TEROBOSAN
Oleh Mudjahirin
Thohir
KATA “menerobos” (Jawa: nrobos) dan “terobosan”, meski secara morfologis berasal dari akar kata yang sama, terobos, secara semantis, memiliki makna yang sangat berbeda.
Menerobos dalam
konteks tertentu misalnya pada saat ibu-ibu sedang antre beras, menunjuk pada
perilaku tidak tahu aturan. Tidak etis.
Jika orang seperti
ini orang biasa, bahkan “orang udik”, bisa jadi karena “kurang makan
sekolahan”. Menghadapi kelakuan seperti itu, orang-orang yang tekun antre yang
dirugikan lantas mengolok-ngolok lewat ungkapan yang tidak mengenakkan
pendengaran.
Mental menerobos bisa
juga terjadi saat orang harus antre menunggu giliran, misalnya pelayanan
membayar pajak kendaraan. Ada saja orang yang tiba-tiba datang, minta
didahulukan. Boleh jadi orang itu mengaku utusan pejabat tinggi. Orang itu,
dalam ungkapan Jawa, berkategori nggolek menange dewe. Mereka berperilaku
begitu bisa karena merasa bukan orang biasa, alias “orang terhormat”, tetapi
bertindak tidak terhormat.
Dianggap tidak
terhormat karena orang lain yang setia antre, melihat kelakuan orang yang
menerobos itu menjadi sebel, jengkel, bahkan marah. Dalam ungkapan Jawa, orang
sok penting ini beranggapan sing sawenang-wenang rumangsa menang.
Itu berbeda dari
orang yang membuat terobosan. Di dunia gagasan, siapa mampu membuat terobosan
dikenal sebagai orang kreatif. Orang kreatif adalah orang berkemampuan
menemukan celah di balik peraturan, atau kebiasaan yang menghambat,
membelenggu, dan lain-lain.
Orang kreatif melihat
masalah sebagai berkah, dan hambatan sebagai peluang. Intinya, mereka bisa
keluar dari kebuntuan dengan mencari alternatif, sehingga menemukan inovasi
atau kebaruan. Wirausaha yang berhasil biasanya berkemampuan melakukan
terobosan seperti itu.
Lain juga dari kaum
pegawai atau petani. Umumnya pegawai dan orang kantoran tidak kreatif, lebih
memilih bekerja secara regulatif, berjalan sesuai aturan atau petunjuk atasan.
Jika karena alasan itu, lalu menghadapi kebuntuan, banyak pegawai cuma bisa
mengeluh, “Habis bagaimana lagi, aturannya begitu”. Sikap itu menandakan,
umumnya pegawai memilih berada di zona aman. Karena itu, suatu hari, Tri
Rismaharini, walikota Surabaya, harus marah lantaran pegawai bawahannya
berkerja nglelet, tidak kreatif, tidak berani berfikir out of the box, sehingga
merugikan rakyat yang mestinya dilayani secara nyaman.
Mirip pegawai adalah
kaum tani. Kaum tani tradisional umumnya lebih memilih berpikir dan bertindak
sangat konvensional. Lebih memilih mengulang apa yang dilakukan daripada
berinovasi yang hasilnya belum tentu. Beda petani dari pegawai, terletak pada
alasan yang mendasari. Jika pegawai takut salah sekaligus takut pada atasan,
petani takut atas ketidakpastian.
Karena itu, James
Scott, peneliti kaum tani di negara Asia Tenggara seperti Indonesia, menganggap
petani umumnya makhluk tidak rasional. Mengapa? Karena tak berani berubah,
meski kegiatan pertanian mereka tidak menguntungkan secara ekonomi.
***
ADA empat kategori
orang berdasarkan penyikapan mereka terhadap perubahan. Pertama, deterministik.
Pasrah terhadap apa yang terjadi. Mereka yakin hidup dan rezeki sudah diatur
oleh Tuhan Yang Mahasayang. Mereka mengandaikan diri sebagai wayang, sehinga
berposisi seperti apa sepenuhnya ditentukan oleh dalang. Dalang sebagai
metafora Tuhan.
Keuntungan kaum
deterministik, mereka lebih ‘mampu menerima’ kenyataan sebagai takdir. Itulah
kunci bahagia. Petani, kendati miskin, bisa lebih bahagia daripada orang kaya,
apalagi yang berurusan dengan KPK.
Kedua, orang yang
reaktif terhadap perubahan. Sikap reaktif rupanya menjadi ciri umum masyarakat
kita; menanggulangi air bah, saat banjir sudah di depan rumah. Itu mirip
tingkah laku sebagian mahasiswa yang mengajukan istilah the power of kepepet.
Belajar saat besuk ujian. Jika tidak bisa menjawab soal ujian, mungkin karena
berdalil the power of kepepet, mereka menghadapi ujian dengan membuat contekan.
Nah, itu bisa dilihat sebagai mental menerobos. Bukan membuat terobosan.
Ketiga, orang yang
mengantisipasi perubahan dengan terobosan. Istilahnya, orang yang bersiap
payung sebelum hujan.
Keempat, orang yang
menjadi agent perubahan. Mereka tidak bermental sebagaimana umumnya pegawai
yang lebih memilih zona aman. Bukan kelompok petani yang melihat perubahan
sebagai ancaman. Bukan pula mahasiswa yang mengantisipasi perubahan dengan cara
mempersiapkan diri memilih jurusan atau fakultas yang memungkinkan mudah
mendapat pekerjaan. Mereka, orang yang proaktif terhadap perubahan, karena
menjadi figur yang melahirkan perubahan dengan membuat terobosan-terobosan.
Orang yang proaktif melahirkan perubahan umumnya punya semboyan hidup yang
kuat, seperti from Nothing to something; from zero to hero. Mirip semboyan
Chairul Tanjung, si Anak Singkong yang terlanjur masyhur. (44)
SUARA
MERDEKA MINGGU 28 JANUARI Halaman 6
Kolom Gayeng Semarang
Komentar
Posting Komentar