ZONASI WAKTU DAN IBADAH PUISI DALAM RUANG SENJA


(Sebuah Catatan Kecil atas Antologi Puisi Ruang Senja Karya Cipto Roso)

Oleh M. Lukluk Atsmara Anjaina

Sangat mesra! Barangkali itulah kesan pertama saya disodori naskah Antologi Puisi Ruang Senja karya Cipto Roso, atau yang akrab disapa Kang Cipto. Suatu waktu, ia datang ke KopiSufi dengan beragam ekspektasinya akan komunitas kami, Pelataran Sastra Kaliwungu. Ia datang dan curhat dengan begitu hangat, bagaimana pengalaman pertamanya menerbitkan sebuah karya puisi ke salah satu penerbit indie melalui media massa. Saya ingat betul, saat itu langsung mencoba kroscek melalui beberapa platform, ternyata, Kang Cipto terlibat dalam penerbitan yang menerbitkan secara masal karya penulis-penulis muda secara gratis dengan segala kesepakatan yang telah ditawarkannya. Lantas kami mencoba memberikan gambaran bagaimana sebuah penerbitan bekerja dan proses perputarannya.

Dari pertemuan itulah, kami sangat intens dalam menjalin komunikasi, baik secara langsung dalam sebuah kegiatan maupun secara tidak langsung melalui pesan whatsapp dan Instagram. Hingga akhirnya, dia datang dengan dua naskahnya secara terpisah dan bermaksud menerbitkannya di Pelataran Sastra Kaliwungu. Semangat dan iktikad baiknya dalam menerbitkan buku sangatlah kuat dan begitu menggebu, bermodalkan puisi-puisi yang telah ia tulis dalam kurun waktu yang entah berapa lama, sebab, tidak ada titimangsa yang memberikan petunjuk atas rentang penulisan karya-karyanya itu. Padahal, titimangsa inilah yang cukup penting dalam melihat produktivitas dan perkembangan seseorang dalam berkarya. Saya kemudian membaca puisi-puisi yang telah setengah tertata itu dan mencoba membantu dalam hal tata letak dan editor beberapa kata dan kalimat yang rancu.

Proses penerbitan mengalir begitu saja, hingga akhirnya diadakanlah Peluncuran dan Diskusi Buku pada NgopiSastra#21 yang diselenggarakan PSK hari ini. Saya terpaksa harus mengamini menjadi pendamping Gus Tommy, karena dawuh dan daulat dari guru saya, Presiden PSK, Bahrul Ulum A. Malik. Sebab, saya ingat sebuah syair lama yang intinya: Murid itu wajib taat kepada gurunya, menurut apa yang diperintahkan guru di dalam perkara yang halal, dan wajib ta’dzim (mengagungkan) kepada gurunya. Barangkali dengan demikian, itulah yang menjadi salah satu kunci kesuksesan saya. Wallahu A’lam.

Berbicara mengenai puisi-puisi dalam buku Ruang Senja yang diciptakan oleh Kang Cipto ini, saya menemukan beberapa catatan singkat, sebagai bagian yang barangkali dapat didiskusikan lebih lanjut dan mendalam lagi. Sejujurnya, saya tidak berani menyebutkan diri sebagai pembedah, tetapi lebih kepada pemantik diskusi, sebagai salah satu pembaca yang telah mengkhatamkan Ruang Senja sekaligus editor naskah yang disodorkan Kang Cipto tersebut. Beberapa catatan saya tersebut antara lain perihal bagaimana Kang Cipto membagi puisi-puisinya ke dalam zonasi waktu dan bagaimana Kang Cipto dengan rupa-rupa prosesnya tersebut mengibadahi puisi.

 

Zonasi Waktu dan Jalan Sunyi Mengibadahi Puisi dalam Ruang Senja

Secara sekilas, membuka lembar demi lembar buku Ruang Senja, kita akan dengan cepat menemukan sebuah kunci rahasia dalam menyelami isi dan makna dalam puisi-puisi ruang senja, kunci tersebut adalah zonasi waktu. Kang Cipto dengan sangat gamblang dan jelas membagi puisi-puisinya dalam subbab yang ia ciptakan sendiri: Bangun Pagi, Terbit Matahari, Istiwa, Siang Hari, Waktu Sore, Menjelang Terbenam, Bada Isya, dan Tengah Malam. Barangkali subbab itulah yang akan memudahkan kita dalam menemukan makna dan nilai yang hendak disampaikan Kang Cipto. Saya berprasangka, kang Cipto ini hendak menyampaikan, bahwa di waktu-waktu tersebutlah, ada perintah dan larangan terkait ibadah shalat.

Mengapa demikian? Dengan background santri, tentu hal itu bukanlah tidak mungkin. Selain itu, bagaimana kita masyarakat muslim mengetahui, bagaimana Allah melarang kita untuk menunaikan shalat di waktu terbit dan terbenamnya matahari, persis dengan subbab zonasi waktu yang kang Cipto hadirkan dalam puisinya, Terbit Matahari dan Menjelang Terbenam. Selain itu, subbab lainnya, tentu berkaitan dengan shalat Subuh dalam Bangun Pagi, shalat Dhuhur dalam Istiwa dan Siang Hari, shalat Asar dalam Waktu Sore, shalat sunnah lain dalam Bada Isya dan Tengah Malam, serta beberapa shalat rawatib, yang mengiringi shalat fardhu.

Tentu tidak berhenti pada titik tersebut, kang Cipto mencoba menghadirkan puisi-puisi yang sarat akan waktu-waktu tersebut. Misalnya dalam subbab Bangun Pagi, ia menulis diksi-diksi penuh semangat, energik, dan optimisme dalam puisi-puisi di subbab Bangun Pagi, misalnya pada puisi Jasa dari Kakak berikut: … Saat jiwa yang lugu mulai bangun dengan kekuatan  atau dalam puisi Pilih Lalu Tekan berikut: … Genggam kuat niat yang dibawa dan beberapa frasa lain, yang menunjukkan bagaimana seseorang akrab dengan pagi hari.

Untuk lebih jelasnya kita boleh melihat pada subbab lain, Terbit Matahari misalnya, bagaimana kang Cipto menghadirkan frasa dan diksi yang penuh dengan aktivitas pagi hari ketika mulai ‘bekerja’ dan akrab dengan kita, barangkali. Seperti pada puisi Si Takut Bermain, Menakutkannya Putus Asa. Dari dua judul tersebut dapat kita bedakan, energi yang muncul dalam puisi di Bangun Pagi dengan Terbit Matahari amatsangat berbeda.

Atau barangkali jika kita melihat di subbab Istiwa yang hanya memuat tiga puisi, Di Antara Posisi, Permainan Dunia, dan Di Dunia. Tentu subbab itu terkait dengan waktu Istiwa yang sangat singkat, bukan? Hal-hal serupa itu juga muncul dalam subbab yang lain, Siang Hari berbicar akan suasana romantis dan kebucinan, Waktu Sore sarat akan kemesraan dan memahami diri sendiri, Menjelang Terbenam, Bada Isya, dan Tengah Malam dekat dengan hal-hal yang berkaitan dengan tuhan, spiritual, dan sosial. Kalau kita perhatikan, kang Cipto sudah pasti memahami betul alasan membagi tersebut. Namun, untuk membuka lebih jelas, tentu butuh riset dan pendalaman puisi yang lebih ekstra lagi.

Satu hal yang menjadi catatan adalah kesederhanaannya dalam menuliskan puisi perlu diasah lagi dengan bagaimana ia mampu mengeruk diksi-diksi dan frasa yang lebih intim dan menggambarkan suasana lebih akrab, bukan hanya menulis atas apa yang ada dalam kepalanya. Tapi, sungguh, perlu kita baca berulang-ulang dan menggantinya dengan diksi-diksi yang lebih indah. Intinya adalah jangan malas untuk membaca ulang karya-karya yang telah diciptakan itu. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menemukan frasa dan diksi-diksi itu, yakni dengan banyak membaca puisi-puisi.

 

Sebuah Proses Kreatif: Menumbuhkan Ekosistem Sastra di Dunia Pesantren

Kita tentu tau, bagaimana kehidupan di pesantren yang begitu padat itu, dan rupanya, kang Cipto telah berhasil melawan dirinya sendiri dan lingkungan. Ia melawan dirinya dalam waktu-waktu luang di antara padatnya pendidikan pesantren untuk menuliskan sebuah puisi. Sungguh, saya tidak yakin, ada banyak orang semacam kang Cipto ini di dunia pesantren. Artinya, bahwa ia - kang Cipto, telah menjadi panutan dan contoh yang sangat perlu ditiru oleh kawan-kawannya di pondok pesantren.

Proses kreatif yang dijalankan dalam ruang pesantren patut diacungi jempol dan saya tentu angkat topi atas pencapaiannya itu. Di saat santri lain menghabiskan waktu luangnya untuk istirahat dan sekadar merebahkan tubuhnya, ia mampu menghasilkan puisi-puisi dalam dua buku sekaligus. Saya membayangkan, menemukan banyak orang-orang semacam Cipto dalam dunia pesantren, yang sebenarnya sudah sarat dan dekat dengan syair dan sajak-sajak dalam nadhomannya. Tentu, alangkah lengkapnya suatu pesantren itu.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menumbuhkan ekosistem sastra di dunia pesantren, salah satunya membentuk kurikulum pesantren yang memberikan kebebasan dan ruang para santri dapat mengembangkan bakat dan minatnya dalam dunia sastra, membentuk komunitas atau semacam perkumpulan yang membahas sastra atau kelompok studi sastra tertentu di dunia pesantren. Barangkali, keberhasilan kang Cipto dalam menulis inilah yang dapat menginspirasi pondok pesantren, baik di pesantren tempat kang Cipto maupun pesantren lain dalam menumbuhkan eksosistem sastra. Saya kira, Pelataran Sastra Kaliwungu sangat-sangat mendukung. Terima kasih.

 

*M. Lukluk Atsmara Anjaina, adalah mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Angkatan 2018. Saat ini aktif dalam kegiatan sastra dan pergerakan anak muda. Berkenalan dengan puisi sejak duduk di bangku pendidikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri Brangsong. Puisinya dimuat dalam beberapa antologi bersama. Antologi tunggalnya, Ruh dan Keabadian.


Komentar

Posting Komentar