MENTADARUSI WAKTU DENGAN MATAPANGARA

Waktu ke waktu
Cekat kami jaga abad
Menikam gelap
Mengertak nyanyian jalang dengan kristal puisi!
(Penjaga Abad, 25)

Begitulah sekiranya Raedu Basha mengajak saya membaca-menulis-mengapresiasi puisi untuk keperluan menjaga abad, menjaga waktu. Puisi-puisi Raedu Basha yang terkumpul dalam sebuah buku bertajuk “Matapangara” ini sangat didominasi dengan persoalan waktu. Entah dengan latarbelakang apa, entah dengan latardepan apa. Setidaknya, saya menginventarisir diksi-diksi yang mengarah pada persoalan waktu. Dan dari 27 puisi, hanya 3 yang tidak menyoal tentang waktu, yakni “Ilir”, “Tiba di Sebuah Negeri”, dan “Radarparana”.
Tiap  masyarakat memilki pandangan yang relatif berbeda tentang waktu yang mereka jalani. Sebagai contoh: masyarakat Barat melihat waktu sebagai sebuah garis lurus (linier). Konsep garis lurus tentang waktu diikuti dengan terbentuknya konsep tentang urutan kejadian. Dengan kata lain sejarah manusia dilihat sebagai sebuah proses perjalanan dalam sebuah garis waktu sejak zaman dulu, zaman sekarang dan  zaman yang akan datang. Berbeda dengan masyarakat Barat, masysrakat Hindu melihat waktu sebagai sebuah siklus yang terus berulang tanpa akhir. Cara pandang terhadap waktu bukan hanya sekedar cara melihat detikan arloji pada dinding yang terus berputar tanpa henti dan menunggu komando dari setiap orang, namun waktu lebih dilihat sebagai kesempatan, uang dan karya yang terus berlangsung mengukir hidup yang tiada hentinya. Kebebasan waktu terjadi di mana orang mampu memberikan segala Karya, cipta, dan karsanya bagi semua.
Sebagai sesuatu yang lekat dengan kehidupan. Waktu memang satu hal yang unik. Waktu sendiri setidaknya ada tiga, waktu lampau, waktu sekarang, waktu esok. Pun dengan puisi-puisi Raedu yang menyoal tentang waktu, yang kemudian saya invertarisir menjadi


a.      Waktu dulu,
 Waktu dulu, waktu yang telah lampau, waktu yang sudah dialami, atau juga dinamai sejarah. Puisi-puisi Raedu tentang masa yang telah berlalu menjadi semacam kenangan romantisme-romantisme yang kini tidak lagi diketemukan. Antara lain dalam puisi “Hikayat Negeri Sorga” (hal 11). Adalah sebuah kenangan tentang negeri Sorga, yakni tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan, bernama Madura. Perihal waktu lampau, Raedu memakai diksi “dahulu”
dahulu
dari rusuk baling-baling yang pasrah pada angin
aku dapat menatap tangis haru moyangku
airmatanya yang tawar dapat kucicipi
bila kuasini dengan garam
hingga dari airmatanya dapat kunisbatkan:
perjuangan adalah ketabahan tanggul
tambak menngulai ketegaran
tambak membuah ketenangan
Ini adalah romantisme masa lalu yang kini hanya dikenang oleh Raedu, yang kini sudah tidak ada atau hilang. Sebagaimana penjelasan Kuntowijoyo, sejarah akan banyak bertalian dengan kausalitas. Maka dalam puisi ini pun Raedu menuturkan potret masa kini yang membuatnya gelisah

namun
entah siapa telah berbual dalam syukurnya
airlaut tiada mengasin lagi
tambak hanya menanam lelah
tambak hanya memanen sepi

Begitulah Raedu mencurahkan kegelisahannya, atas apa yang terjadi di Madura yang ia rasakan kini, berbeda ketika nun berabad lalu sewaktu Pangeran Katandur mengerjakan kalimahsyahadat/mengelilingi daratan Madura/;samudera mennggumpal kristalan putih/garam membuih/laut mendawuh di kening dermaga/ikan-ikan berlompatan di jantung segara/sungguh rekah tuhan menggelar sebuah negeri sorga/.
b.       Waktu sekarang

Pada pembuka kumpulan puisi ini, sebuah puisi “Ternyata Sudah Sangat Malam” (hal 9) adalah isyarat Raedu tentang waktu yang sedang ia jalani, yang sedang ia hadirkan dirinya. Adalah sebuah permenungan yang sedang dialami Raedu di tengah malam, /bertekur sepi bertukar mimpi/detik-detik menghantarkan alur menungku.
Puisi ini barangkali menjadi semacam muasal kebersadaran akan keberadaan dirinya, yang saat ini dengan kondisi yang sedemikian entah, apalagi judulnya begitu bermuatan penekanan tentang itu, “ternyata” mengindikasikan waktu sekarang yang baru ia sadari kehadirannya. Dalam waktu yang sekarang Raedu mengupayakan sebuah dialog batin

aku ksatria yang terluka dalam perang
aku tak ingin mati sebelum menang
membunuh musuh di dalam diri…

Membunuh musuh di dalam diri adalah sebuah upaya muhasabah terhadap diri. Dilakukan dalam waktu yang sekarang, untuk mengingat segala apa yang terjadi di waktu lampau, untuk mempersiapkan waktu esok.

nurani dan birahi
bercakap tentang gairah yang bergelombang
hati dan pikiran berkeluh
ke mana hendak melangkah, o ke mana
hendak melangkah?
ke arah angin berseling siul seruling
ataukah ke udara perkasa menerompa lautan
kemudian menentang badai?

Kalimat ini adalah pengharapan atas apa yang akan dilakukan ke depan, menghadapi waktu esok. Kesunyian yang dialami aku-lirik ini, mempunyai kesamaan dengan apa yang ada di puisi “Tadarus Kesunyian” (hal 50),

di kesunyian ini kujumpa wujudku beringas
meraba mimpi-mimpi kahfi
di mana kutemu dirimu dalam gelap dalam sepi
menatapku begitu tajam seperti lotot elang
tapi ada sebaris kata yang tersimpan
entah kalimat cinta atau kerikil Ababil
yang siap kaulemparkan ke dasar badan
aku masih tak paham

Kedua puisi ini mempunyai inti yang sama, sebuah laku muhasabah diri. Dialog diri. Bercermin pada diri. Di kesunyian malam. Sekalipun  begitu, ada setangkup optimisitas yang ia ketemukan setelahnya

walau aku tak segagah Musa menerjal batu
namun kulenguhkan langkah menelusuri Sinaimu
di mana jelmamu melebihi perkasa matahari
menumpulkan penglihatan menghanguskan badan

aku akan terus lagukan tanya pada rindu
aku akan terus dendangkan tanya pada rindu

walau bibir begitu luka mengeja kata
takkan henti kulantunkan tadarus sunyi
karena waktu teramat sepi
sebab tatapmu masih tak kupahami

c.       Waktu esok
Kata orang, masa lalu adalah kenangan, masa sekarang adalah kenyataan, masa esok adalah harapan. Namun, apakah ketika didengungkan “harapan”, akan terlintas di bayangan, bahwa masa esok akan menjadi lebih baik?
Pemikiran manusia sangat lekat dengan hal-hal yang idealis, namun kenyataan, atau realita kadang tidak seperti yang diharapkan. Barangkali kita mengingat tragedi Titanic 1992, sebuah pencapaian sains, yang disebut sebagai “yang tidak dapat tenggelam”, namun akhirnya justru tenggelam memakan banyak korban pada pelayaran pertama. Begitulah, realitas kadang bertabrakan dengan idealita atau pengharapan-pengharapan, sekalipun persiapan untuk menghadapi waktu esok sudah sedemikian rapi. Setidaknya itu yang ditakutkan Raedu dalam rangka menyongsong hari esok, seperti dalam puisi “Pademaru” (hal 36), ia berkata
dalam tengadah tangan aku mengemis
setetes madumu lebur meresap ke runduk khusyukku

kecuplah keningku
restui kembara ini kulanjutkan ke jauh waktu

Waktu esok, adalah misteri. Begitu kira-kira. Segala kemungkinan bisa saja terjadi, di luar perencanaan-perencanaan. Bahkan sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Hal ini menjadi sebuah kegelisahan seorang Raedu, terkhusus dalam meramalkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada tanah moyangnya: Madura. Seperti puisi “Menatap Las Vegas” (hal 32)
menatap Las Vegas
bangunan-bangunan menjulang
mencakar langit atmosferku
emosi karam di antara gemerlap lampu
berdecaklah jagad Kuldesak
sambil kueja mantra-mantra Sakera
sekedar membuang ketir dan gemuruh
yang ranggas di dalam otak

inikah Madura kelak
postmodernism
megapolitan disajikan anakputuku
hidangan dunia yang gila
di mana tak kudengar
nyanyian sumbang kakek lugu
seperti tembang kae menjelang tidurku.

Begitulah, ketakutan yang muncul di puisi Raedu, senada dengan apa yang diungkapkan Kevin O’Doneil dalam buku “Posmodernisme” (2013: 13), revolusi industri—yang nantinya berdampak pada modernism—menghasilkan komoditas dan kemewahan baru, tetapi apa bayarannya? Komunitas tradisional dimusnahkan dan lingkungan tercemar.
Kleden (2004;8-9) mengatakan bahwa karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan situasi kebudayaan tempat karya itu dihasilkan, sekalipun pengarang dengan sengaja berusaha mengambil jarak dan bahkan melakukan transendensi secara sadar dari jebakan kondisi sosial dan berbagai masalah budaya yang ada di sekitarnya. Karya sastra adalah hasil pencurahan kedirian pengarang secara intensional dan terus-menerus kepada dunia sosialnya. Karya sastra yang diciptakan pengarang merupakan usaha coba-coba, yang di dalamnya terdapat kemungkinan-kemungkinan kontruksi-konstruksi baru tentang dunia sosial yang dialaminya.
Kenyataan hidup sehari-hari, sebagaimana yang diekspresikan juga dalam karya sastra, bersifat intersubjektif, dipahami bersama-sama oleh orang-orang yang hidup dalam masyarakat sebagai kenyataan yang dialami, termasuk pengarang sebagai anggota masyarakatnya. Kendatipun kenyataan hidup sehari-hari merupakan dunia intersubjektif namun bukan berarti antara orang satu dengan orang yang lain selalu memiliki kesamaan perspektif dalam memandang dunia bersama. Sebaliknya setiap orang memiliki perbedaan pendangan. Pun pengarang  (baca:penyair). Perpsektif ini bukan hanya berbeda bahkan juga bertentangan. Namun, bagi Berger dan Luckman (1990:34), ada persesuaian yang berlangsung terus-menerus antara makna-makna orang yang satu dengan yang lain. Begitu juga dalam persoalan waktu itu sendiri.
Untuk menutup tulisan singkat ini, saya mengutip puisi “Penjaga Abad” (hal 23)/ Puisi setia menjaga angka/dalam abjad semesta/jam kalender serta kode-kode misteri/di berantah buana mana/. Begitulah puisi. Suara hati penyair. penyair adalah pengungkap rahasia-rahasia/ seperti bisu namun hakikat suaranya/ mengumandan suara jagad raya/ suka duka diabadikannya dalam bahasa hati nurani!.
Pustaka Senja, februari 2015.

Dimas Indiana Senja, penikmat sastra. 

---


Komentar