini berjalan dan makan diatas garis nasib yang bergelimangan rahmat-nya.
Aneh mata kecil ini tak mampu melihat kasih sayang yang melekat didunia.
Mulut kotor hanya mampu mencela.
Padahal keagungan tiap waktu mencekokinya dengan kenikmatan.
Masihkah terbakarkah segumpal daging  dibungkus kearifan, oleh ke-elokan nan fana?
Keserakahan tungku pemusnahan kebajikan.
Sedang tubuh yang bergumul dengan syahwat merupakan kebusukan tak terjamah logika.
Kerbau tak pernah mengeluh apalagi memprotes semua yg tuannya berikan.
Kenapa daging berkulit menantang sang tuan?
Karena derajat kah, akal atau percikan sifat ilahi yang tak lebih besar dari biji rumput itu.
Lantas menjadikan sombong.
Seekor kucing begitu patuh kepada pemberi makan.
Selayaknya pohon yang menghambakan diri kepada surya sepanjang langkah jarum waktu.
Masihkah tubuh busuk ini bersikap congkak menentang sang tuannya?
Kerbau, kucing, tumbuhan lebih mulia dari daging yang tak patuh terhadap tuan.
Tapi daging yang berjalan bersama cahaya, akan bersayap laksana elang,
terbang diatas kepala para penjaga.

Kendal, 11 Januari 2016
Uraieff El-rohman
 
 


****



“ Bencana dihari raya ”
 Oleh Bima 

Raung...
Tawamu menggelegar memecah kebuntuan eforia gema takbir
Sebuah pilihan jalan lain.
Nyanyimu keluarkan api api menyala
Berguguran melantai kedasar hati.
Entah... aku tak yakin dengan suatu persidangan
Sementara hujan terus saja mendera
Berhamburan angin memberontak bersama harapan.
Semoga untuk mu ini adalah berkah yang langka, dihari kemudian yang dinantikan
...Esok pagi ( Idul Fitri )
Juli,1436H



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 




















Komentar