MUSUH-MUSUH PUISI ATAU CARA MENULIS PUISI JELEK

Oleh : Agus R Sarjono

The artist, and particularly the poet, is always an anarchist, and can only listen to the voices that rise up from within his own being, three imperious voices: the voice of Death, with all its presentiments; the voice of Love and the voice of Art.
Federico GarcĂ­a Lorca (1898 - 1936)
Menulis puisi melibatkan banyak hal yang terkadang cukup kompleks: pengalaman, kedalaman, kejujuran, kecerdasan, dan sedikit kegilaan. Apa yang dikemukakan Lorca dalam kutipan di atas banyak benarnya, karena seorang penyair pada dasarnya selalu seorang anarkis karena ia hanya akan mendengar kuasa suara yang tumbuh dan lahir dalam dalam keberadaannya sendiri: suara Kematian, suara Cinta, dan suara Kesenian.
Semua dasar kepenyairan bermuara pada ketrampilan teknis di satu sisi dan wawasan sang penyair di sisi lain. Contoh terbaik untuk ini adalah yang dialami seorang pemusik. Seorang pemusik yang setiap hari melatih keterampilannya bermain musik (piano atau gitar, misalnya) akan memiliki keterampilan teknis yang luar biasa. Namun, jika seumur hidupnya dia hanya mendengar lagu ”Maju Tak Gentar” belaka, maka seluruh keterampilan dan kecanggihannya bermain musik tak akan pergi jauh dari wilayah nada satu-satunya lagu yang dia kenal. Dalam pada itu, seorang pemusik yang menyimak bermacam jenis musik dari ribuan album akan memiliki kekayaan khasanah nada, harmoni, dan sebagainya yang luas. Namun, bila dia tidak pernah berlatih dengan tekun makan seluruh kekayaan wawasan musikalnya tidak akan dapat dipresentasikan dengan baik.
Hal yang sama terjadi pada seorang penyair. Penyair yang baik memiliki ciri yang tetap, yakni jatuh cinta pada puisi. Tanpa jatuh cinta pada puisi maka menjadi penyair adalah mustahil.
Mengingat kompleksitas urusan menjadi penyair dan menulis puisi yahud yang tak mungkin dikemukakan dalam tempo sesingkat-singkatnya seperti proklamasi, maka pada kesempatan ini justru sebaliknyalah yang akan dikemukakan disini, yakni sebab-sebab puisi jelek alias musuh-musuh puisi.
Ada banyak musuh puisi. Tapi karena tak baik terlalu banyak memiliki musuh, maka pada kesempatan ini akan dikemukakan lima buah musuh saja. Jika ingin menambah jumlah musuh, silahkan saja sejauh relevan dengan musuh-musuh yang sudah ada.
Musuh Pertama : Keumuman
Musuh pertama bagi puisi adalah keumuman alias serba umum. Dalam puisi keumuman harus dihindari. seorang penyair yang baik akan menjauh dari unsur umum dan pandangan yang serba umum baik pandangan yang umum mengenai sosial, politik, moral, agama, atau apapun.
Dalam menulis sajak tentang ibu, misalnya, akan bermunculan segera sajak-sajak semacam ini:
Oh ibu, alangkah mulia hatimu
Kau lahirkan dan besarkan aku
Membelai dan memberiku susu
Menuntun anakmu jalani kehidupan
Hingga tercapai cita-citaku.
Jika sajak itu tentang guru, maka lahirlah sajak-sajak semacam ini:
Oh guruku, kau didik aku
Mengajariku berbagai ilmu
Bagi bekal hidupku
Dari matematika sampai ilmu bumi
Kau ajari kami hingga kami mengerti
Apa yang harus kami jalani.
Dalam hidup ini.
Ubahlah temanya menjadi pengemis, maka sajak yang akan muncul adalah:
Wahai pengemis, betapa malang nasibmu
Meminta sesuap nasi setiap hari
tidur beratapkan langit beralaskan bumi
tiada yang peduli.
Dengan sajak semacam ini tak ada seorang ibu, guru, maupun pengemis yang akan terkesan dan tersentuh hatinya. Mengapa? karena sajak-sajak semacam ini berbicara mengenai ibu, guru, dan pengemis yang umum. Maka ibu, guru, maupun pengemis di sini menjadi stereotipe.
Bandingkan dengan sajak mengenai pengemis di bawah ini:
Kalau kau mati gadis kecil berkaleng kecil
kotaku hilang tanpa jiwa
dan bulan di atas sana tiada yang punya
Musuh Kedua: Simplifikasi
Musuh kedua adalah simplifikasi alias penyerhanaan yang banyak hubungannya dengan kebiasaan gebyah uyah. Pada pengalaman sehari-hari saja jika kita renungi akan kita temukan banyak hal menarik dan kadang pelik, apalagi dalam masalah-masalah yang lebih besar dan kompleks.
Contoh di atas, yakni keumuman, masih ada kena-mengenanya dengan simplifikasi. Puisi mengenai ibu, guru, dan pengemis, seringkali ditulis dengan pandangan stereotipe seolah semua ibu, semua guru, semua pengemis adalah sama. Padahal setiap orang memiliki ibu masing-masing yang berbeda-beda baik wajah, kebiasaan, kesenangan, selera akan musik dan warna, makanan kesukaan, cara berjalan, cara marah, cara tersenyum yang berbeda-beda, apalagi watak dan tabiatnya. Begitu juga dengan guru yang berbeda bentuk dan modelnya, berbeda pangkat dan kualifikasinya, berbeda pengalaman dan gaya mengajarnya. Sementara itu, pengemis pun berbeda-beda latar-belakang, alasan jadi pengemis, pengalaman hidup dan sebagainya. Sama sekali tidak sama perasaan pengemis yang habis mendapat uang seratus ribu dari orang yang menang lotre atau pinangannya diterima dengan pengemis yang habis ditendang oleh politisi caleg yang ngamuk dan murang-maring karena tak terpilih oleh rakyat.
Bahkan, tidak jarang pandangan orang atas pacar pun sama. Tidak percaya? Lihat saja sinetron-sinetron kita yang mulia. Padahal, tidak setiap kerinduan sepasang kekasih sama dengan gerak slow motion di pantai dalam rangka untuk saling berpelukan. Marah pun berbeda-beda jenisnya dan tidak selalu membentak-bentak dengan suara meggeledek dan mata terancam keluar dari sarangnya, apalagi sedih yang sangat beragam jenisnya dan tidak selalu harus menangis tersedu-sedu dengan dandanan masih menor.
Simplifikasi lain, misalnya, memandang Barat pastilah semuanya tertib dan cerdas atau sebaliknya barat pastilah semuanya bebas, ngawur, dan membenci agama. Kata barat itu sendiri sudah simplifikasi, karena ada beragam negara dengan beragam budaya dan setiap negara punya penduduk berjuta-juta yang masing-masing manusianya punya pengalaman dan kekhasan sendiri-sendiri.
Musuh Ketiga: Propaganda dan reklame
Propaganda dan reklame adalah musuh ketiga puisi. Jika ingin membuat puisi jadi sesuatu yang ngeri, maka tak ada yang lebih tepat selain menulis puisi dalam semangat propaganda atawa reklame. Propaganda dan reklame seringkali lepas dari hubungan personal dengan manusia. Ia masih berkaitan dengan pemahaman yang serba umum. Kata abstrak dikepalkan ke pembaca untuk menanamkan indoktrinasi.
Ayo pemuda ayo pemudi
Rapatkan barisan membangun negeri
Jangan biarkan jangan diberi
Neokolonialisme mengancam negeri
Dadamu dadaku bagi pertiwi
Atau
Jangan kau tebang pohon
Wahai durjana aku memohon
Biarkan pohonan subur. Ayo kita ganyang
Siapa saja yang berani menebang
Musuh Keempat: Klise atawa janda dan duda kata
Wajahmu cantik bagaikan lukisan
Aku mencintaimu aku menyayangimu
dengan sepenuh hatiku
engkaulah belahan jiwa satu-satunya
hingga akhir hayatku.
Hampir semua pilihan kata dan ungkapan di atas sudah digunakan berkali-kali untuk macam-macam kesempatan. Maka semua ungkapan dan kata di sana sudah menjadi janda dan duda berkali-kali. Sejauh menyangkut hal ini, penyair seyogyanya mencari dan menemukan kata yang masih perawan. Seorang penyair berkewajiban sebagai yang pertama meminang kata atau ungkapan selagi ia masih perawan untuk dijadikan pengantin bagi pengalaman puitiknya. Jikapun ia harus juga berurusan dan menikahi janda kata, sang penyair harus memberinya pelaminan baru dalam konteks pernikahan puitik yang baru.
Untuk urusan yang sama, Pablo Neruda menulis petikan ini:
Sejak aku mengenalmu
Kau tak mirip siapapun
Dalam pada itu, sajak mengenai pengemis atau anak nelayan miskin tidak dapat ditulis berdasar stereotipe dan diusung dengan janda-janda dan duda kata. Apalagi digabung dengan propaganda, slogan, dan reklame. Dengan mengenali baik-baik sosok dan urusan yang akan ditulis dan mengolahnya dengan cara pandang yang khas sesuai kepribadian penyairnya, bisa saja lahir sajak mengenai nelayan seperti ditulis Frederico Garcia Lorca di bawah ini:
Balada Air Garam
Sang laut
senyum di jauhan.
Gigi berbusa.
bibir cakrawala.
‘Apa yang kau jajakan, anak merana,
anak yang telanjang dada?’
‘Tuan, saya berjualan
air garam samudera.’
‘Apa yang kau bawa, anak kelam,
berbaur dengan darahmu?’
‘Tuan, saya membawa
air garam samudera.’
‘Ini asin airmata
datang dari mana, ibu?
‘Tuan, saya menangis
air garam samudera.’
‘Jiwa, pahit yang dalam ini,
dari mana munculnya?’
‘Sungguh pahit,
air garam samudera!’
Sang laut
senyum di jauhan.
Gigi berbusa.
bibir-cakrawala.
Musuh Kelima: Nasehat, Diri Nan Mulia, atawa Takabur
Memberi nasehat selalu beresiko tinggi bagi penyair. Di satu sisi ia dapat dianggap memberikan nilai-nilai moral dan budi pekerti, namun sebenarnya hal ini paradoksal karena sebuah nasehat tidak bisa tidak akan lahir dari andaian bahwa sang pemberi nasehat adalah sosok yang lebih mulia. Anggapan diri sebagai sosok mulia disadari atau tidak adalah sebuah tindakan yang takabur. Di sisi lain puisi semacam ini mengandaikan pembacanya sebagai sosok pendosa yang harus segera bertobat. Pada kenyataannya, sajak-sajak berpetuah jarang berhasil membawa pembaca pada pertobatan dan lebih sering membuat pembaca bosan dan enggan.
Tabahkan hati anda membaca sajak di bawah ini:
Wahai durjana lekaslah bertobat
Tinggalkan semua jalan yang sesat
Tidakkah kau lihat para malaikat
Kan memasukanmu ke neraka laknat.
Dalam sastra, termasuk puisi, nilai-nilai moral akan mencekam pembaca justru saat tidak disemburkan sebagai khotbah dan wejangan melainkan lewat sebuah pengalaman kongkret, baik pengalaman kongkret tokoh tertentu yang dijadikan protagonis suatu puisi maupun dari pengalaman batin aku lirik yang jujur dan manusiawi.
Sampai sekarang, dalam khasanah puisi Indonesia, belum ada sajak ketuhanan yang lebih indah dan mencekam dibanding sajak ”Padamu Jua” Amir Hamzah dan ”Doa” Chairil Anwar. Kebetulan keduanya mewakili pengalaman ketuhanan yang berbeda, yang satu pengalaman seorang mistikus yang saleh seperti Amir Hamzah dan satu lagi pengalaman seorang pendosa seperti Chairil Anwar. Kedua puisi tersebut sama sekali jauh dari pretensi memberi wejangan dan nasehat kepada siapapun. Namun, justru karena itu pembaca dicekam oleh penghayatan moral dan pengalaman ketuhahan yang sublim dan memperkaya batin.
Di tamanku, tak ada yang lebih indah
dari duri di musim bunga,
Tuhan, Hafiz rindu padamu.
Demikian petikan sajak indah Hafiz, seorang sufi besar yang mengandaikan dirinya dan khasanah taman batin dan keimanannya tak lebih dari ranting kering dan duri. Sementara orang lain boleh jadi memposisikan taman batinnya penuh bebungaan mekar aneka warna sembari memberi nasehat orang lain bagaimana tatacara menanam bunga moral agar subur dan sukses. Itu juga sebabnya Haji Hasan Mustapa sufi dan penyair besar dari tatar Sunda meskipun seorang ulama besar, tidak memberi nasehat dari posisi aku yang mulia kepada kaum pendosa, melainkan menulis sajak semacam ini:
Melenggang mencari itu,
ini lagi ini lagi
selama mencari sana
sini lagi sini lagi
selama mencari mana
ini lagi ini lagi.
selama mencari selatan,
utara lagi utara lagi
selama mencari barat
timur lagi timur lagi,
selama mencari ada
tiada lagi tiada lagi.
Mengapa demikian? Para penyair yang telah tinggi pencapaian ruhaninya mafhum bahwa memprosisikan diri sendiri sebagai sosok mulia adalah sebuah tindakan yang tak patut dan mengarah pada takabur. Mereka terlalu tawadhu untuk bertindak seperti itu. Boleh jadi mereka enggan pengalaman pelacur dan ”sang ulama” dalam kisah sufi kembali berulang. Saat itu seorang ”ulama” dengan sorban menjulang memaki-maki seorang pelacur sebagai mahluk hina, durjana, kerak neraka, dan semacamnya. Pelacur itu sambil termangu dengan hati kecut berkata: ”Tuan, benarlah saya seperti yang tuan katakan. Tapi adakah tuan sebagaimana yang tuan bayangkan?”
[Majalah Sastra Horison, Nopember 2010]

Komentar