Disampaikan kepada Luluk dan PSK pada NgopiSastra #1 Pelataran Sastra Kaliwungu. Selasa, 7
Oktober 2014 di Rumah Puisi LK Brangsong
Salah
satu wujud ekspresi adalah puisi. Puisi memberi kebebasan kepada siapapun untuk mewujudkan ekspresinya dalam bentuk yang paling sederhana; kata. Seorang pematung berekspresi melalui pahatan. Seorang pemusik berekspresi melalui
nada dan irama. Namun seorang penyair cukup kertas dan pena untuk mengurai
kata dan makna. Itu (mungkin)
yang dilakukan Luluk melalui puisi-puisinya.
Luluk menuliskan puisi-puisinya dengan cara
yang paling sederhana, dengan puisi.
Kapan? Tidak tahu. Namun berdasarkan beberapa judul puisinya,
tampak bahwa dia menulis puisi berdasarkan kejadian/ fenomena yang terjadi atau apa yang dilaluinya. Seperti pada puisi “MalamTerindah katanya”, “Kemenangan akhirnya tercapai”, “Berjuang tak berarti perang”, dan lain sebagainya.
Pada puisi “MalamTerindahKatanya” Luluk tidak menggunakan banyak kata melodis. Dalam puisinya, dia menerangkan “malamterindah”, namun rima yang digunakan adalah rima berat,
Seperti {an} pada kata ungkapan, {ta} pada kata nyata, {ah} pada kata indah, dan
{u} pada kata tahu. Bunyi-bunyi seperti ini yang akan menjadi tugas berat untuk para deklamator (LohcurhatFa?)
Pada
lapis arti, Luluk menunjukan keresahan yang dirasakannya. Meskipun malam tersebut malam terindah, Luluk tidak mengerti sebab yang menjadikan malam itu lebih indah dari malam-malam
yang lain. Dari situ terlihat penulis memiliki kepekaan rasa yang tinggi. Dia adalah seseorang yang memikirkan hal-hal yang dilaluinya, meski pada akhir baris ia menyerah dan kembali pada kenyataan bahwa adahal yang tak dapat dipikirkan dan dilogikakan. Sembari kembali pada kenyataan hidup, penulis merancang hari yang akan dating dengan tekad terbaik. Puisi ini cukup bagus dalam menggambarkan perasaan hati pengarang.
Akan tetapi bila penulis (Luluk) tidak begitu mementingkan rima, akan lebih baik jika dia memilih diksi yang tepat. Bahkan lebih baik lagi jika dia mementingkan pemilihan diksi dan penyesuaian rima.
Hal ini akan menjadi pendorong kuat seseorang untuk meresapi puisi tersebut.
Secara keseluruhan, penilaian saya terhadap puisi-puisi karya Luluk sebagai berikut :
1. Judul yang Terlalu Mudah
Sebuah judul puisi harus memiliki daya magis
agar pembaca tertarik membaca puisinya. Sebuah judul yang bagus juga dibutuhkan para deklamator agar puisi yang dibacakannya tampak magis. Luluk harus menghindari judul-judul
yang terlalu sama dengan isi puisi.
Dengan kata lain, luluk belum menggunakan kata konotatif dalam judulnya. Ia cenderung menggunakan
kata-kata denotatif.
2. Tidak ada efek “Tampar”
Saya menyebutnya efek tampar
agar lebih mudah dipahami. Sebuah puisi harus mempunyai efek tampar. Ini semacam efek takjub pembaca terhadap puisi yang dibacanya. Efek ini seperti Joko Pinurbo dengan tikungan-tikungannya, Gus Mus dengan Balsemnya, Afrizal dengan keliarannya atau Sapardi dengan efek ‘mesra’nya. Puisi-puisi seperti ini akan memberi rasa candu kepada pembaca puisi untuk senantiasa membaca puisi-pusi karya penyair.
3. Membawa Pembaca pada Fokus yang Sama
Secara keseluruhan, puisi-puisi Luluk belum membangun keliaran imajinasi dan tafsiran pembaca. Saya contohkan pada puisi
“Digagalkan oleh macet”.
Inilah kota besar di negriku
Yang selalu dilengkapi kemacetan
Dua jam di sini, di tengah kemacetan
Pada dasarnya, pembaca diperbolehkan menafsirkan apapun semua kata dalam puisi. Puisi adalah sarana memperoleh kemerdekaan berimajinasi. Namun, Luluk tidak melakukan itu. Justru puisinya menggiring pembaca tertuju pada fokus yang sama “Macet” secara harfiah. Ini yang saya katakana bahwa Luluk cenderung menggunakan kata-kata denotatif. Maka dari itu,
diperlukan pemilihan diksi yang tepat guna membangun efek yang diharapkan.
4. Penyuntingan yang Kurang Maksimal.
Dalam sebuah proses kreatif pasti terdapat tahap revisi. Pada tahap inilah penyair merevisi hasil tulisannya agar mendapatkan hasil yang maksimal. Luluk (mungkin) belum maksimal melakukan itu. Ada banyak kesalahan ketik
(entah sengaja atau tidak). Seperti penulisan kata mahakuasa yang dipisah (mahakuasa), ketidakkonsistenan penggunaan kata di- sebagai penunjuk tempat dan hasil pemasifan kalimat (kadang digabung, kadang dipisah), dan lain sebagainya. Memang dalam ragam sastra kita mengenal kebebasan memodifikasi kata, kalimat, bahkan bunyi. Namun semua itu dalam rangka membangun efek khusus
yang ingin ditimbulkan penyair kepada pembaca. Tampaknya Luluk belum begitu memperhatikan hal ini.
Namun,
jika dinilai secara keseluruhan,
Luluk berpotensi besar untuk menjadi penyair besar. Ia mempunyai kepekaan seorang penyair. Ia mempunyai sensitivitas luar biasa terhadap lingkungan dan menyampaikannya dalam sebuah puisi. Iya, Puisi. Apalagi?
*Zulfa Fahmy, Dosen Pendidikan dan Bahasa Indonesia di Unnes Semarang, adalah juga seorang Deklamator,
penggiatsastra. Bisa diisikan
pulsanya ke 085226445396 ; E-mail :
mazfafa@gmail.com ; http://kolongpasar.blogspot.com/ ; @zulfafahmy (Twitter) ; http://facebook.com/zulfa.fahmy
Komentar
Posting Komentar