Sepatu Bot dari Tuhan

Sepatu Bot dari Tuhan
Hanya orang yang melampaui batas kewarasan yang akan melakukan itu. Memasang badan dan menantang serangan puluhan buldozer yang memang disiapkan untuk merobohkan semua tanaman yang hidup di areal persawahan dan kebun itu. Meratakannya. Lalu, beberapa bulan kemudian akan ditanami dinding-dinding beton. Semua sudah disiapkan dengan matang. Begitu rapi. Tak ada alasan lagi untuk menolak. Percuma saja melawan. Hanya orang sinting yang melakukan itu. Hanya dia, Sanip!
Kasihan ia. Lelaki tua yang kehilangan kehormatannya di hadapan keluarga besar Eyang Broto, seorang tuan tanah yang kaya raya di zamannya.

“Sudahlah, Kang. Jual saja tanah itu. Serahkan saja pada mereka. Tak ada gunanya ngotot,” kata Markum, adik kandung Sanip yang sekarang memilih menjadi seorang Pegawai Negeri pada sebuah kantor pemerintahan. Ia telah lama meninggalkan sawah, menyerahkan lahannya kepada Sanip, tepatnya menjualnya kepada Sanip.
“Sekali tidak, ya tidak! Mau diberi makan apa anak sama istriku kalau tanah itu aku jual?”
Mendengar kata-kata Sanip, Markum tertunduk diam. Markum tahu tabiat Sanip. Ia paling tidak bisa meninggalkan lahan persawahan. Bahkan dulu ketika Markum membujuk agar Sanip ikut ngantor pada kantor dinas Markum, selepas Sanip lulus kuliah, hanya dibalas dengan senyuman.
“Tanah itu, Kum. Tanah itulah yang selama ini memberi kami kesempatan untuk bertahan hidup di desa ini. Tanah itu bukan hanya warisan Rama kita, tetapi juga titipan Gusti Allah, Kum. Itu amanat, Kum.”
“Sampeyan itu loh, Kang, kayak nabi saja. Pakai bawa nama Gusti Allah segala?!” sergah Markum.
“Karena aku masih punya iman, Kum!” meski nada ucapan Sanip datar, kata-kata itu diucapkannya mantap. Tatapannya tajam ke arah mata Markum. Seolah menelanjangi sanubari Markum. “Assalamu’alaikum,” Sanip berlalu dari hadapan Markum.
“Wa’alaikumsalam.”

Di desa ini hanya dia, Sanip. Orang yang paling berani menentang megaproyek itu. Aparat kelurahan pun sampai kewalahan mengurusi kemauan keras Sanip. Bahkan, Pak Lurah sudah kehabisan akal untuk membujuk Sanip. Yang menyulitkan lagi, lahan sawah milik Sanip rupanya berada tepat di tengah-tengah areal megaproyek yang direncanakan. Padahal, seluruh lahan di sekeliling tanah milik Sanip sudah dijual dan diserahkan pada pemilik proyek. Katanya, seorang pengusaha asing yang punya koneksi dengan konglomerat negeri ini..
“Pak Sanip, saya harap sampeyan memikirkannya lagi masak-masak. Pembangunan proyek ini punya tujuan baik bagi warga desa kita. Coba sampeyan saksikan, sudah berapa banyak anak muda di desa ini yang menganggur. Bahkan, mereka memilih pergi meninggalkan desa, ke kota. Apalagi, jarang dari mereka yang muda-muda ini mau menggarap lahan sawah lagi. Proyek ini tentunya akan menyerap tenaga kerja yang luar biasa besar jumlahnya. Jadi, para orang tua sudah tidak perlu lagi khawatir dengan masa depan anak-anak mereka,” kata Pak Lurah.
“Justru karena saya berpikir, Pak Lurah, makanya saya tidak mau menjual tanah itu. Saya ingin mengajari anak-anak saya tidak malu menggarap sawah. Kalau Bapak tadi bilang, banyak anak-anak muda desa ini yang tidak mau menggarap sawah, mbok dicari tahu dulu apa masalahnya? Lantas apa yang seharusnya dilakukan oleh Bapak sebagai Lurah. Bukan lantas menjual tanah ini kepada mereka yang datang ke sini dengan tujuan yang tidak jelas itu, Pak,” jawab Sanip.
“Kami sudah berusaha, Pak. Sudah. Tetapi….”
“Tetapi selalu tak ada hasil? Begitu?! Apa Bapak sudah lupa, dulu Bapak bisa sekolah tinggi sampai bisa menjadi lurah itu darimana duitnya? Saya kenal betul dengan almarhum ayah dari Pak Lurah. Beliau sangat tekun menggarap sawah.”
“Mak…maksud….”
“Saya ngerti Pak Lurah. Saya ngerti. Bapak akan mengatakan, zaman sudah berubah sekarang. Sawah sudah tidak bisa diandalkan. Begitu?”
“Bukan begitu maksud saya.”
“Lantas apa?”
“Ini masalah serius, Pak. Sangat kompleks,” sebentar Pak Lurah menghela napas. Menata kembali kata-kata yang ingin diluncurkannya agar Sanip percaya padanya. “Saya sendiri tidak bisa menjelaskannya.”
“Kalau tidak bisa menjelaskan dengan baik, kenapa proyek itu harus Bapak terima?”
Sanip menatap Pak Lurah dalam-dalam. Itu membuat Pak Lurah semakin terpojok.
“Bisa Bapak jelaskan?”
“Sudahlah, Pak Sanip. Sampeyan jangan membuat saya bertambah bingung.”
“Maksud Pak Lurah?”
“Hari ini saya harus melapor ke Pak Bupati.”
“Soal saya?”
“Soal perkembangan rencana megaproyek itu, Pak.” Sebatang rokok disumatnya. Satu kepulan pertamanya menutupi hampir seluruh wajah Pak Lurah, “Jadi, tolong bantu saya Pak. Saya sudah menganggap sampeyan sebagai orang tua sendiri sejak Rama meninggal.Sampeyan sudah memberi saya keteladanan tentang bagaimana memahami dan mengisi kehidupan.”
Ucapan Pak Lurah hampir saja melunakkan hati Sanip. Tetapi, ia tak lekas berubah pikiran, “Kalau begitu, katakan saja pada Pak Bupati, Saniplah orang yang mustinya ia cari. S a n i p !”

Sanip memang tidak pernah berusaha menghasut orang-orang kampung. Ia hanya melakukan apa yang dianggapnya perlu dibela. Bukan apa yang ia anggap sebagai kebenaran. Ia hanya melakukan darmanya. Kalaupun tak ada yang mendukungnya, itu bukanlah soal. Karena ia sadar, ia bukanlah seorang politisi yang butuh dukungan untuk sebuah kedudukan atau pembenaran atas apa yang ia lakukan. Itulah kenapa orang-orang desa menganggap langkah Sanip kali ini adalah sebuah kebodohan.
“Pakdhe Sanip, apa sampeyan nggak takut kalau nanti ditembak kayak di tivi-tivi itu?” tanya Tukijan.
“Iya Dhe, di tivi-tivi itu lagi rame loh penembakan warga hanya karena rebutan lahan!” timpal Sugondo.
“Saya tidak merebut lahan! Saya hanya mempertahankan apa yang saya punyai dan dititipkan Gusti Allah pada saya.”
“Wah, Pakdhe Sanip ini sudah seperti Pak Kiai omongannya! Padahal sawahnya Pak Kiai juga dijual loh Dhe. Cuma tanahnya njenengan saja yang belum,” seloroh Tukijan.
“Mendingan kalian urusi saja urusan kalian. Jangan ngurusi orang lain!”
Keduanya tertawa cekikian mendengar ucapan Sanip. “Pakdhe, apa Pakdhe lupa kalau sikap Pakdhe itu sudah mengganggu urusan orang banyak? Coba kalau Pakdhe segera menjual tanah itu, pasti proyek itu akan segera dibangun dan otomatis kami-kami yang muda ini bisa langsung ikut kerja. Ya to, Jan?” kata Sugondo.
Keduanya lantas saling pandang. Tatapan mereka menyiratkan ejekan. Sanip tak menghiraukan apa yang ia saksikan.
“Tak ada gunanya ngomong sama kalian.” Gerutu Sanip.
Lama-lama ejekan itu kian banyak berlontaran. Menghujam Sanip.

Buldozer itu kian dekat. Tubuh Sanip tetap tegap. Menantang. Orang-orang proyek dibuat kebingungan. Pono, sang mandor proyek itu pun kelimpungan. Mondar-mandir dengan handphone yang terus ditempelkan pada daun telinga kanannya.
“Saya harus bagaimana, Bos? Si tua bangka itu susah diajak ngomong!” kata Pono.
“Sikat saja!” suara dari balik handphone itu terdengar keras.
“Waduh, nggak berani, Bos!”
”Lantas apa kerjanya aparat? Aku sudah mahal-mahal bayar mereka!” bentak si pemilik suara dari balik handphone Pono terdengar bertambah keras. Hampir-hampir mengalahkan suara bising mesin buldozer.
“Iya Bos! Saya akan urus mereka.” Handphone Pono ditutup. Pono melangkah mendekati komandan pasukan.
“Ada pesan dari Bos,” kata Pono.
Si komandan mengangguk. Tanpa ba-bi-bu, sebuah kode diarahkan pada mereka, pasukan keamanan. Pelan mereka mendekati Sanip.
“Bapak sebaiknya tidak melawan. Kami hanya menjalankan tugas,” kata salah seorang aparat kemanan itu.
“Siapa yang memberi kalian tugas? Atas nama siapa?!” gertak Sanip.
“Kami hanya menjalankan perintah, Pak.”
“Perintah negara atau perintah siapa?”
Pertanyaan Sanip kali ini terbiarkan begitu saja. Tak ada jawaban.
“Kalau memang perintah negara, negara yang mana?”
“Bapak sebaiknya bekerjasama dengan kami, Pak. Kami tidak ingin menyakiti Bapak. Kami hanya ingin mengamankan Bapak. Percayalah!”
“Kalau kalian tidak ingin menyakiti saya, pernahkah dalam benak kalian terpikir, seorang bapak tua seperti saya haruskah menangisi tanah sawahnya karena tak ada lagi anak-anaknya yang mau menggarap sawah? Bisakah kalian menyembuhkan sakit hati saya?”
“Maaf Pak, kami tak punya waktu. Kami harus membawa Bapak. Mengamankan Bapak.”
‘Selalu ada waktu, nak. Kalian masih cukup muda. Berpikirlah. Bukan begini caranya membangun bangsa. Hanya manut pada perintah sementara siapa yang memberi perintah tak jua jelas. Ayo, anak muda berpikirlah!’—ucap lirih Sanip dalam hati—“Duh Gusti, apa tidak salah telinga renta saya ini mendengar kata itu? Mengamankan? Mengamankan? Apakah saya ini seorang teroris, perampok, atau bahkan pemberontak yang harus diamankan? Jagad sudah kebalik-balik!”
“Tenang Pak, tenang. Kami mohon Bapak tenang. Kami hanya menjalankan perintah. Jadi,…”
“Bagaimana saya harus tenang? Sementara sawah saya, sawah mereka, dan sawah-sawah yang lain terus saja diusik?! Mati-matian kami selalu kerjar-kejar tikus, eh muncul tikus yang lebih besar, tikus raksasa, tikus yang lebih ganas!? Apa tidak ada cara lain untuk membangun? Kalian, anak-anak muda, yang dipelihara oleh negara, seharusnya kalian tanyakan itu pada mereka. Ya, mereka yang duduk di atas singgasana. Tanyakan itu!”
“Kami ke sini dengan niat baik, Pak. Tenang….tenang.”
“Kebaikan? Kebaikan buat siapa? Buat kami, atau buat mereka? Atau buat kalian?”
“Tolong, Pak, jangan bikin suasana semakin panik.”
“Merekalah yang membuat panik, anak muda. Kalian bacalah! Baca! Ini negara nenek moyangmu! Bukan negara mereka! Ini tanah sawah kakek buyutmu! Kenapa tak kau bela?!”
“Pak Sanip, kami datang ke sini dengan baik-baik. Kami ngajak bicara Pak Sanip juga dengan baik-baik. Tolong sekali lagi, Pak Sanip jangan memaksa kami bertindak keras pada Bapak!”
“Silakan!”
“Baiklah kalau begitu. Pasukan!”
“Siap, ndan!”
“Paksa dia sekarang juga!”
“Siap! Laksanakan!”
“Tunggu!”
“Tahan!”
“Sebelum saya kalian bawa, ada satu permintaan.”
“Jangan membuat kami menunggu lagi, Pak Sanip!” pelan tangan kanan Sanip membuka buntalan karung goni yang ia bawa dari rumah. Dikeluarkannya sepasang sepatu bot usang.
Diangkatnya kini sepatu usang itu tinggi-tinggi, sembari berucap, “Ini adalah sepatu bot almarhum ayah saya. Inilah saksi bisu. Sepatu bot ini begitu lama dan setia menemani ayah saya. Bahkan, sepatu inilah yang membawa ayah saya maju ke medan perang. Lantas, setelah perang usai, ayah saya memilih mundur dari barisan tentara. Baginya, tugas untuk memerdekakan negeri ini telah dilunasi. Dan generasi berikutnyalah yang harus mengisinya. Sejak saat itu, ayah saya memakai sepatu perangnya untuk menggarap sawahnya. Ya, di sini. Sawah ini. Dan dia katakan pada saya waktu itu—Inilah iman seorang pejuang! Pantang menyerah! Pantang merendahkan martabat! Medan perang boleh saja disudahi! Senjata boleh saja ditanggalkan! Tetapi medan perjuangan harus terus digulirkan, agar hidup terus bergerak bagai ombak di tengah samudera! Hidup harus bermakna! Tanah ini harus dipertahankan! Tanah ini harus dibela! Agar kelak anak cucumu tidak lupa diri!—Karenanya, izinkan saya memberi penghormatan terakhir pada sepatu ini, anak muda.”
Pelan-pelan Sanip meletakkan sepasang sepatu itu di sisi kanan kedua lututnya yang menempel pada tanah. Diambilnya beberapa kepal tanah, lalu dibuatnya gundukan kecil di atas galengan sawah. Kini, tangan kanannya meraih bendera plastik dari saku bajunya, kemudian ditancapkan bersama sebilah bambu kecil tepat di tengah-tengah kedua sepatu itu. Sanip berdiri dengan sikap sempurna. Menghormat pada bendera merah putih, sembari menyanyikan lagu Indonesia Raya, Bagimu Negeri, Syukur, dan Gugur Bunga.
Setelah semua selesai, Sanip kembali melutut, lalu menunduk, dan mencium sepasang sepatu itu. “Maafkan saya, Rama.”

::.
@kang riboet bilang#ributachwandi159@yahoo.com 

Komentar