Oleh: Setia
Naka Andrian
(di tulis pada NgopiSastra PSK #1 Pelataran Sastra Kaliwungu, Bedah Puisi Karya M. Lukluk Atsmara Anjaina, di Rumah Puisi eLKa, 7 Oktober 2014)
Barangkali,
ini bukan kali pertama kita menjumpai puisi. Sengaja atau tidak disengaja,
pasti cukup mesra perjumpaan kita dengan puisi. Banyak jalan yang kita tempuh
hingga akhirnya kita mengakui keberadaan puisi. Entah perjumpaan kita dengan
sepenuh paksaan atau setebal kemesraan yang panjang. Pasti masing-masing dari kita
juga punya jalan yang berbeda dalam proses penemuannya. Proses dan jalan yang
tidak pendek. Hingga kita benar-benar mengakrabi dan yakin bahwa puisi bukan
lagi tuntutan mata pelajaran saja, namun di antara kita barangkali telah
menganggap puisi sebagai kebutuhan, terapi jiwa, dan kegenitan-kegenitan lain
sebagainya.
Seseorang
menulis puisi, bukan berarti sebatas ia sedang ingin menulis puisi. Namun lebih
pada puisi yang ingin ditulis oleh seseorang. Serius, saat ini puisi cukup
merasa kesepian. Puisi saat ini barangkali cukup disepelekan oleh seseorang di
sekeliling kita, mereka menganggap puisi masih sebagai barang antik yang hanya
beredar dan dinikmati orang-orang tertentu dalam keunikan-keunikan tertentu
pula. Lebih-lebih mengenai peredaran puisi di lingkungan bangku sekolah hingga
kursi-kursi mahasiswa jurusan bahasa dan sastra yang cukup berdesakan tiap
tahunnya. Barangkali kita cukup paham, bagaimana muara puisi di lingkungan
tersebut hanya akan berakhir di laci dan di bawah kursi saja. Berakhir dalam
tumpukan tugas-tugas dan skripsi yang menumpuk kesepian di perpustaan. Jarang
yang masih dimusimkan kembali sebatas dalam perdebatan-perdebatan kecil sambil
menghisap aroma kopi. Ya, semoga tidak separah kecurigaan tersebut.
Namun
setidaknya saya pribadi cukup angkat topi dengan proses kreatif yang dilakukan
M. Lukluk Atsmara Anjaina. Ia sebagai siswa MTs, sebuah lembaga pendidikan
setingkat SMP dengan pengaruh cukup besar mengenai pelajaran agama Islam.
Setidaknya, Anja telah melampaui dirinya yang tidak sebatas sebagai siswa
semata. Saya yakin, tidak semua siswa seusianya, baik di sekolahnya maupun di
luar sekolahnya melakukan proses keratif yang sama. Barangkali sekelas mahasiswa
pun bisa dihitung jari, siapa saja yang percaya terhadap puisi dan menggilainya
semacam yang dilakukan Anja.
Sekali lagi,
secara pribadi, saya angkat topi. Paling tidak, dengan membaca beberapa puisi
yang ditulis Anja menjadi ingatan tersendiri bagi saya. Barangkali kenangan
masa lalu proses kreatif saya ketika masa SMP tak sebaik yang dialami Anja saat
ini. Saya ingat betul, dulu saya menikmati pertumbuhan proses kreatif hanya sebatas
nasib sebagai individu semata. Forum-forum semacam yang dilakukan Pelataran
Sastra Kaliwungu (PSK) Kendal belum saya jumpai saat itu. Benar-benar berdikari
(baca: berdiri di atas kaki sendiri). Saat itu, akses bacaan saya sebatas
rak-rak di perpustaan sekolah yang berada di desa. Sungguh sepi, tak ada yang
menggairahkan dan tak cukup kegenitan puisi yang saya jumpai. Maka ketika saya
lapar untuk mengintip puisi yang cukup merdu, saya harus merelakan mengajak
kakak saya ke Semarang, mengunjungi toko buku, dan tidak membelinya, hanya
membaca saja di toko. Hal tersebut saya ulangi kembali dengan intensitas yang
cukup serius ketika beranjak SMA. Bahkan saat itu saya menyebarkan virus
menular tersebut kepada beberapa teman, membolos sekolah demi menghitung
buku-buku baru di sebuah toko buku nasional di Semarang. Ya, masih tetap sama,
tetap hanya membaca di toko saja, karena saat itu uang hanya terpaksa untuk
membeli buku-buku pelajaran sekolah saja. Tak ada uang lebih untuk membeli
buku-buku cerpen atau puisi. Ya, jika hendak membeli buku cerpen atau puisi,
barangkali hanya tiap semester sekali. Itu pun hanya memanfaatkan korupsi bulanan
iuran sekolah yang saya selinapkan, maaf ya bapak dan ibu. Ini sekadar
kenakalan sederhana pada masa kecil saja.
Lalu,
bagaimana posisi siswa saat ini, di luar Anja? Apakah masih musim beberapa
ingatan kecil saya tersebut? Tentu, kita yakin, dan dapat menjawabnya dengan
pelan-pelan sambil menghela napas, menghisap aroma kopi atau mengepulkan asap.
Kita yakin, saat ini terlalu banyak pilihan. Segala sesuatu saat ini begitu
berdesakan mengantri di depan mata kita dan menarik tubuh kita untuk lekas memeluknya
erat-erat. Barangkali tanpa harus bersusah payah mencari, segalanya telah
disuguhkan dengan cuma-cuma di depan mata. Sebuah proses penemuan saat ini tak
begitu berdarah jika dibandingkan dengan penemuan-penemuan yang ditemukan
pendahulu-pendahulu kita. Lebih-lebih anak-anak sekolah saat ini, sudah banyak
pilihan, termasuk beragam game, dan bermacam temannya yang sering kita temukan
dalam fitur-fitur gadget mutakhir
saat ini. Barangkali, jika kita ingat, pendahulu kita, atau barangkali kita
sempat berakraban bahwa hiburan saat itu jika tidak mendengarkan sandiwara
radio ya bermalasan bersama komik dengan tawaran-tawaran imajinasi yang sangat
menggiurkan. Jika masa lalu sudah muncul media elektronik, barangkali semacam televisi
dengan segenap kematiannya belum begitu manja seperti yang kita simak saat ini.
Atau paling tidak, ketika itu kita masih berbangga melakukan aktivitas discovery kecil-kecilan di hutan atau di
kebun-kebun yang ada di kampung halaman kita, tentunya banyak hal yang dapat
kita kenang serta kita diskusikan dengan teman sebaya. Paling tidak itu yang
mengikat ingatan kita, bahkan sampai kapan pun akan membekas lebih tajam dari
mainan-mainan yang kita jumpai saat-saat ini dalam dunia gadget yang begitu cepat berganti seri.
Sudahlah,
kita lupakan pelan-pelan beberapa hal yang cukup cerewet itu. Saya rasa puisi
Anja dalam proses kreatifnya lebih leluasa menemukan kegenitannya dalam puisi.
Berkali-kali saya bilang, bahwa saya pribadi sangat angkat topi terhadap
prosesnya. Saya rasa kita semua yang hadir dalam lingkaran ini juga merasa
begitu. Terlepas dari bagaimana takdir beberapa puisi yang ditulis Anja yang
didiskusikan saat ini, paling tidak ia telah memulai dan tentunya sangat
mendapat dukungan dari lingkaran diskusi ini. Bukan bermaksud apa-apa, dalam catatan
ini tak banyak yang dapat saya sampaikan mengenai puisi-puisi yang ditulis
Anja. Namun, saya berjanji kelak jika Anja lebih bersetia lagi dengan puisi, dan
lebih berakraban lagi dengan puisi-puisi di luar dirinya, saya akan berupaya
menemui tubuh beserta puisinya sambil menghisap aroma kopi. Bagaimana pun, saya
cukup khawatir akan ada kecurigaan-kecurigaan lain jika sebatas mengakrabi
puisinya saja, tanpa menemui tubuh dan sedikit bertamasya dengan jiwa
penulisnya.
Barangkali
pada catatan ini ada yang perlu saya sampaikan untuk Anja, namun ini bukan
berarti menggurui, sebatas guru pun tak cukup untuk menggurui jika ia masih
merasa kemenangan selalu menguasai dalam benaknya. Begini Anja, setidaknya,
saat ini hingga saat-saat berikutnya, bahwa puisi sebagai sebuah sastra
merupakan definisi kedua kalinya. Penciptaan puisi tak pernah akan lepas dari
representasi penulis terhadap kehidupan agama, kehidupan sosial dan kehidupan
individual. Saya rasa, sebagai pribadi yang tumbuh di lingkungan pendidikan
agama, khususnya Islam, tentunya akan ada banyak hal yang kamu temukan. Sehingga
sedikit pesan pertama untuk Anja, coba setelah lingkaran ini, upayakan untuk
sedikit mengurangi tulisan yang masih sibuk dengan dirimu sendiri. Lepaskan
dengan sepenuh kelepasannya, hingga benar-benar merasakan bahwa Tuhan telah
menggerakkan tanganmu dalam menulis. Ketika tulisanmu sudah berhasil,
barangkali itu semua bukanlah semata tulisanmu, namun sudah ada campur tangan
Tuhan dalam tulisanmu. Percayalah! Apa ada segala sesuatu di dunia ini yang
hadir tanpa campur tangan Tuhan?
Setia Naka Andrian. Lahir di Kendal, 4 Februari 1989.
Mengaku sangat gatal-gatal jika sudah sampai dua bulan tidak menulis puisi.
Proses kreatif sempat dilakukannya di Komunitas Sastra Lembah Kelelawar, Teater
Gema, Rumah Diksi dan Jarak Dekat. Pria kurus yang sering mengaku cukup tampan
ini, kini tinggal di Semarang sambil nguli di beberapa ruang yang masih cukup
akrab dengan kegilaannya bersama puisi, sesekali pulang ke kampung halaman, di
Tabak RT 01/ RW 07, Desa Kertomulyo, Kec. Brangsong, Kendal. Ponsel:
085641010277. PIN 31441FAB. Surel: setianakaandrian@gmail.com Twitter:
@setianaka
Komentar
Posting Komentar