‘Kekuatan’ Media Alternatif: Sastra


Oleh: Setia Naka Andrian1
Ditulis sebagai modal kecil dalam Parade Obrolan Sastra IV2 18 Mei 2011
(ditulis kembali untuk Plataran Sastra Kaliwungu `PSK` Kendal)

Media, sering akrab di telinga kita sebagai sebuah jalan, penghubung, perantara, saluran, kendaraan, alat, instrumen, organ, peranti, perangkat, sarana, ataupun wahana. Melalui media seseorang akan ditemukan oleh orang lain. Bukan berharap untuk dikenal, namun dapat dikatakan setidaknya seseorang akan ‘kenal’ dengan sesamanya. Saling bersetubuh lewat proses kreatif yang diharapkan dapat berkesinambungan. Sebagai wujud pertemuan ketika seseorang tidak dapat bertatap muka secara langsung (pertemuan tubuh).
Memang pada jaman sekarang banyak di antara kita yang beranggapan bahwa persoalan media telah rampung dan tidak menjadi masalah lagi. Ketika semua telah terbuka lebar di depan mata kita, hingga dapat dikatakan telah menusuk-nusuk serta memaksa kelopak mata kita untuk selalu membuka setiap saat, kapan pun bila kita mau. Maka jika kita lengah sedikit saja, barang kali kita akan ketinggalan, bahkan tidak akan menemukan dan tidak mendapatkan apa-apa.
Lalu seperti apa media alternatif yang dimaksud? Apakah seperti dukun? Warung lesehan? Benar, hemat saya seperti itu. Seperti halnya dukun sebagai pilihan lain ketika tidak mampu berobat ke dokter, ketika memilih warung lesehan jika tidak sempat ada uang lebih untuk bertaruh makan di restoran.
Sehingga dapat dikatakan bahwa media alternatif, khususnya pada media sastra, dapat digaris sebagai jalan lain ketika kita belum mampu menciptakan media dengan label tangguh. Juga merupakan sebuah jalan lain ketika kita belum sanggup menembus atau menemukan media yang lebih mapan untuk menampung ide serta proses kreatif kita. Maka ya inilah, jalan lain sebelum karya kita dicap andal oleh orang lain/ media yang kredibel, teruji.
Namun pada kenyataannya media alternatif (kurang) begitu dilirik oleh khalayak. Banyak yang memandang sebelah mata dan mengucap separuh bibir saja. Saya berani mengatakan seperti ini karena setidaknya, lebih atau kurangnya saya telah sedikit membuktikan. Dapat dikatakan telah sedikit bersinggungan dengan media alternatif selama tiga tahun berjalan ini. Walaupun ada kalanya banyak juga dari beberapa penulis yang dibilang tangguh telah turut serta menyumbangkan karya dan pemikirannya dalam media alternatif tersebut. Saya pribadi angkat topi terhadapnya.
Namun saya pun masih beranggapan bahwa yang saya lakukan tersebut adalah hal yang masih sangat jauh dari sempurna. Sejauh ini masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan, mungkin juga teman-teman seperjuangan saya akan beranggapan seperti itu. Setiap bulan mengelola buletin yang benar-benar dikelola dengan dana pribadi, rela memotong uang saku dan menghabiskan waktu demi penerbitan buletin itu. Karena beberapa buletin yang bersinggungan dengan saya tersebut merupakan buletin indie, dengan segala sesuatu yang hampir dilakukan oleh diri sendiri. Ditulis sendiri, disebarkan sendiri, lalu hingga akhirnya dibaca sendiri. Benar-benar onani. Haha. Pendek kata seperti itu, walaupun juga banyak yang turut simpati dengan media yang saya kelola, maksudnya kami. Karena mau tidak mau, tidak hanya saya yang mengelola, namun ada beberapa kawan lain yang turut membantu serta menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk menjadi orang gila. Tidak digaji, juga tidak menggaji, namun memotong gaji pribadi. Hehe.
Buletin/ media alternatif tersebut merupakan bentuk media komunikasi bidang seni, budaya dan lain-lain. Sebuah zine yang banyak dianggap sebagai salah satu bentuk propaganda kiri, komunis, atheis dan lain-lain. Sebenarnya zine tidak seburuk dan sepicik stereotipe demikian. Karena seringnya dijatuhi dengan bertubi prasangka negatif terhadap segala sesuatu yang dilakukan dalam pengelolaan zine tersebut. Karena zine pun memiliki isi dan bentuk yang beragam dalam setiap terbitannya. Media tersebut berbentuk cetak, namun biasanya cetakan hanya dalam bentuk fotokopian. Karena memang media tersebut pengelolaannya masih sangat minim dana. Sejalan dengan itu, maka banyak orang menamakan media tersebut  sebagai media alternatif.
Slanjutnya, dilihat dari sebutan/ namanya. Nama ‘zine’ diambil sebagai kependekan dari fanzine dan berasal dari potongan ‘magazine’ (majalah). Berupa format hard copy yang lebih mirip dengan news letter/ buletin kecil. Dengan cetakan terbatas dan melalui ruang lingkup yang terbatas pula. Namun akhir-akhir ini telah marak berkembang, menyebar dan mengakar melalui internet, baik melalui jejaring facebook, juga dapat diunduh/ download dengan mudah, cepat dan praktis, tanpa harus bersusah untuk mengirim dalam bentuk hard copy. Tinggal klik saja, maka akan didapat sama persis, terkadang malah lebih bagus, tidak buram, bahkan berwarna.
Biasanya media ini tujuan publikasinya untuk berbagi informasi dan ide-ide ringan saja. Sehingga seringnya dijual murah (sekadar balik modal pengelolanya), atau bahkan digratiskan. Namun sebenarnya memiliki konsep yang hampir mirip dengan majalah. Hanya saja pengorganisasiannya tidak wajib untuk dilakukan secara profesional. Isi dan format terbitan tidak harus selalu sama, tidak terlalu dikejar deadline karena dipublikasikan kapanpun sesuai kehendak pengelolanya, atau setidaknya melihat situasi dan kondisi yang tepat. Jumlah cetakan pun biasanya disesuaikan dengan isi kantong pengelolanya. Karena memang pada kenyataannya lebih efisien jika dicetak, setidaknya sekadar dengan fotokopi.
Sehingga dapat digariskan bahwa zine merupakan media lain yang terlahir ketika seseorang atau komunitas tertentu yang ingin menciptakan sarana baru demi kelangsungan proses kreatifnya. Biasanya dilakukan oleh para mahasiswa dan beberapa komunitas tertentu yang kurang sepakat dengan kebijakan dalam sistem dari lembaga tertentu. Karena bisanya zine terlahir bersamaan dengan budaya perlawanan. Sebuah media bebas yang tidak begitu membutuhkan keahlian tertentu dalam pengelolaannya. Diciptakan oleh komunitas penggemar hal-hal tertentu yang sangat jarang ditemukan di ruang masyarakat pada umumnya. Terlahir sebagai media yang memiliki kebebasan penuh dalam memproduksi maupun berkreasi.
Sedikit cerita tentang beberapa media alternatif yang sempat saya kerjakan hingga saat ini. Ketika pertama dengan Buletin Lembah Kelelawar3, mulai terbentuk pada Agustus 2009. Digagas oleh beberapa kawan seperjuangan, saya sebutkan, di antaranya Sulung Pamanggih dan Widyanuari Eko Putra. Kemudian kami merangkul beberapa kawan lagi ketika merasa perlu menebarkan virus gila ini, yang sempat bersinggungan di antaranya Ibrahim, Ucup Endro Kumoro, Maftuhah dan Fitriyani. Ketika itu kami sempat gila-gilaan dalam penyebaran buletin tersebut, untuk pertahanan pengelolaan serta sambung nafas kami sempatkan dan paksakan untuk memasuki kelas kuliah di kampus. Kami membacakan puisi atau cerpen yang ada dalam buletin, lalu menjual buletin tersebut kepada para mahasiswa dengan harga sewajarnya, bahkan terkadang seikhlasnya. Tidak hanya kepada para mahasiswa saja, kami pun menjual kepada para dosen yang sedang mengajar pada jam kuliah itu. Begitu pula sering kami sebar secara gratis kepada kawan-kawan sesama pecinta sastra dan para seniman. Sungguh, itu yang kami lakukan, bertahan hingga sekitar satu tahun.
Lalu setelah itu saya beranjak menawarkan melalui Buletin Rumah Diksi4 yang saya coba untuk ditiupkan kepada kawan-kawan di Kendal dan sekitarnya. Ketika ada sedikit kemungkinan kecil dari saya untuk pulang ke kampung halaman. Namun hasilnya ya tetap begitu-begitu saja. Malah saya rasa lebih parah sari buletin yang pertama itu. Lalu kalau seperti ini siapa yang akan disalahkan? Yang menciptakan media itu atau kepada siapa pun yang mendengar media itu dan ditunggu untuk berbaik hati berpartisipasi?
Namun apa pun yang terjadi, pekerjaan gila tersebut tetap saya kerjakan, alhamdulillah hingga saat ini masih saya lakukan aktivitas penghilang kejenuhan tersebut. Hingga pada akhirnya beberapa bulan ini saya merangkul dua adik kelas saya dari SMA N 2 Kendal, sekolah yang dulu sempat saya singgahi. Kedua adik kelas tersebut adalah Elisabeth Arum Sri Mulia dan Ruwaida. Memang hal tersebut sebenarnya telah saya rencanakan sejak awal ketika saya bertekad meluncurkan buletin ini. Namun baru setelah beberapa edisi, saya mendapat pencerahan, ketika semua virus gila yang mengidap saya tidak akan berkembang dengan sehat ketika saya belum menularkan kepada orang lain. Begitulah.
Lalu selanjutnya kenapa disebut kekuatan? Apakah terdapat kekuatan dalam media alternatif? Dalam hal ini saya butuh bantuan kepada siapa pun untuk menjawabnya. Tentunya kepada khalayak yang merasa bersimpati dan mengamini media alternatif yang gila seperti ini.
Namun secara bodoh saya, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang kuat dan tidak ada kekuatan yang tersembunyi dari media alternatif tersebut bila tanpa arah dan tujuan yang jelas serta ketepatan dan kesepakatan yang tegas. Saya katakan, semua ini bukan hal yang megah. Bukan hal mewah yang setiap saat dapat dikeruk keuntungan yang serba melimpah. Semua ini terdengar biasa-biasa saja bila tidak dikelola dengan baik. Akan sia-sia bila tidak mampu dipertahankan dan dijalankan secara dinamis. Maka harus tetap bergerak dan selalu minat untuk menemukan. Karena ini semua bukanlah sesuatu yang akan mendapatkan imbalan setiap awal bulan seperti halnya yang diperoleh pegawai negeri. Semua ini adalah pekerjaan yang sangat membutuhkan ekstra kesabaran dan kekuatan. Imbalan pun akan didapatkan entah kapan, belum tahu. Hehe.
Maka kekuatan ya itu, ‘bumerang’. Bila siap amunisi dan jurus tempur maka akan menang. Jika tidak pernah berlatih maka akan lengah dan akan mati sendiri. Sejarah pun tidak akan mencatat apa-apa. Semua ini membutuhkan kawan, butuh relawan untuk sedikit berpartisipasi dan menyumbangkan setidaknya secuil dari semegah proses kreatif khalayak. Yakni dari saudara-saudara sekalian. Maka jangan saling menjatuhkan atau bahkan menendang. Marilah berjabat tangan dan bersetubuh karya. Menciptakan iklim yang jinak dan bertahan dalam dinamisnya. Semoga.
  
1 Penulis adalah koordinator rumah diksi art creative; pengelola buletin rumah diksi; sempat menjadi koordinator komunitas lembah kelelawar; juga mengelola buletin lembah kelelawar; kini dia masih mengabdikan diri sebagai kacung di teater gema ikip pgri semarang walaupun telah lulus kuliahnya di ikip pgri semarang.
facebook/ email: naka_andrianez@yahoo.co.id HP: 085290066710. mengelola  blog: http://www.panembramapicisan.blogspot.com; http://www.rumahdiksibuletin.blogspot.com; http://www.komunitassastralembahkelelawar.blogspot.com;
2 Sebuah acara rutin setiap tahun yang diselenggarakan oleh Komunitas Lereng Medini, Boja; Milis Apresiasi-Sastra (APSAS); dan Pondok Maos Guyub.
3 Buletin Lembah Kelelawar merupakan sebuah media alternatif sastra yang diterbitkan  oleh Komunitas Lembah Kelelawar, Semarang.
4 Buletin Rumah Diksi merupakan sebuah media alternatif sastra yang diterbitkan tiap bulan oleh Rumah Diksi Art Creative, Desa kertomulyo RT 01/ RW 07, Kec. Brangsong, Kab. Kendal. Jawa Tengah. 51371.

Setia Naka Andrian, lahir dan masih tinggal di Tabag Masjid RT 01/ RW 07, Desa Kertomulyo, Kec. Brangsong, Kab. Kendal, 4 Februari 1989. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, mengabdikan diri sebagai kacung di Teater Gema IKIP PGRI Semarang, Komunitas Sastra Lembah Kelelawar Semarang, Rumah Diksi Art Creative Kendal dan Pembina Lembaga Pers Pelajar (LPP) Majalah Oasis SMA N 2 Kendal. Beberapa puisinya dibukukan dalam antologi bersama “Kursi Yang Malas Menunggu” Taman Budaya Jawa Tengah dan Hysteria, 2010; Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan, Oktober 2010; Antologi puisi tiga tahunan Hysteria dan Dewan Kesenian Semarang “Beternak Penyair”, Penerbit Frame Publishing, Desember 2011. Beberapa cerpennya dibukukan dalam antologi bersama “Bila Bulan Jatuh Cinta” Penerbit Gradasi Semarang, 2009; Kumpulan Cerpen Pemenang Lomba Cipta Cerpen Tingkat Mahasiswa se-Indonesia Bukan Perempuan, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) OBSESI STAIN Purwokerto, Penerbit OBSESI Press – Grafindo, 2010; Antologi Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan, Oktober 2010; antologi cerpen “Tanda”, pemenang lomba cerpen tingkat umum Se-Jawa Tengah Gelar Budaya Teater Semut Kendal, 2010; Antologi Cerpen Joglo 11 “Tatapan Mata Boneka”, Taman Budaya Jawa Tengah, 2011; Antologi Cerpen Bersama IKIP PGRI Semarang, “Perempuan Bersayap di Kota Seba”, KIAS IKIP PGRI Semarang, 2011;


Komentar