: Setia Naka Andrian
Membaca
puisi Bahrul Ulum A. Malik adalah membaca pertanyaan dan seketika terjawab dari
wirid yang mengalir dari ingatan yang dicatatnya. Bahrul Ulum A. Malik (BUAM)
sangat berhati-hati dalam mencatat ingatan dan segala hal pernah diperoleh atau
segala sesuatu yang sempat dialaminya. Barangkali ia sangat jarang berbohong.
Saya merasakan bahwa BUAM benar-benar setia pada catatan perjalanan hidupnya.
Tindakan serta segala hal mengenai tingkah laku menjurus pada harkat dan
martabat sebagai hamba yang luhur. Mengalir atas kemuliaan daya saing yang tak
tertandingi oleh mahluk ciptaan Tuhan lain. Sanggup menemukan pelbagai masalah
dan memilah solusi atas pengungkapan yang paling bijaksana. Selalu menggunakan
akal dalam menyelesaikan masalah—akal budi. Mengandalkan pikiran, selalu cermat
dan tidak emosional dalam menghadapi masalah.
Hal
tersebut nyata dalam puisi “Subuh”, //Bismillah/
menyebutMu lirih dalam doa subuhku, Tuhan// hamba yang kemarin siang mengetuk
pintu rumahMu// sepi, tak ada siapasiapa, suwung!!// bismillah/ salamku pada
sisa hujan semalam/ bangunkan sadarku untuk langit// mencoba mengetuk pintu
pagi/ tetap seperti kemarin, tak ada siapasiapa// bismillah/ kuharus bisa
berdiri sendiri tanpa tatih.// melangkah mandiri/ ke istanaMu lagi tanpa
sembunyisembunyi// bismillah/ ku pastikan Kau ada// di subuh dingin ini,
Tuhan//
Apa
yang telah dicatat oleh BUAM serupa dengan yang diungkapkan oleh Kant dalam
Poedjawijatna pada Pembimbing Kearah Alam Filsafat (1978), tentang kemampuan
budi untuk mencapai pengetahuan, menyampaikan arah kemapuan budi. Bahwa dengan
budi murni orang tak mungkin mengenal yang di luar pengalaman, karena
pengetahuan budi itu selalu mulai dengan pengalaman. Metafisika murni tak
mungkin.
Dalam
buku yang sama, terungkap bahwa murid Kant tidak puas dengan batasan budi itu,
mereka akan bermetafisika. Sedangkan perlu diingat, bahwa mereka selalu dibawah
pengaruh Kant dan filsuf-filsuf sebelumnya yang amat memperhatikan kesadaran
dan pengalaman. Tidak heran bahwa dasar perenungan dalam sistem-sistem ini
dicari dan didapat pada dasar-dasar tindakan, ialah manusia (baca: aku) sebagai
dasar sekonkret-konkretnya. Bahwa dari suatu dasar ‘nyata’ menurunkan kesimpulan-kesimpulan
serta memberi keterangan keseluruhan, bila ‘ada’ itu disebut sebagai idealisme
yang mengakar pada diri manusia.
Hampir
ada kemiripan dari 22 (dua puluh dua) puisi yang disuguhkan untuk diskusi ini,
dalam hal proses penciptaan dan strategi tertentu yang mendasari ‘wirid’nya
yang begitu berhati-hati. Segala sesuatu dilakukan dengan sangat hati-hati.
Dalam puisi berikutnya berjudul “RestuMu Ya Rabb”, //Rabb/ dalam semak belukar berakar// dalam rimba yang ku jamah/ dalam
lubang yang menjerat// hamba yang dhaif lemah ini/ tersesat pada malam liang/
mencuri ajal di gerbang awan// hamba sendirian/ tuhan// hamba tak brani menatap
atau bicara langsung padaMu// jiwa ini kosong mlompong/ jasad ini tak berarti
apaapa// dibanding seikat kembang/ yang kelak kutabur di pusaraku sendiri//
hamba tak brani bertaruh// nyawa kunciku Kau genggam/ kanan bidari sunyi kiri
duri menari// entah Kau beri mana hamba// pada Engkau hamba tunduk tawadhuk/
seluruhku kembali tuhan// satu permintaan terakhir hamba// restu...//
Perihal
yang tersebut di atas memberikan sepetak gambaran dan penerangan yang mampu
memprediksi bahwa BUAM akan selalu dihadapkan pada pelbagai tindakan yang
menyeluruh. Sebagi dirinya sendiri, dari, oleh dan untuk diri sendiri pula.
Manusia mengakui keberadaannya, ia ‘ada’ atas dirinya. Lahir sebagai
pribadinya, dan akan meneruskan kelanjutan-kelanjutan dalam kelangsungan
hidupnya sendiri yang berkepanjangan. Maka ia akan merasa sama sekali tidak
mengikat maupun tidak pula ingin diikat oleh sesamanya. Dalam arti benar-benar
berdiri sebagai individu yang mampu menaruh persoalan dan memecahkannya—menanam
penyakit dalam dirinya sekaligus akan mengobatinya. Karena ia yakin kepada
Allah, Tuhannya.
Namun
BUAM akan merasakan juga ketika harus dihujani beberapa persoalan yang ‘sederhana’.
Segala bentuk pengorbanan pun akan senantiasa menjadi persoalan yang pelik bagi
sesamanya. Misal hal tersebut kurang disepakati oleh orang lain yang paling
terdekat secara biologis maupun psikis, antara ia dengan orangtua, sanak
saudara, hingga kepada pasangan (baca: pacar, suami/ istri). Dikarenakan ia
ingin menjadi individu yang benar-benar tunggal untuk penemuan dan
perenungan-perenungan tertentu dalam hal kelangsungan harkat dan martabatnya
sebagai manusia seutuhnya. Pertanggungjawabannya dilakukan ketika ia harus
menentukan pilihan yang ‘tersembunyi’ atas dasar perilaku yang sering dianggap
menyimpang dan kurang disepakati oleh sesamanya. Namun hal itu mutlak sebagai
jalan yang wajib ditempuh. Dan kali ini ia tetap tegar sebagai individu yang
saling, walaupun sebenarnya ia tetap hadir untuk dirinya yang tak terpecahkan
sebagai simbol utuh. Terbukti dalam puisi “Sejenak”, //sejenak saja kekasih/ kau temani aku di sini// hingga fajar atau
matahari/ menemu kita berduaan.// sejenak saja kekasih/ aku ingin kau ada di
sisiku// semalam saja kekasih// atau kalau tidak/ kau tak akan pernah melihatku
lagi// sejenak saja//
Nampak
juga secara tegas dalam puisi “Hawa Adam dan Hawa”, //kita yang pernah terusir lantaran khuldi.// untuk kedua kalinya kita
terusir lagi/ lantaran apa lagi?// bukan karena khuldi kekasih.// bukan karena
iblis.// bukan karena tuhan yang membenci kita.// untuk kedua kalinya kita
terusir.// kali ini lantaran jibril.// hingga kita terlempar jauh,/ jauh dan
hilang.// entah di mana kita sekarang...// aku ingin pulang adam,/ antarkan aku
!!// tunggulah sampai embun memandikan jasadku !!//
Sehingga
sangat jelas, bahwa BUAM dalam puisi-puisinya menciptakan pertanyaan-pertanyaan
yang begitu akut, namun ia juga menjawabnya dalam puisi itu. Karena ia begitu
berhati-hati dalam mencatat segala sesuatu tentang dirinya yang benar-benar
nampak (ingin) sebagai individu yang luhur. Mengalir atas kemuliaan daya saing
yang tak tertandingi oleh mahluk ciptaan Tuhan lain. Sanggup menemukan pelbagai
masalah dan memilah solusi atas pengungkapan yang paling bijaksana. Selalu
menggunakan akal dalam menyelesaikan masalah—akal budi.***
Semarang, 170212, 11.39 pm.
▬Setia Naka
Andrian, lahir di Tabag Masjid RT 01/ RW 07, Desa
Kertomulyo, Kec. Brangsong, Kab. Kendal, 4 Februari 1989. Masih kerasan hinggap
di Gang Langgar Sari, Gayamsari 4, Semarang; lantaran tuntutan proses studinya
pada jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas
Negeri Semarang, hingga kini ia masih setia mengabdikan diri sebagai kacung di
Teater Gema IKIP PGRI Semarang, Komunitas Sastra Lembah Kelelawar Semarang,
Rumah Diksi Art Creative Kendal dan Pembina Lembaga Pers Pelajar (LPP) Majalah
Oasis SMA N 2 Kendal; serta ikut mengelola majalah Gradasi Semarang. Beberapa
puisinya dibukukan dalam antologi bersama “Kursi Yang Malas Menunggu” Taman
Budaya Jawa Tengah dan Hysteria, 2010; Antologi Puisi Festival Bulan Purnama
Majapahit Trowulan, Oktober 2010; Antologi puisi tiga tahunan Hysteria dan
Dewan Kesenian Semarang “Beternak Penyair”, Penerbit Frame Publishing, Desember
2011. Beberapa cerpennya dibukukan dalam antologi bersama “Bila Bulan Jatuh
Cinta” Penerbit Gradasi Semarang, 2009; Kumpulan Cerpen Pemenang Lomba Cipta
Cerpen Tingkat Mahasiswa se-Indonesia Bukan Perempuan, Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM) OBSESI STAIN Purwokerto, Penerbit OBSESI Press – Grafindo, 2010; Antologi
Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan, Oktober 2010; antologi cerpen
“Tanda”, pemenang lomba cerpen tingkat umum Se-Jawa Tengah Gelar Budaya Teater
Semut Kendal, 2010; Antologi Cerpen Joglo 11 “Tatapan Mata Boneka”, Taman
Budaya Jawa Tengah, 2011; Antologi Cerpen Bersama IKIP PGRI Semarang,
“Perempuan Bersayap di Kota Seba”, KIAS IKIP PGRI Semarang, 2011; Email: naka_andrianez@yahoo.co.id; HP 085290066710;
Komentar
Posting Komentar