Lho kok bisa?
Ya iyalah, menurut saya, kalau anda sendiri tidak bisa menghargai
karya-karya anda dan merasa malu jika karya-karya anda, entah itu puisi,
cerpen, novel yang kemudian saking bagusnya dibaca banyak orang, lalu di
puji-puji setengah langit atau setinggi langit, dan kemudian banyak berdatangan
apresiasi dan pujian mengenai karya-karya anda itu, lalu anda mmenjadi malu serta
ogah-ogahan menerima apresiasi yang selayaknya anda terima itu, menurut saya
itu absurd! Kalau seperti itu memang tidak mungkin ada penyair di Indonesia
yang akan menerima hadiah Nobel Sastra, Magsaysay awards, mengikuti ajang
perlombaan baca atau buat puisi, tidak akan ada anugrah-anugrahan seperti
anugrah sastra Chairil Anwar, dll.
Kalau memang, for the sake of humble (atau supaya
tidak dikira orang sombong) kita kemudian malah akhirnya merasa jengah atau
rasanya gimana gitu karena ah diluar sana masih banyak penyair-penyair atau
pemain-pemain layar lebar itu yang lebih dari saya, dan merasa tidak layak
menerima apresiasi tersebut, yah saya merasa anda belum matang untuk menjadi
penyair handal.
Mengapa?
Pertama, penyair yang matang tidak akan bergeming entah karyanya
itu di apresiasi ataupun dikritik oleh orang lain. Hal ini tidak akan mengubah
dia, tidak akan menggoyahkan imannya untuk lebih berkarya dengan baik atau
tidak. Adanya apresiasi ataupun tidak, dia tetap akan melakukan tugasnya dalam
menulis dan menyebarkan keindahan sastra lewat tulisan-tulisannya. Dia tidak
akan terpengaruh.
Kedua, di negara-negara maju, penulis/penyair profesional biasanya
malah meminta penulis-penulis lain (atau orang yang lebih terkenal darinya,
atau pun publisher) untuk memberikan resensi singkat dalam buku atau
karya-karya mereka. Kalau perlu, mereka malah membayar untuk tulisan-tulisan
itu untuk meningkatkan nilai tulisannya di mata para pembacanya. Apakah itu
narsis? Tentu, sombong? So pasti! Apakah salah? Tentu saja tidak.
Ketiga, itulah gunanya kolom-kolom resensi buku, resensi sastra,
yang ada di majalah, koran, maupun blog-blog sastra atau lainnya, anda kan mau
tulisan anda dibaca banyak orang, bisa di analisa, di komentari, dibahas,
dikenang, di rating teraktual atau terinspiratif dan menjadi abadi sepanjang
masa (setidaknya satu hari di Kompasiana) atau sedikit banyak ada yang tahu lah
bahwa ternyata anda seorang penyair (jangan bohong deh…)
Okelah, penutup dari tulisan yang saya yang mungkin menyebalkan
ini, penyair memang harus sombong, memang harus narsis,
kalau ngga, ya ngapain juga nulis-nulis sekian banyak tulisan atau puisi yang
di posting tiap malam di Kompasiana ini? Mending disimpan aja di dalam laptop
atau buku diarymu, terus tunggu 100 tahun lagi baru ada yang baca dan
mempublikasikannya? Apakah itu yang para penyair Kompasiana ini inginkan?
Hmmm….don’t be so humble like that, because you are not that great…
Really, I am sick of all the hyprocracy of narcisism in the poets
minds. Euphimisme memang telah
berakar kuat disini. Atau mungkin menulis resensinya harus berbeda dengan cara
benar-benar mengkritik karya-karya penyair disini dengan semangat kritik yang
tajam dan mengiris , begitu mungkin lebih mudah diterima dan tidak ada yang
merasa jengah ya. Mungkin menuliskan secara negatif hasil karya orang lain
malah akan mendapatkan tempat yang layak dibandingkan menuliskan sisi
positifnya. Ah dunia penyair memang menyenangkan karena penuh
kebohongan…
Ah, jadinya seperti tulisan berita saja ya, the bad
news is the good news..too bad :-)
Salut saya terhadap penyair negeri Kompasiana.
Biarkan akar-akar kesombongan merajalela diantara urat nadimu.
Komentar
Posting Komentar