DUNIA DAN PUISI HARUS DIBACA*


Membaca puisi Raedu Basha seperti masuk pada dunia yang entah di mana. Puisi-puisinya memaksa kita untuk membaca di luar puisi. Puisi-puisinya memaksa pembaca untuk jauh meneropong mengetahui apa yang ada di balik puisi. Puisi-puisi yang dicipta biasa dikaitkan dengan peristiwa tertentu atau kata tertentu. Basha termasuk orang yang rajin menyimpan kata (menurut saya). Ini jelas terlihat pada pola-pola kata yang dibawanya seperti “Mataparanga”  dan “Arhoci”. Ia berupaya memberi kesan mendalam pada puisinya.
Puisi-puisi Raedhu Basha juga selalu membawa saya pada peristiwa tertentu atau peristiwa tertentu dalam kehidupannya. Ada kata “Balian”, “Panglima Bukha”, “Osci”, “Campania”, “Tarthus”, dan lain sebagainya. Tentu ini adalah kata yang bisa muncul karena sebuah peristiwa. Dan ini sangat menyulitkan. Jika mungkin saja puisi ini dibentuk seperti puisi esay. Mungkin akan lebih mudah dibaca tetapi belum tentu menarik dibaca. Puisi-puisi dalam buku ini sangat padat makna dan peristiwa.
Saya memandang puisi Raedhu dalam sudut pandang mimetis.Ya, tidak ada puisi yang tercipta dari kekosongan. Ia mungkin dari alam, masuk ke tubuh, dan menjelma dalam kata jadi puisi. Membaca puisi-puisi Raedhu Basha seperti berdiri di gerbang dunia. Pertanyaanya adalah ‘apakah kita mau memasukinya atau tidak?’ Saya umpamakan puisi-puisi ini seperti jendela dunia. Kita bisa melihat nilai estetis yang sangat tinggi dari puisinya.Tidak hanya melihat lewat jendela, jika kita mau mungkin kita bisa melompati jendela dan masuk di dalam (puisi) nya.
Saya yakin Raedhu adalah orang yang suka membaca, menonton, mendengarkan, dan berani mencoba hal-hal baru. Ini sangat terbukti dari puisi-puisinya yang beragam dan punya kedalaman yang luar biasa.
Selain menjadi jendela dunia, tentu kita dipaksanya untuk mengetahui “apa itu Madura?” Ya, bagi orang seperti saya yang baru sekali ke Madura (itu pun karena Ziarah). Saya tidak begitu tahu banyak tentang Madura. Tetapi setelah membaca Raedhu, oh Waowwww … saya dipaksa menjelajahi Madura. Dalam puisinya, Raedhu seperti anak Madura yang tak mau melupakan daerahnya walau ia sedang “merantau” kemana-mana. Itu Nampak pada larik puisinya, seperti “Kacong” atau “Kacong Cebbingku” dan lainnya.

Lalu dengan puisi ini, tugas besar kita adalah ‘bagaimana orang agar mau dan bisa membacanya?’
Ya, dalam lingkup yang lebih luas saya berpendapat “puisi tidak boleh terhenti padateks.” Puisi harus menjelma dalam bentuk yang lebih disuka. Inilah tugas para deklamator, musikus, pelukis, dan penyair sendiri agar “memaksa” orang untuk membaca karya sastra. Kan eman-eman, puisi sebagus ini hanya sebagian kecil yang “membaca”?

Semangat.
Penghalang adalah river! (JKT48)

by : Zulfa Fahmy
Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia, Unnes Semarang
HP. 085226445396 | E-mail : mazfafa@gmail.com


*disampaikan pada NgopiSastra #5 PSK | Pelataran Sastra Kaliwungu, Bedah Buku dan Diskusi “MataPangara” karya Raedu Basha, di Saung Juragan Kaliwungu, Sabtu 28 Pebruari 2015


Komentar