Cerpen: Pelanggan di Meja Nomor 28

 Pelanggan di Meja Nomor 28

Cerpen Azril Maulana Apandi

          Malam ini malam terakhirku berdiri di atas panggung kafetaria yang baru buka dua bulan lalu. Sebenarnya aku tidak begitu piawai bernyanyi di atas panggung, berbicara di depan kelas pun bahkan belum pernah aku lakukan dan terlebih kalau harus bernyanyi sambil memainkan gitar. Tapi memang inilah pekerjaan yang bisa aku dapatkan tanpa menggunakan ijasah.

Seperti kafetaria pada umumnya, tempat sekarang aku bernyanyi ini tidak pernah begitu ramai seperti pusat-pusat perbelanjaan di kota atau rumah makan yang buka di dekat-dekat sini. Setiap kafetaria di kota ini hampir selalu menghidangkan menu yang sama, menu yang hanya itu-itu saja antara kafetaria yang satu dengan kafetaria yang lain. Mungkin itu sebabnya orang-orang bosan dan malas untuk sekedar datang dan menikmati secangkir kopi di kafetaria.

sumber gambar https://www.facebook.com/taufikuredish 
https://www.facebook.com/photo/?fbid=10205995301108386&set=a.10205990599350845

Meja-meja yang ditata rapi itu lumayan penuh dari biasanya. Dari atas panggung yang cukup tinggi, kulihat banyak sekali di antara mereka yang datang dan duduk sendirian saja: Tidak ada kekasih, ataupun beberapa orang teman yang menemani mereka. Mereka datang sendirian saja ke kafetaria dengan membawa kesenduan masing-masing yang nampaknya begitu berat kalau harus ditanggung pundak sendiri. Bukannya mereka perlu seorang teman untuk bercerita? Atau barangkali mereka perlu seorang kekasih yang sudah seharusnya menjadi tempat berbagi buat kekasihnya yang sedang bersedih. Tapi sekali lagi, kulihat banyak sekali di antara mereka yang datang dan duduk sendirian saja. Tidak ada kekasih, ataupun teman yang menemani mereka disana. Barangkali mereka sedang ingin mengencani kesenduannya masing-masing malam ini.

          Hujan turun gerimis malam ini. Air-air kecil yang turun dari langit itu bernyanyi di depan kafetaria. Orang-orang di kafetaria makin murung. Beberapa orang berdiri dari meja-meja mereka, meninggalkan kesenduan yang mereka bawa sendiri dan menghampiri kesenduan lain yang sedang bernyayi di luar kafetaria dari balik daun jendela.

Apa sendu yang lain datang malam ini?

          Disela-sela istirahatku setelah menyanyikan beberapa lagu, terkadang aku berfikir bagaimana mungkin orang-orang begitu gemar merasa sendu ketimbang merasa gembira. Ditambah lagi, banyak diantara orang-orang yang sendu itu menyenangi rintik-rintik hujan, mencintai suaranya yang ricik, bahkan tak jarang ada pula yang gemar menyaksikan matahari tenggelam di balik cakrawala.  Apa sekarang sendu, hujan, dan senja sudah jadi tren tahun ini?

          Pernah suatu ketika, aku membawa seorang pengunjung naik ke atas panggung untuk ikut bernyanyi dan setelahnya kutanyai dia di atas panggung tentang sendu, hujan, dan senja.

“Menurutmu, bagaimana rasanya menjadi sendu?”

“Entahlah. Menurutku sendu itu menyenangkan walaupun rasanya menyedihkan. Tapi apakah kamu pernah merasakan kesedihan yang begitu menyenangkan dan memuaskan jiwa?”

          “Entahlah. Aku belum pernah merasakannya di atas sini. Oh iya, bagaimana dengan hujan dan senja? Kabarnya dengan hanya melihat hujan dan senja saja, orang-orang akan menjadi sendu seketika. Memang ada apa di dalam keduanya?”

          “Di dalam hujan ada tangisan. Maksudku,  banyak orang bilang kalau hujan bernyanyi dengan merdu saat turun. Tapi menurutku, ketika hujan turun ke muka bumi, mereka tidak pernah bernyanyi. Suara ricik yang selama ini kita dengar adalah suara hujan yang menangis. Entahlah apa sebabnya mereka menangis, tapi selalu saja sendu ketika aku mendengarnya.”

          “Bagiamana dengan senja?”

          “Seperti menjanjikan suatu perpisahan yang sendu1

...

          Betapa orang begitu menggemari kesenduan yang turun di luar kafetaria dan masih menemuinya dari balik jendela. Ini sudah pukul 12 malam dan sudah saatnya aku turun dari panggung.

          Diluar masih turun hujan, dan aku belum bisa pulang dari kafetaria. Pada sebuah meja di sudut kafetaria, pacarku sudah menungguiku dari pukul 9 malam. Minum secangkir kopi bersamanya sambil menunggu hujan reda mungkin ide yang bagus.

          “Bagaimana penampilanku tadi?”

          “Cukup bagus. Tapi kenapa tidak nyanyikan lagu kesukaanku? Bukannya sudah kupinta setelah kita kencan kemarin malam?”

          “Ah, sayang. Bukan kah lupa itu manusiawi?”

          “Entah lah. Baru-baru ini aku tidak begitu yakin kalau kita manusia. Bukan kah sekarang manusia jarang sekali bersikap manusiawi?”

          “Lantas kita apa kalau bukan manusia?”

          “Mungkin saja kita sepasang iblis yang sedang menghasut manusia untuk masuk neraka.”

          “Ah, ngawur kamu. Habis baca buku apa di perpustakaan?”

          “Buju yang isinya tidak begitu liar seperti isi kepalaku.”

          Di luar, hening bergemuruh. Rasa-rasanya hujan turun makin deras saja malam ini. Sekarang kafetaria sedang memutar lagu pop kota dari Jepang. Kulihat wajah kekasihku, begitu manis rasanya. Tapi sungguh sayang, mengapa harus bersanding dengan laki-laki seperti aku.

“Kasih, sayangnya kita belum bisa pulang malam ini. Diluar masih hujan. Bagiamana kalau kita minum satu atau dua cangkir kopi sambil menungguinya reda?”

          “Ide yang bagus.”

          “Aku sedang ingin minum Moccacino malam ini. Bagaimana denganmu, Sendu?”

          “Aku cuma mau hujan semakin deras. Jadi kita bisa habiskan waktu lebih banyak untuk berdua.”

          Kuhampiri meja kasir yang menyatu dengan meja barista untuk memesan. Kulihat seorang perempuan berdiri di sana.

          “Mba, saya pesan secangkir Moccacino dan tolong buat hujannya lebih deras. Antarkan ke meja nomor 28 ya!”

          Orang-orang masih mematung di balik jendela, menyaksikan bagaimana kesenduan turun dari langit dan mendengarkan ricik dari jatuhnya. Mereka meninggalkan sendu yang mereka bawa masuk ke kafetaria sendirian di meja-meja mereka dan menyaksikan sendu yang baru saja turun di depan mata mereka.

(Cianjur, 25 Juni 2020)

1. Kutipan dari cerita pendek karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Jawaban Alina”.

 

Azril Maulana Apandi, lahir di Kota Bogor, 05 Maret 2002. Tinggal di Kota Cianjur. Alumni Pondok Pesantren Al-Ittihad Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Cianjur. Sedang mengenyam pendidikan di Universitas Muhammadiyah Bandung. Anggota organisasi kepenulisan KATAPURI Kota Cianjur dan sedang aktif di organisasi kebudayaan Bihaindesin (@bihaindesin_)

Instagram: @batasbuku360

  

 

Komentar

Posting Komentar