https://web.facebook.com/photo.php?fbid=10203309062394097&set=a.3360612580892.2128417.1436371894&type=3&theater karya : Taufiiq https://web.facebook.com/taufikuredish |
Aku tergopoh
membuka pintu dan mempersilakan dia masuk. Sebelum duduk, laki-laki bertubuh
jangkung itu bertanya keberadaan bapak. Belum pula aku sempat menjawab, bapak
sudah keluar dari kamarnya. Tubuh bapak belum sepenuhnya ditelan kursi, namun
Engku Jakfar langsung berbicara
dengan suara tinggi.
“Azwar dan
Salim mati dibunuh orang tiga malam yang
lalu.”
Bapak
mengangkat wajah. Semburat pasi tampak benar di pipinya. “Inalillahi
...siapa yang membunuh mereka, Kak?” tanya bapak kaget.
“Aku tak tahu. Tapi kudengar orang-orang itu sedang memburu semua
teman-temanmu, dan tak menutup kemungkinan mereka juga sedang memburumu.”
Perlahan
kusandarkan tubuh di pintu dapur, duduk memeluk lutut dan mencuri dengar
percakapan bapak dan
Engku Jakfar. Bapak terlihat
gelisah. Ada
kabut ketakutan yang berarak di wajahnya. Rasa ingin tahu yang berdiam di
hatiku berubah menjadi gigil tak berkesudahan ketika Engku Jakfar melanjutkan kata-katanya.
“Mayat mereka ditemukan di
tepi jalan seperti hewan tak bertuan.”
Kata-kata itu
membalurkan dingin ke tengkukku. Aku tidak tahu apa hubungan cerita menakutkan
itu dengan bapak. Membayangkan bapak diburu oleh orang-orang yang disebut Engku
Jakfar, dan berakhir di tepi jalan dengan tubuh menjadi mayat, membuatku ingin
menangis.
Sejak kematian
ibu setahun yang lalu, hanya bapak yang tertinggal
dalam hidupku. Kematian ibu telah menciptakan jurang pemisah antara bapak dan
keluarga ibu. Tidak ada keluarga ibu yang menyukai bapak. Mereka bersepakat
bahwa penyebab kematian ibu adalah bapak. Bahkan yang paling kuingat adalah
kata-kata Engku Jakfar saat jasad ibu akan dimasukkan ke liang makam. Tangan
bapak haram menyentuh jasad ibu, demikian hardikan Engku Jakfar.
“Aku berharap kata-kata Kakak tak jadi kenyataan,” kata bapak
pelan. Dia menancapkan kretek ke asbak porselen di atas meja. Meski rokok itu
baru dihisap beberapa hisapan, tapi bapak tetap melumatnya ke dalam asbak. Kegelisahan tampak benar dari
sikapnya.
“Jadi kau akan
menunggu kedatangan mereka,
Umar?”
Bapak
mengangguk lemah.
“Kau tak
mendengar kabar itu? Banyak jamaah dan pemimpin aliran sesat yang kaubela mati-matian itu diusir dari
kampung-kampung, bahkan yang keras kepala pun sudah banyak yang dibantai. Kau
juga mau mati seperti mereka?” tanya Engku Jakfar sinis.
“Aku tidak
berbuat salah... “ jawab bapak dengan suara gemetar.
“Kau salah
karena masuk aliran sesat itu dan coba-coba menyebarkannya di kampung ini!”
kata Engku Jakfar keras. “Hal itu juga yang membuat adikku mati. Dia tertekan
oleh pilihanmu.”
“Kematian Yati
tak ada hubungannya dengan itu,” sergah bapak membela diri. “Dia mati karena
penyakit. Jangan kau menuduhku sekeji itu, Kak Jakfar.”
“Ah, sudahlah, Umar. Sekarang
pikirkan anakmu itu.” Telunjuk Engku Jakfar menuding lurus ke arahku. “Anak itu
akan kena imbas perbuatanmu. Siapa yang akan merawatnya jika kau mati?”
Bapak menoleh
dan menatapku. Aku bisa merasakan kegundahan pada sorot mata itu. Kegundahan
yang menular padaku. Ketakutan yang tadi muncul di hatiku sekarang membesar dan
berubah menjadi kesedihan. Kulihat mata bapak berkaca-kaca.
“Aku akan
membawanya ke tempat aman. Sisanya biar kuserahkan pada Allah.”
Engku Jakfar
mendengus. “Aku baru tahu kaupercaya Allah. Kupikir sejak bergabung dengan
Azwar dan Salim
itu, kita mempercayai Allah yang berbeda,” sambarnya tajam.
Bapak tersenyum
pahit, “Aku pikir, sebelum aku menjadi suami Yati, kau telah mengenalku, Kak.
Kita berasal dari pondok yang sama. Aku menikahi Yati juga atas restu darimu.”
Engku Jakfar
bangkit dengan tergesa. Dia seperti tak suka mendengar jawaban bapak. “Aku
sudah memperingatkanmu,
Umar. Pergilah selagi ada waktu,” katanya di penghabisan kata.
“Baiklah,
terima kasih sudah peduli pada kami,” jawab bapak seraya mengantar Engku Jakfar
ke ambang pintu.
Dengan gerakan
pelan, bapak menutup pintu. Beliau berbalik dan melangkah lesu ke arahku. Aku
masih duduk dan menatap wajahnya. Kabar yang tadi dibawa Engku Jakfar,
membiakkan banyak pertanyaan di kepalaku. Bapak seperti memahami apa yang
sedang kupikirkan. Beliau duduk di sampingku dan menghela napas berat.
“Jika
sesuatu terjadi padaku, kau harus pergi ke rumah Etek Aisah,” ucap bapak pelan. “Dia akan mengasuhmu.”
“Aliran
sesat itu apa, Pak? Engku tadi bilang kalau bapak masuk aliran sesat,” tanyaku
tak mengerti.
Bapak
diam sesaat. Beliau berdiri dan mengunci semua pintu dan jendela. “Sudahlah.
Cukup kau ingat kata-kataku ini. Jika mereka mengatakan aku orang jahat, jangan
percaya. Aku bapakmu. Aku tidak pernah berbuat jahat pada siapa pun.”
“Mereka
itu siapa?”
Bapak
tidak menjawab. Beliau mengusap kepalaku dengan mata berkaca-kaca. “Nanti kau
akan tahu siapa mereka. Jangan takut, Nak. Kadangkala keimanan buta mampu
membuat orang membunuh antar sesama. Orang-orang itu merasa bahwa bapak sedang menginjak-injak
Tuhan mereka.”
“Aku
tak mengerti, Pak.”
“Kelak
kau akan mengerti. Sekarang, kaucukup percaya bahwa bapak bukan orang jahat.
Kalau nanti orang-orang menyebut bapak jahat, jangan pernah percaya. Hanya
Allah yang tahu rahasia hati manusia.”
Setelah
berkata begitu, bapak beranjak ke kamarnya. Dari daun pintu yang terbuka, aku
melihat bapak menggelar sajadah, lalu duduk bersila. Lamat-lamat terdengar
suaranya mengaji. Namun, kali ini suara itu tak mengalir seperti biasa,
tersendat-sendat seperti sedang menangis. Ketika aku mmendekat, kulihat bapak
sedang mendekap foto ibu.
***
Malam
merambati apa saja dan mencorengkan noda hitam semena-mena. Hutan dipenuhi bisikan. Di bawah kemeridip
sinar bulan, di atas tanah lembap berlapis dedaunan yang membusuk, aku dan
bapak berlari tersaruk-saruk. Sesekali terdengar dengkur babi hutan dan geraman
burung hantu. Tapi bukan itu yang membuat kami terus berlari.
“Larilah
ke arah lain!” kata bapak seraya mendorong bahuku kuat-kuat. Aku menggeleng. Di
belakang kami, puluhan nyala senter bergerak cepat.
“Jangan
membantah!” bentak bapak. “Larilah ke arah lain. Jangan menoleh ke belakang!”
Aku
tak sempat lagi mengucapkan kata, bapak sudah melesat meninggalkanku seorang
diri di tengah kegelapan. Kebimbangan menyerang pikiranku. Aku ingin pergi
sesuai perintah bapak, namun teriakan keras di kejauhan itu membuatku
mengurungkan niat. Itu suara bapak.
Aku
berlari menerabas semak belukar. Aku mengabaikan perintah bapak. Yang menyempal
di pikiranku hanya satu; aku tak ingin bapak mati. Cerita yang sempat kudengar
ketika Engku Jakfar datang pagi tadi, membuat jantungku seperti dipukuli.
Ketika
napas hanya tersisa di ujung bibir, aku sampai ke asal suara. Di balik
kilatan-kilatan cahaya dan kerimbunan semak belukar, samar-samar aku melihat
bapak diseret puluhan orang-orang berbaju hitam. Aku menghambur dan bermaksud
melawan, namun dengan mudah mereka melumpuhkanku. Mereka mencekal lengan dan
menelikungku hingga aku tak berkutik.
Aku
meronta sejadi-jadinya, namun cekalan kuat mereka membuatku tak berdaya.
Orang-orang berbaju hitam itu tak peduli pada rintihan bapak yang meminta agar
aku dilepaskan. Aku tak tahu siapa sesungguhnya mereka dan kenapa mereka
menyiksa bapak. Aku hanya ingat cerita Engku Jakfar, mungkin orang-orang inilah
yang dimaksudkannya tadi pagi.
Selepas
Isya tadi, aku dan bapak pergi meninggalkan rumah. Bapak hanya mengatakan bahwa
malapetaka sudah dekat, kami harus pergi malam itu juga agar selamat. Namun
keputusan itu terlambat, sebab sekelompok orang-orang berbaju hitam lebih dulu
datang dan kami terpaksa berlari ke hutan ini.
Aku melihat bapak berlutut dengan wajah berlumur darah. Aku
ingin sekali menjerit, menendang, meradang—setidak-tidaknya agar aku bisa
menghentikan kekejaman mereka. Namun lidah dan tubuhku membatu.
Tidak ada yang bisa aku lakukan selain terpaku lunglai dalam cengkraman kuat
tangan-tangan mereka.
“Kauingin semua orang masuk neraka!?” bentak salah
satu dari mereka. Di bawah remang sinar bulan, bayang-bayang mereka serupa
gerombolan hantu menakutkan.
Bapak menggeleng. Terang cahaya
senter yang menyorot ke wajahnya, membuat aku bergidik. Wajah bapak lebam dan
darah mengalir di pelipisnya. Aku menggigit bibir kuat-kuat ketika satu
terjangan membuat tubuh bapak terjengkang. Seseorang membangunkannya dengan
kasar.
“Inilah azab untuk orang-orang yang
merusak agama!” hardik mereka.
Tidak ada kata
yang keluar dari mulut bapak, kecuali erangan.
Darah merembes dari sela bibirnya, menetes dan membasahi baju putihnya. Aku melihat
tubuh bapak diseret-seret kembali, kali ini lebih jauh.
Erang lirih terdengar susul menyusul dengan makian yang menggelegar ketika satu-dua tendangan menghantam tulang rusuk bapak.
Tubuhku menggigil, seiring air mata yang makin deras
mengalir. Aku berharap apa yang kulihat hanyalah mimpi. Namun ini bukanlah
mimpi.
Orang-orang berbaju hitam itu
teramat nyata. Sangatlah nyata. Senyata dingin malam dan seamis
darah yang menguar di udara. Darah dari tubuh bapak.
“Dia harus dihabisi. Jika dibiarkan hidup, dia akan
menyesatkan umat!”
“Ya! Itu memang harus dilakukan!”
“Jangan kalian yang melakukan,” sahut suara yang tak
asing di telingaku. Tubuh jangkungnya berdiri tepat di samping bapak.
Bapak menatap sosok itu, dan mengucapkan sesuatu yang
cukup jelas di telingaku. “Tolong jaga anakku ....”
Tiba-tiba
sosok hitam berperawakan jangkung itu berteriak. Dia mengayunkan sebilah parang
ke tengkuk bapak. Teriakan
nyaringnya membuat
burung-burung dan hewan-hewan malam terbang ketakutan. Aku melihat tubuh bapak
roboh. Sekujur tubuhku lumpuh. Aku jatuh berlutut bagai sehelai kain basah.
Sebelum ingatan tercerabut dari kepala, aku melihat sekelebat wajah dalam bias
sinar bulan. Wajah yang berselemong darah. Wajah dingin Engku Jakfar. (*)
TENTANG
PENULIS
Adam Yudhistira (1985) penulis asal Muara Enim, Sumatera
Selatan. Cerita pendek, Cerita Anak, esai, puisi dan ulasan buku yang ditulisnya telah dimuat
di berbagai media
massa cetak dan online, di antaranya: Kompas, Jawapos, Media Indonesia, Fajar
Sumatera, Lampung Post, Riaupos, Padang Ekspres, Suara NTB, Tabloid Cempaka,
Majalah GADIS, Majalah Kartini,basabasi.co, tamanfiksi.com dll. Pada tahun
2014 dan 2015, ia menjadi pemenang
lomba Menulis Kompas Klasika Dongeng Anak Nusantara Bertutur. Pada tahun 2016, ia menjadi Pemenang Lomba Menulis
Cerpen Green Pen Perhutani Award 2016.
Dan di pertengahan 2017, salah satu puisinya menjadi nominator terpilih dalam Krakatau Award dan dibukukan dalam
Antologi Puisi berjudul Secangkir Robusta
(2017). Karya-karyanya juga
banyak terangkum dalam puluhan judul antologi; Kencan Pertama yang memalukan (Moka Media, 2014), Perempuan Terowongan
Ceger, (Grasindo, 2014), Rentak Kuda Manggani, (Diva Press, 2015), Rung Buaya,
(Unsa Press, 2015), Orang Bunian, (Unsa Press, 2016), dll. Buku kumpulan
cerpen terbarunya Ocehan Semut Merah dan Bangkai Seekor Tawon (basabasi, 2017).
Komentar
Posting Komentar