Cerpen Abdul Muis*
https://www.facebook.com/photo?fbid=10205991145564500&set=a.10205990599350845 |
Mimpi yang paling aku
benci itu masih saja mendatangi malam-malamku. Mimpi itu seperti kembali
mencabik-cabik hatiku. Merenggut masa laluku. Menyiksa dan ingin membunuhku.
Mimpi yang tak pernah kurindu hadirnya selalu menjadi hantu di malam-malamku.
Malam ini mimpi itu datang
dan menghantuiku lagi. Belum usai mimpi itu menakutiku, alarm ponsel telah
menolongku keluar dari malam jahanam penuh siksa itu.
Tanganku meraba ponsel
yang masih berbunyi. Aku lihat waktu di layarnya. Masih jam tiga. Aku matikan
alarm sembari memulihkan sadar.
Entah siapa yang pernah
mengatakan, aku sudah lupa; Mimpi di sepertiga akhir malam seperti ini bukan
sekadar bunga tidur. Bukan kembangnya orang lelah. Mimpi yang datang sebelum
fajar adalah isyarat pada hidup nyata yang dilakoni. Tapi mimpi yang baru saja
aku alami di sepertiga akhir malam semacam itu adalah mimpi buruk yang harusnya
tak boleh mampir lagi dalam tidurku.
Sudah bertahun-tahun mimpi
itu hadir. Seperti sebuah cerita yang tak habis-habisnya mimpi itu terus saja
berkunjung.
Sebenarnya aku sudah
melupakan kejadian nyatanya. Aku sudah mengihlaskan semuanya. Tapi sungguh,
mimpi itu terus saja mendatangiku. Mimpi itu terus mengingatkan aku pada
kejadian masa laluku. Sebuah peristiwa yang memalukan. Peristiwa yang
mengiris-iris hatiku. Peristiwa yang sungguh mencabik-cabik segalanya di
diriku.
Setiap mimpi itu datang
aku selalu dibawa ke sebuah waktu ketika aku pertama merasakan kelaliman besar.
Penganiayaan yang membuat masa depanku remuk redam. Setiap mimpi itu mendatangi
malamku seperti ada yang bergemuruh dan ingin meledak di dadaku. Melumat
harapan-harapan hidupku yang masih panjang.
Ah, daripada aku mengingat
masa-masa itu, lebih baik aku mengambil air wudhu, shalat tahajud, tadarus dan
berdo’a. Bukankah waktu seperti ini adalah waktu ketika Gusti Allah menyebar
para malaikat untuk membawa rerintih do’a orang-orang gundah seperti aku?
Ya, siapa lagi tempat
berharap selain Gusti Allah untuk menghilangkan kenangan-kenangan buruk yang
terus menghantui hidupku walau hantu itu berupa mimpi. Shalat malam yang masih
terus aku jaga adalah upaya mengusir hantu itu.
Kalau saja kebiasaan sewaktu
aku masih di pesantren dulu tidak aku langgengkan, tentu aku takkan pernah
shalat malam. Tentu aku menjelma manusia pemalas dan akan terus tersiksa karena
mimpi itu. Beruntung aku dulu pernah hidup di pesantren. Di sanalah aku mulai
melanggengkan bangun malam dan menabur do’a. Setidaknya sampai kini. Sampai
malam ini.
***
Kang Muhlisin, lelaki
berkumis tipis itu adalah lurah pondok yang dulu paling aku benci. Aku dengar
dia sekarang menjadi kyai. Mengasuh pesantren peninggalan abahnya.
Dia dulu selalu
membangunkan kami, para santri dengan sabetan sajadahnya. Bila sajadahnya tidak
mempan membangunkan santri pasti kakinya akan main tendang. Dan akulah santri
satu-satunya yang dianggap melawan gara-gara perlakuannya itu.
Sebenarnya aku tak sengaja
melakukannya. Sampai sekarang aku sendiri tak tahu bagaimana aku bisa
menendangnya. Aku baru tahu setelah aku bangun dan kesadaranku telah pulih.
Kata teman-teman yang
melihat kejadiannya terheran-heran dengan diriku. Saat itu kami, para santri
tidur berhimpitan di bilik pesantren, seperti ikan asin yang ditata berjejer
untuk dijemur. Sebagian teman telah
bangun karena sabetan sajadah Kang Muhlisin telah menyapa.
Dia selalu menyabetkan
sajadahnya ke tubuh para santri sambil mengatakan; ”Bangun, Kang . . . Tahajjud . . . Tahajjud . . . Usir setan-setan
yang bergelayut di mata kalian!”
Waktu giliranku akan
disabet tiba-tiba kaki kiriku menangkis sajadahnya dan kaki kananku spontan menendang
perutnya. Karena Kang Muhlisin tidak siap, dia terjengkang dan tubuhnya
terhempas ke dinding yang terbuat dari papan hingga para santri yang masih
lelap bangun tiba-tiba karena tertindih tubuhnya. Santri dari bilik lain
menghambur ke kamarku mendengar suara gaduh.
”Ada apa ini?” Kang Kasan,
salah satu pengurus pondok mencoba mencari tahu penyebab kegaduhan.
Tak ada yang menjawab.
Semua diam sembari memandang Kang Muhlisin yang berusaha berdiri. Kesadaranku
belum pulih benar waktu itu. Aku lihat Kang Muhlisin segera melangkahkan kaki
menyibak kerumunan. Pergi menuju masjid pesantren.
***
Dingin sekali malam ini.
Padahal hujan sudah lama tak berkunjung ke bumi. Tapi dinginnya melebihi musim
penghujan. Mungkin angin muson telah datang membuat tubuhku gigil karena
terkena air wudhu.
Sepertiga akhir malam
seperti ini adalah malam mustajab untuk para pendo’a. Ya, aku harus terus
melawan dingin seperti aku melawan mimpi-mimpi burukku itu.
Mungkin sudah kebiasaan,
aku selalu mencium sajadah sebelum menggelarnya. Oh, sajadahku sudah mulai bau
karena telah lama tak kucuci. Bau sajadah yang sedikit kecut dan apak seperti
ini adalah bau yang paling aku benci karena mengingatkan aku waktu di pesantren
dulu.
Ya, kami, para santri usai
dibangunkan Kang Muhlisin berduyun menuju masjid pesantren. Tentu dengan
sajadah masing-masing tersampir di pundak. Mereka ada yang berjalan sempoyongan
karena menahan kantuk. Ada juga yang penuh semangat karena harapan do’anya akan
terkabul.
Kami dipersilakan shalat
sunah sendiri-sendiri sampai pukul setengah empat. Para santri ada yang shalat
hanya dua raka’at dan duduk bersila menahan kepalanya agar tetap tegak karena
kantuk masih bergelayut. Ada yang melaksanakan shalat beberapa raka’at kemudian
dzikir beberapa saat, tadarus Al qur’an dan berdo’a penuh khusyuk. Tetapi ada
juga yang datang ke masjid langsung duduk bersila sambil meneruskan tidurnya.
Bila waktu sudah menunjuk
pukul setengah empat, Kang Ahmad mengumandangkan iqamah. Kang Muhlisin selalu
bertindak sebagai imam. Sementara kami,
para santri membentuk barisan sebagai makmum untuk shalat tahajud berjama’ah
menggelar sajadah masing-masing. Hidungku selalu menemu bau sajadah seperti
sajadahku saat ini.
Bau sajadah seperti inilah
yang selalu mendatangi mimpi-mimpiku. Bau yang awalnya begitu aku akrabi tapi
berakhir dengan sebuah peristiwa yang meluluhlantakkan harapanku.
Dulu setelah menendang
Kang Muhlisin aku dipanggil ke kamar pengurus pesantren usai shalat tahajud
berjama’ah. Para pengurus sudah berkumpul. Duduk bersila di lantai. Mereka
menunjukkan tatapan aneh padaku.
”Assalaamu’alaikum . .
.” Aku membuka sapa.
”Wa’alaikum salam . . .”
Jawaban serempak yang datar-datar saja.
”Langsung saja, Kang. Kamu
mau ngaji apa mau jadi jagoan di sini, hah!” suara Kang Muhlisin menghardikku
menahan geram.
”Sss . . . Ssssaya mau
ngaji, Kang . . .”
”Lalu apa maksudmu
menendangku?!”
”Saya tidak sadar, Kang.
Saya mohon ma’af . . .”
”Tak semudah itu kau minta
ma’af. Kau harus menerima takzir. Kau
harus dihukum!”
”Inggih, Kang.”
”Mulai malam ini kau harus
tidur di kamar ini. Kau harus siap melaksanakan segala perintahku!”
”Inggih, Kang.”
Lurah pondok memang
istimewa. Kantor pondok adalah biliknya seorang. Siapa bersalah harus siap
menerima hukuman darinya. Dan orang itu adalah aku.
Setiap malam aku wajib
memijat tubuh Kang Muhlisin. Sewaktu-waktu aku diminta melakukan apapun
perintahnya, aku harus melaksanakan. Makanya aku diharuskan tidur di kamarnya
sewaktu-waktu aku dibutuhkan.
Kadang, baru saja mataku
lelap Kang Muhlisin minta aku merapikan kitab-kitab yang berserakan di
lemarinya. Atau kadang disuruh melipat pakaiannya. Tentu, ihlas tidak ihlas aku
harus melakukannya.
Setidaknya
itulah hukuman ringan yang menggoreskan kenangan di hidupku. Tetapi mimpi buruk
itu selalu saja datang padaku karena hukuman terberat yang terus aku terima
dari Kang Muhlisin. Ya, hukuman paling
berat yang harus aku terima adalah tidur di samping Kang Muhlisin di atas
sajadahnya yang telah bau, persis bau apak sajadahku sekarang ini. Dan
mimpi-mimpi yang menghantuiku adalah mimpi tentang bau sajadah milik Kang
Muhlisin.
Dulu tidurku bukan sekadar tidur melepas lelah untuk menyambut sepertiga akhir malam. Dalam kamar yang gelap, aku diharuskan tidur bersama Kang Muhlisin dalam satu sarung dan pasrah di pelukannya di atas sajadah apaknya.
Kendal, 2020
*Juara I Lomba Menulis Cerpen Peringatan Hari Santri Tahun 2020
Pelataran Sastra Kaliwungu, 22 Oktober 2020
Nama : Abdul Muis
TTL : Kendal, 07
November 1986
Alamat : Margosari, RT
01/03, Kec. Patebon, Kab. Kendal
No. WA : 087700531478
Komentar
Posting Komentar