https://web.facebook.com/photo.php?fbid=10211243244743697&set=pb.1436371894.-2207520000.1515337290.&type=3&theater karya Taufiiq https://web.facebook.com/taufikuredish |
Menyusu Luka
Cerpen Fina
Lanahdiana
(Juara III Lomba
Cerpen, dalam rangka Ultah ke-6 PSK dan Sewindu Gus Dur)
Pagi itu ia menjelma museum penampung benda-benda rusak dan usang
yang jauh dari jangkauan sinar lampu dan matahari. Aroma masa lalu dan lembab.
Ia bangun selepas azan subuh dengan sepasang mata cekung berwarna
kelabu. Lama ia duduk di ranjang, memandang seluruh dinding di kamar, juga
langit-langit kecil di atasnya. Kaca jendela menerobos warna biru kabut pagi.
Telinganya menangkap suara langkah orang-orang menuju masjid yang tidak
seberapa jauh dari rumahnya. Kedua tangannya cekatan membetulkan rambut, memutar
hingga membentuk sebuah gelungan. Jika saja ia tidak sedang bergerak, tubuhnya
milik sebuah patung batu hitam yang memancarkan bayangan.
Ketika itu ia sudah hampir beranjak dari tepian ranjang, namun
tiba-tiba sunyi seolah tengah masuk ke dalam tubuhnya, berubah jadi dingin.
Bekas tempat tidurnya hangat, kecuali bagian lain yang kosong. Itu milik
suaminya.
"Jangan menawar terlalu banyak, kasihan penjualnya."
"Tidak banyak. Ia juga menjual dengan harga terlalu
tinggi."
Lalu laki-laki itu, suaminya hanya bisa berdecak dengan tak
henti-hentinya menggeleng. Dasar perempuan. Dasar perempuan. Kalimat yang hanya
mampu telinganya sendiri dengar, tidak bagi perempuan itu yang adalah istrinya,
sebab ia memilih berada di belakang membawakan keranjang belanja. Tidak peduli
bau ikan atau kotoran ayam atau gangguan lalat-lalat di atas potongan daging
yang masih merah, laki-laki itu tetap dan senang telah mencintainya.
Percakapan itu terjadi di awal pernikahan mereka. Ingatan melintas
secepat kereta api yang tidak melewatkan jadwal keberangkatan.
"Ibu sudah bangun?"
Ia hanya mengangguk tanpa suara. Beranjak menuju dapur. Mengambil
air wudu lalu kembali ke kamar untuk sembahyang.
Setelahnya ia memasak. Merebus air, menanak
nasi, dan memotong sayur untuk dijadikan sup. Ada wortel, jagung muda, kol,
tomat, kentang, dan daun seledri.
Tangannya teriris mata pisau, darah mengalir meskipun tidak
banyak. Tiba-tiba pikirannya serupa memiliki pintu yang terbuka lebar-lebar
untuk menampilkan sebuah pertunjukan teater di atas panggung. Cahaya sudah
dimatikan, kecuali lampu sorot yang mengikuti langkah kaki para lakon. Ia dan
suaminya.
Adegan itu sama persis seperti yang sedang dialaminya, yang
membedakan bahwa ia tidak sendirian.
Ia duduk di sebuah kursi pendek, mengupas bawang. Matanya pedih
sehingga ia seolah hampir menangis. Laki-laki itu mendekat dan menciumi
jarinya. Geli. Tidak, bukan mencium. Ia menyedot darah yang menetes hingga
akhirnya luka menutup secara alami, kering dan ia bisa kembali tersenyum.
"Terima kasih,"
"Untuk apa?"
"Untuk telah mencintaiku dan selalu ada."
Perempuan itu menangis. Tergugu. Napasnya tersendat batuk.
"Ada apa, Ibu? Kenapa menangis?"
"Aku tidak menangis. Bawang merah ini mengirim uap panas
sehingga mataku berkeringat."
"Biar Nelam bantu. Ibu bisa istirahat. Aku telah selesai
mencuci baju."
"Tidak. Tidak, Nelam. Ibu tidak bisa berhenti melakukan
sesuatu atau ..."
Gadis itu sedikit heran. Matanya menyiratkan penasaran yang dalam.
Tapi akhirnya ia menebak perihal perasaan ibunya.
"Oh, tentu saja. Tentu Nelam tahu bahwa Ibu belum bisa
berhenti untuk bersedih."
Bibir perempuan itu tersenyum. Datar. Tidak tampak sebagai
senyuman.
"Tapi kesedihan tidak akan berakhir meski kau telah pura-pura
sibuk. Sebab waktu luang akan selalu ada, dan pikiran tidak pernah berhenti
untuk mengingat,"
"Ibu sedih karena mengingat ayah?"
Ia tidak tahu dan tidak pernah akan
membayangkan tentang kehilangan yang menimpa dirinya.
"Sudahlah. Ini sudah terjadi dan Tuhan menginginkannya. Kita
tidak bisa berbuat banyak kecuali hanya bisa menang dan mengenang
selamanya."
***
Perpisahan itu tak benar-benar ia inginkan, bahkan jika ia sudah
tidak mencintai suaminya. Tapi laki-laki itu telah memilih pergi, dan ia tetap
menyimpan perasaan cinta melebihi ia mencintai diri sendiri.
"Seharusnya aku sudah tahu sejak sebelum kita mengantarnya ke
bandara Ahmad Yani, dan ia tidak cukup sabar untuk memasuki pesawat terbang.
Aku merasakan sesuatu yang lain, yang seolah sangat menyakitkan bahkan untuk
sekadar diingat."
Laki-laki itu tak pernah kembali menemuinya, meskipun kiriman uang
setiap bulan selalu masuk ke dalam rekeningnya. Semula ia demikian heran, sebab
ia tahu suaminya telah menyimpan nomor telepon pribadinya, juga anaknya. Tak
mungkin jika ia sengaja tidak memberi kabar. Itu bukanlah kebiasaan suaminya.
"Seharusnya ibu menurut ketika ayah mengajak pindah ke Ubung.
Menetap di sana, meskipun harus dengan menjual tas dari pintu ke pintu dan
sesekali menjadi sopir truk pengantar barang menyeberangi kota-kota lain. Ayah
tentu tidak perlu menelepon, atau menetapkan jadwal pulang untuk keperluan
libur menjenguk keluarga, dan Ibu tidak perlu menunggu terlalu lama,"
"Semula aku tak sungguh-sungguh ketika menolak keinginan
ayahmu. Tapi ..."
Cerita itu menggantung serupa jemuran tak kering yang dibirkan
tetap berada di luar rumah meskipun hari tak panas, dan sedang turun hujan.
Dadanya kembali sesak. Kadang-kadang ia ingin menyesali semuanya.
Terlalu kanak-kanak, keras kepala, dan manja.
Nelam benar, harusnya ia menurut pada suaminya. Sebelumnya ia
pernah membilang rencana untuk ikut serta bersama suaminya. Di Bali, ia ingin
menjual nasi, lauk-pauk, jus buah, dan es apa saja yang ia bisa. Ia ingat bahwa
hanya beberapa bulan sejak ia menikah, ia telah ikut suaminya menjadi perantau,
sehingga ia telah tahu bagaimana kehidupan suaminya saat berada jauh darinya.
Mungkin selama lebih tiga bulan, sampai akhirnya ia merasa tidak enak badan dan
ingin pulang. Ternyata itu sebab ia telah hamil.
Rencana kembali menjadi perantau pupus, ketika tiba-tiba ibunya
jatuh sakit. Stroke. Ia begitu panik saat ibunya menjerit-jerit sebab kepalanya
terasa seperti dipukul benda keras dan kejang. Nyawa seperti telah berada di
ubun-ubun dan hampir lepas.
Tapi beruntung, ibunya bisa kembali sehat—setelah menjalani
pengobatan alternatif di Kota Wali—meskipun ringkih. Tubuh yang semula gemuk
itu kini kurus kering dan tak bertenaga. Langkah kakinya sedikit aneh dan
pelan. Setiap sebulan dua kali harus periksa rutin dan membayar pajak ke klinik
dokter Turidi yang berjarak dua kilometer dari rumahnya. Saat itu Nelam masih
dua tahun, meskipun tidak suka menangis. Neneknya kerap menjaga Nelam, meskipun
hanya menemani duduk di bangku teras. Sementara perempuan itu menggantikan
pekerjaan ibunya yang mesti berjualan nasi, gorengan, dan jajanan lain di
sekolah dasar tidak jauh dari rumahnya. Ayahnya juga menjadi penjaga sekolah di
sana dan kadang-kadang mesti ke sawah, sementara keempat anaknya telah menikah
dan hidup masing-masing, kecuali ia.
"Tapi?"
"Tapi kepercayaan yang kuberikan penuh kepada ayahmu telah ia
lubangi sendiri, dan aku telah malas untuk mengikuti apa keinginannya."
Kesalahan yang baginya sulit untuk dimaafkan bahwa ia lebih
menuruti ke-aku-annya ketimbang mengalah demi perbaikan hubungan mereka.
Baginya hubungan itu serupa benang yang dibentangkan, dan jika terputus di
antaranya, benang itu meskipun telah disambung dengan ikatan simpul, tetap
tidak bisa kembali ke bentuk semula.
Kenapa? tanya Nelam. Ayahmu telah melakukan
kebohongan, katanya.
***
Hari masih pagi dan ia tidak bisa diam melakukan sesuatu. Rumahnya
ramai sebenarnya, tapi ia merasakan kosong telah mengeruk seluruh jiwanya. Hari
itu Minggu dan ia tidak perlu menjadi pedagang.
Ia mengemas seluruh kenangan tentang suaminya
ke dalam koper. Kadang-kadang di antara benda-benda itu, sesuatu mencuat serupa
pancuran air yang membasahi dadanya dan ia ingin sekali meremas benda itu untuk
selanjutnya ia peluk dan peluk lagi.
Aku sudah tidak mencintaimu lagi. Tak perlu kau tunggu aku.
Sebaiknya kita berpisah saja. Bahagia dengan hidup masing-masing. Aku tetap
akan mengirim uang bulanan untuk anak kita. Sekarang, bagaimana kabarnya?
Bunyi pesan terakhir yang mati-matian tidak ingin ia percaya
beberapa tahun yang lalu. Tapi kenyataannya memang demikian, bahwa suaminya
tidak lagi mengirim kabar tentang apa pun. Hanya uangnya yang selalu sampai
untuk biaya anaknya. Tapi kini anak itu sudah besar dan sudah becus bekerja. Ia
tak lagi butuh uang itu kecuali membiarkannya di rekening tanpa ingin
mengambilnya. Tidak lama setelah pesan itu ia terima, nomor ponsel suaminya
tidak lagi bisa dihubungi, dan hari itu ia tidak bisa berhenti untuk menangis.
Ia merasai diri bagai sebuah kaus kaki yang sudah tidak dibutuhkan
pemiliknya sebab pasangan yang lain telah hilang. Pemilik itu melupakannya
siang-malam tetap berada di jemuran diserang panas matahari dan dingin air
hujan. Dan kian hari tubuhnya kian rapuh--mudah sobek--bahkan jika seseorang
hanya menariknya dengan pelan.
Luka demi luka bagai telah menjadi pil pahit yang mesti ia telan
bulat-bulat untuk menghilangkan rasa sakit. Terlebih ketika kabar itu tiba-tiba
entah datang bersama angin dari mana, mengabarkan bahwa sesungguhnya suaminya
telah lama meninggal. Laki-laki itu tidak pernah tidak mencintainya. Dan itu
lebih membuatnya terluka.
"Maaf untuk kebenaran yang datang terlambat,"
"Bagaimana mungkin ini bisa ..."
"Bos kami meminta ini dirahasiakan karena tidak tega denganmu.
Ia tidak bisa mengatakan apa pun. Terlebih, suamimu merupakan salah seorang
karibnya."
"Tapi kenapa?"
"Kecelakaan itu adalah kesalahan bos kami. Ia khawatir jika
kelak pihak keluargamu melaporkannya ke polisi. Sejak itu ia bertekad untuk
membiayai seluruh kebutuhanmu dengan berkala, seolah-olah suamimu yang
mengirim. Padahal bukan. Makam suamimu akan segera dibongkar untuk dipulangkan.
Keluarga bos kami bersedia menanggung semuanya,"
"Sekarang bagaimana kabarnya?" Ia mengatakan itu dengan
suara pelan menahan tangis dan amarah. Bibir bawahnya ia gigit hingga lecet.
Matanya, matanya serupa kaca air gelembung udara hampir pecah. Kulit wajahnya
memerah.
"Ia telah meninggal tiga hari lalu akibat kanker hati yang
telah lama diderita, berbulan-bulan koma dan keluarganya memutuskan eutanasia.
Ini sebab berita kematian suamimu telah sampai kepadamu. Maafkan aku."
"Maksudmu, jika bosmu tidak meninggal, rahasia tentang
suamiku ini ...."
Laki-laki yang seusia suaminya itu hanya mengangguk dan menunduk.
Ia tampak sangat menyesal—berterima kasih sudah diterima sebagai tamu sebelum
akhirnya pergi—membiarkan perempuan itu menanggung luka yang diam-diam mengakar
dan ia hidup, bergantung di dalamnya. Sendirian.
***
Fina Lanahdiana,
Lahir dan tinggal di Kendal.
WA. 089660155036 | fina.lanahdiana@gmail.com
Selamat ya Mbak Fina. Salam untuk PSK Kendal
BalasHapus